Memahami Pelajaran Tematis Al-Quran

BOOK ID

perwakilan universitas internasional al Musthafa di indonesia

Mutahhari, Murtaza - .1358 - سرشناسه: مطهری ، مرتضی ، 1298

عنوان قراردادی : آشنایی با قرآن .اندونزیایی. برگزیده

Memahami Pelajaran Tematis Al-Quran: tafsir tematis tentang : عنوان و نام پدیدآور

pengetahuan, akidah, akhlak,dan kehidupan sehari-hari (Buku

Pertama) / Murtadha Muthahharipusat ; penerjemah Muhammad

Jawad Bafagih.

Qum: Al-Mustafa International Translation and Publication Center, : مشخصات نشر

1393 = 2014.

21 س م. /5×14/ مشخصات ظاهری: 243 ص .؛ 5

1393 / فروست اصلی : مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله وسلم؛ 164 پ/ 25 7

فروست فرعی : نمایندگی المصطفی صلی الله علیه و آله وسلم در اندونزی؛ 3

9 78-964-195 -026- شابک : 4 وضعیت فهرست نویسی : فیپا

یادداشت : اندونزیایی.

موضوع : قرآن-- تحقیق

موضوع : تفاسیر شیعه -- قرن 14

شناسه افزوده : بافقی، محمدجواد، مترجم

Bafaqih, Muhammad Jawad : شناسه افزوده

شناسه افزوده : جامعةا لمصطفی صلی الله علیه و آله وسلم العالمیة. مرکزبین المللی ترجمه ونشرالمصطفی صلی الله علیه و آله وسلم

Almustafa International University Almustafa International : شناسه افزوده

Translation and Publication center

BP 5049519 آ 583 م/ 98 رده بندی کنگره: 1393

179/ رده بندی دیویی : 297

شماره کتابشناسی ملی : 3649482

p:1

Point

p:2

Ayatullah Murtadha Muthahhari

pusat penerbitan dan

penerjemahan internasional al Musthafa

penerjemah:

Muhammad Jawad Bafagih

Memahami Pelajaran Tematis Al-Quran

tafsir tematis tentang pengetahuan, akidah, akhlak,

dan kehidupan sehari-hari (Buku Pertama(

memahami pelajaran tematis al-Quran tafsir tematis tentang pengetahuan,

akidah, akhlak, dan kehidupan sehari-hari (Buku Pertama)

penulis: Ayatullah Murtadha Muthahhari

penerjemah: Muhammad Jawad Bafagih

cetakan: pertama, 1393 sh / 2014

penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa

percetakan: Norenghestan

jumlah cetak: 300

ISBN: 978-964-195-026-4

© Al-Mustafa International Publication and Translation Center

p:3

Stores:

IRAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9

IRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,

Fax: +98 25-32133146

IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.

Tel: +98 21-66978920

IRAN, Mashad; Imam Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.

Tel: +98 51-38543059

kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih

مؤلف: آیت الله مرتضی مطهری

مترجم: محمدجواد بافقی

چاپ اول: 1393ش / 2014 م

چاپخانه: نارنجستان

ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله وسلم

تیراژ: 300

قیمت: 110000 ریال

آشنایی با قرآن

www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir

p:4

PEDOMAN TRANSLITER ASI ARAB

p:5

PEDOMAN TRANSLITER ASI PERSIA

p:6

Daftar Isi

p:7

Bagian 1

p:1

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi

Maha Penyayang.

«سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِیهَا آیَاتٍ بَیِّنَاتٍ لَعَلَّکُمْ تَذَکَّرُونَ (1)»

(Ini adalah) satu surah yang kami turunkan dan kami wajibkan

(menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)-nya, dan

kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kamu selalu

mengingatinya. (QS an-Nur: 1)

«الزَّانِیَةُ وَالزَّانِی فَاجْلِدُوا کُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْکُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِی دِینِ اللَّهِ إِنْ کُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْیَوْمِ الْآخِرِ وَلْیَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِینَ (2)»

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah

tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah

belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)

agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari

akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan

oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (QS an-Nur: 2)

«الزَّانِی لَا یَنْکِحُ إِلَّا زَانِیَةً أَوْ مُشْرِکَةً وَالزَّانِیَةُ لَا یَنْکِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِکٌ وَحُرِّمَ ذَلِکَ عَلَی الْمُؤْمِنِینَ (3)»

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan

yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang

berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau

laki-laki musyrik, dan demikian itu diharamkan atas orang-orang

mukmin. (QS an-Nur: 3)

p:2

Karena pada hari-hari ini adalah hari wafatnya as-Siddiqah

ath-Thahirah Fatimah as, yang merupakan “penghulu

para perempuan semesta alam” dan dalam dunia Islam ia

merupakan simbol dari “kesucian”, saya hendak menafsirkan surah

suci an-Nur. Saya memilih surah ini karena sebagian besar isi surah

ini berhubungan dengan ‘afaf (kesucian diri).

Al-Quran mengatakan, “Dalam surah ini Kami menurunkan

serangkaian ayat yang cukup jelas, agar ka lian menjadi ingat, sadar

dan mengetahui.” Pada awal surah ketika Al-Quran mengatakan,

“satu surah yang Kami turunkan” hanya surah ini yang diawali

dengan ungkapan tersebut. Kita memiliki berbagai surah da lam

Al-Quran, awal dari surah-surah tersebut senantiasa diawali dengan

“Kami menurunkan al-Kitab ini”, yakni mengisyaratkan pada

seluruh isi Al-Quran. Tetapi pada surah ini, hanya mengisyaratkan

pada surah ini saja. Jelas, ini merupakan suatu perhatian khusus

terhadap isi surah ini.

Tentunya Anda telah mengetahui arti dari “surah”; kumpulan

berbagai ayat yang dimulai dengan “bismillah “ kemudian sampai

akhir ayat, setelah itu terdapat “bismillah” yang lain, bagian

inilah yang disebut dengan surah. Al-Quran merupakan sebuah

kitab yang tidak memiliki bab dan jilid. Tetapi pembagiannya

dalam bentuk berbagai surah. Setiap surah diawali de ngan “bismillah”,

sedangkan “bismillah” untuk surah berikutnya merupakan

tanda bahwa surah sebelumnya telah berakhir. Disebutkan bahwa

kata “surah” berasal dari kata “sur”. Dalam bahasa Arab arti kata

tersebut ialah, pembatas yang dibuat pada sekeliling sebuah kota

sehingga kota tersebut berada di dalamnya. Se buah dinding yang

mengelilingi sebuah kota atau desa disebut ‘sur’. ‘Sur al-balad’ ialah

dinding yang tinggi yang dibangun pada sekeliling kota. Karena

setiap surah seakan berada dalam suatu batasan, maka di sebut

dengan “surah”. Nabi Saw yang memilah-milah Al-Quran menjadi

beberapa surah, dan bukannya kaum Muslimin. Sejak awal diturunkan,

Al-Quran telah berbentuk surah-surah.

Pada ayat pertama, terlebih dengan menggunakan ungkapan,

p:3

“satu surah yang Kami turunkan” kemudian dilanjutkan dengan

ungkapan, ‘’dan Kami wajibkan”, menunjukkan bahwa permasalahan

yang berhubungan dengan ‘afaf (kesucian diri) adalah suatu

masalah yang sangat serius. Persis kebalikan dari yang ada dalam

pola pikir masyarakat sekarang ini. Mereka menganggap ringan

dan remeh masalah hubungan seksual, lalu mereka membuat sebuah

istilah yang tidak benar yaitu mereka menyebut dengan “kebebasan”

yang pada akhirnya berjalan menuju pada “kebebasan

seksual”. Al-Quran memaparkan adanya perempuan-perempuan

yang senantiasa menjaga kesucian diri. Menjelaskan mengenai hukuman

bagi perempuan yang tidak menjaga kesucian dirinya, dan

hukuman bagi mereka yang mencemarkan nama seorang perempuan

yang senantiasa menjaga ke sucian dirinya (Afifah) dengan

cara melontarkan tuduhan bohong bahwa dia (perempuan itu)

tidak menjaga kesucian diri. Selain itu Al-Quran juga senantiasa

memberikan dorongan dalam pelaksanaan pernikahan. Alhasil,

Al-Quran mengungkapkan berbagai permasalahan yang berhubungan

dengan ‘afaf. Al-Quran hendak mengatakan bahwa masalah

itu adalah sebuah masalah yang sangat serius dan wajib, dan

tidak dapat dianggap remeh. Di antara musibah dan bencana yang

ada di dunia ini ialah: meremehkan dan menganggap kecil dasardasar

ketakwaan dan ‘afaf dalam hal hubungan seksual, yang mana

nanti hal itu akan saya paparkan.

“Satu surah yang Kami turunkan”, sebuah surah yang Kami

turunkan dan Kami wajibkan atas kalian untuk memperhatikan

dan menjaga ketentuan-ketentuan ini. Kami menganggap ini

adalah suatu hal yang sangat penting, dan Kami tidak menganggap

remeh. “dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas”,

dalam surah ini Kami mengeluarkan serangkaian ayat yang cukup

jelas, ayat yang agung dan jelas.

Kemungkinan maksud dari ayat-ayat tersebut ia lah seluruh

ayat yang terdapat dalam surah ini, sebagaimana yang dikatakan

oleh Allamah Thabathaba’i dalam bukunya, Tafsir al-Mizan:

“Maksud dari ayat-ayat adalah: ayat-ayat yang ada pada pertengahan

su rah, di mana ayat-ayat tersebut merupakan inti dari surah ini”.

p:4

Ayat-ayat dalam surah ini berhubungan dengan masalah etika

dan akhlak seksual, sedangkan ayat-ayat itu (pada pertengahan

surah) berhubungan dengan masalah dasar-dasar akidah, tentunya

saya akan menjelaskan hubungan kedua bentuk ayat-ayat tersebut.

Alhasil Al-Quran mengatakan, “Kami menurunkan ayat-ayat

ini, dan Kami mewajibkan isi dan undang-undang yang berhubungan

dengan etika seksual yang ada dalam surah ini.” Dalam surah

ini Kami menurunkan serangkaian ayat yang cukup jelas guna

membangunkan, menyadarkan manusia, “agar kamu selalu mengingatinya”,

agar kalian senantiasa ingat, mengeta hui, dan terlepas

dari kelalaian.

Kemungkinan Anda telah mengetahui perbedaan antara kata

‘tafakkur’ dan kata ‘tadzakkur’. Kata ‘tafak kur’ digunakan untuk

suatu masalah di mana seseorang benar-benar tidak mengetahui

masalah tersebut dan ia benar-benar buta akan masalah itu, lalu

Al-Quran menjelaskan masalah itu. Al-Quran acapkali berbicara

perihal ‘tafakkur’. Kata ‘tadzakkur’ digunakan untuk suatu hal

yang fitrah manusia secara sendirinya mampu mengetahui dengan

jelas kebenaran masalah itu, namun perlu diingatkan dan disadarkan.

Al-Quran, khususnya berkenaan dengan ayat-ayat ini menggunakan

kata ‘tadzakkur’, kemungkinan sebabnya ialah un tuk

menghormati manusia, yaitu dengan mengatakan, “Kami mengingatkan

kalian akan masalah-masalah ini, di mana jika kalian merenungkan

dengan diri sendiri pasti akan mengetahuinya, namun

Kami hanya ingin mengingatkan kalian”.

Ayat berikutnya berkaitan dengan masalah hukuman atas

fahsya’ yakni hukuman atas perbuatan zina (fahsya’ berarti berzina).

Al-Quran mengatakan:

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka

deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah

belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan agama Allah,

jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman

mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. “ (QS an-Nur: 2)

p:5

Dalam ayat ini terdapat tiga penjelasan inti. Pertama, orang

yang berbuat zina baik laki-laki atau perempuan harus menerima

hukuman. Bentuk hukumannya telah ditentukan oleh Al-Quran;,

yakni seratus dera. Seratus dera bagi laki-laki yang berzina dan seratus

dera bagi perempuan yang berzina.

Kedua, menjelaskan kepada orang-orang mukmin bahwa

berkenaan dengan pelaksanaan hukuman ini janganlah dikuasai

oleh rasa iba. Jangan sekali-kali karena kalian merasa iba, lalu

mengatakan, “Sera tus kali dera sangat menyakitkan, kita kurangi

saja,” di sini bukan tempatnya rasa iba. Al-Quran mengatakan,

dalam hal ini jangan sekali-kali perasaanmu terguncang, sehingga

menyebabkan kalian menganggap remeh hukuman itu. Janganlah

kalian beranggapan bah wa pelaksanaan hukuman itu menurut istilah

sekarang ini “tidak manusiawi”. Tidak, itu “manusiawi”.

Ketiga, hukuman ini jangan dilaksanakan secara tersembunyi,

karena hukuman ini bertujuan memberi pelajaran bagi yang

lain. Pelaksanaan hukuman ini harus disaksikan dan dilihat oleh

sekumpulan orang-orang mukmin. Maksudnya ialah pada saat hukuman

ini dilaksanakan, masyarakat mesti mengetahui bahwa si

fulan yang berzina telah dijatuhi hukuman, dan bukannya dilaksanakan

secara tersembunyi. Harus dilak sanakan secara terangterangan.

Berkenaan dengan masalah pertama yaitu, bentuk hukuman

bagi pelaku zina, saya akan mememaparkan berberapa penjelasan.

Pertama, apakah falsafah dari hukuman zina itu? Jika anda membaca

berbagai buku yang membahas tentang masalah ini, maka

Anda akan menjumpai mereka berpendapat semacam ini: alasan

dari dijatuhkannya hukuman pada pelaku zina ada lah—menurut

istilah mereka—”kepemimpinan laki-laki”. Pada masa dahulu

ketika laki-laki berkuasa atas perempuan, dalam arti laki-laki

berkuasa penuh dan pemilik keluarga, seorang perempuan tidak

memiliki suatu hak apa pun, ia hanya merupakan “alat” yang ada

di tangan seorang laki-laki dan dipergunakan demi kepentingan

laki-laki. Seorang laki-laki beranggapan bahwa dirinya adalah pemilik

perempuan itu, ketika seorang perempuan berbuat zina—

p:6

menurut pandangan suami, perempuan adalah miliknya secara

mutlak —kemudian dimanfaatkan oleh orang lain. Oleh karena

inilah pelaku zina dijatuhi hukuman.

Jelas menurut undang-undang Islam, pandangan semacam

itu sama sekali tidak berdasar. Dalam Islam hukuman atas pelaku

zina tidak dikhususkan pada perempuan saja. Laki-laki yang berzina

harus dijatuhi hukuman dan demikian pula terhadap perempuan

yang berzina. “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang

berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali

dera”, Al-Quran menjelaskan bahwa laki-laki yang berzina dan

perempuan yang berzina keduanya harus dijatuhi hukum an. Jika

hukuman atas pelaku zina khusus untuk perempuan saja, maka tidak

ada batasan dan larangan bagi seorang laki-laki dalam berbuat

zina, dan hanya perempuan sajalah yang dilarang untuk berzina—

kemungkinan ketentuan semacam itu pernah berlaku di dunia ini,

yaitu hanya perempuan yang tidak dibenarkan untuk ber zina dan

tidak ada larangan terhadap laki-laki—jika ketentuannya adalah

semacam itu, maka bukan mustahil jika mereka berpendapat

bahwa hukuman terhadap pelaku zina ialah, “kepemimpinan lakilaki”.

Namun dalam Islam, laki-laki dan perempuan keduanya tidak

dibenarkan berzina. Maksudnya ialah seorang laki-laki hanya

dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya melalui jalan pernikahan,

dan pernikahan itu sendiri merupakan ungkapan setuju

atas berbagai perjanjian dan tanggung jawab yang ada. Seorang

perempuan juga hanya dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya

melalui jalan pernikahan, yang berarti ia telah menyetujui berbagai

perjanjian dan tanggung jawab. Jika demikian, maka seorang

laki-laki yang tidak melangsungkan pernikahan tidak dibenarkan

untuk mengumbar ke butuhan biologisnya yang menurut istilah

sekarang ini “melampiaskan hawa nafsu”. Demikian pula halnya

dengan perempuan. Oleh karena itu, masalah pengharaman zina

tidak hanya khusus bagi perempuan saja, tetapi juga terhadap lakilaki.

Sekarang terdapat suatu permasalahan yang lain, yaitu kebiasaan

yang ada dalam masyarakat Eropa se karang ini, yaitu lakilaki

dan perempuan tidak dibenarkan untuk berzina jika mereka

p:7

berdua telah—menurut istilah Islam—muhshan atau muhshanah

(beristri atau bersuami). Yaitu jika seorang laki-laki yang

telah beristri dan seorang perempuan yang telah bersuami tidak

dibenar kan berzina, adapun bagi laki-laki yang tidak beristri dan

perempuan yang tidak bersuami keduanya tidak ada larangan berbuat

zina. Tentunya seorang perempuan yang tidak bersuami tidak

dibenarkan mengadakan hubungan seksual dengan laki-laki yang

beristri, dan laki-laki yang tidak beristri tidak dibenarkan mengadakan

hubungan de ngan perempuan yang bersuami. Sedangkan

laki-laki yang tidak beristri atau perempuan yang tidak bersuami

kedua nya memiliki kebebasan dalam mengadakan hubung an seksual.

Mengapa mereka berpendapat demikian?

Mereka menduga bahwa falsafah pengharaman zina atas laki-

laki yang beristri adalah karena dengan melakukan hubungan

tersebut, berarti ia (laki-laki) telah berkhianat terhadap istrinya

dan mengesampingkan haknya. Dan pengharaman zina atas

perempuan yang telah bersuami adalah karena perempuan telah

melenyapkan hak suaminya. Jika demikian, maka seorang laki-laki

yang tidak beristri tidak terikat suatu perjanjian dengan siapa pun,

demikian pula dengan seorang perempuan yang tidak bersuami,

ia tidak terikat perjanjian dengan laki-laki manapun, maka tidak

ada batasan bagi keduanya (dalam melakukan hubungan seksual).

Namun sesuai pandangan Islam, ada dua poin utama. Pertama,

bagi seorang laki-laki dan perempuan tidak di benarkan

memenuhi tuntutan biologisnya di luar pembentukan hubungan

keluarga (pernikahan), baik laki-laki itu beristri atau tidak, perempuan

itu bersuami atau tidak. Islam sangat menghargai hubungan

keluarga (pernikahan), sehingga di luar keluarga tidak dibenarkan

un tuk menyalurkan kebutuhan biologis, dan hanya dalam keluarga

saja dibenarkan untuk memenuhi kebutuh an biologis. Di luar

pernikahan seorang laki-laki maupun perempuan tidak dibenarkan

untuk saling berhubungan seksual. Kedua, tentang hukuman

yang diberikan oleh Islam terhadap laki-laki yang beristri dan

perempuan yang bersuami, juga di mana Islam menetapkan adanya

dua bentuk hukuman, maka hukuman tersebut menjadi se9

p:8

makin berat. Islam menentukan adanya sebuah hu kuman yang sifatnya

umum yaitu: seratus dera dan rajam (dilempari batu kerikil

sampai mati).

Salah satu faktor yang memperkuat sendi dan ikatan keluarga

ialah, berbagai ketentuan di atas. Yang menyebabkan guncangan

dan lemahnya sendi keluarga di Eropa ialah tatanan yang mereka

ciptakan. Masyarakat kita pun demikian, jika kita mengikuti

tatanan Barat tersebut, maka sendi keluarga kita akan terguncang.

Ketika masyarakat kita benar-benar mengamalkan peraturan Islam,

yakni laki-lakinya sebelum menikah tidak memiliki hubungan

dengan perempuan yang menurut istilah Barat “girl friend”,

dan si perempuan pun demikian pula, maka bagi seorang laki-laki

dan perempuan pernikahan merupakan suatu hal yang didamba

dan diidam-idamkan. Seorang laki-laki ketika berumur lima belas

tahun secara alamiah ia memerlukan pasangan, perempuan pun

demikian juga. Dan ini adalah hal yang wajar di mana seorang

laki-laki berharap dapat memiliki istri karena dengan melakukan

perni kahan maka ia akan terlepas dari berbagai keterikatan dan

larangan dalam berhubungan dengan perempuan, dan ia memiliki

kebebasan dalam berhubungan dengan perempuan, maka “malam

pertemuan kedua pengantin merupakan suatu malam yang penuh

dengan kebahagiaan” karena didasari atas unsur kejiwaan. Sosok

yang pertama kali memberikan kebaha giaan kepada laki-laki ini,

yakni membebaskan ia dari berbagai keterikatan dan batasan

menuju kebebasan adalah istrinya. Hal inilah yang menyebabkan

ketika seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang

sama sekali belum pernah dikenalnya, di antara keduanya akan

terbentuk ikatan yang sangat kuat, dan tercipta suatu kondisi yang

luar biasa (saya tidak hendak mengatakan bahwa tanpa melihat

terlebih dahulu ada lah suatu tindakan yang benar). Tidak, Islam

mengizinkan bagi mereka yang akan menikah untuk saling melihat.

Namun sekiranya mereka tidak saling me lihat, ketika mereka

telah melangsungkan pernikahan, maka keduanya akan tetap saling

mengasihi sampai akhir hayat.

Adapun dalam aturan Barat, seorang laki-laki selama ia belum

beristri bebas untuk mengadakan hubungan seksual dan

p:9

seorang perempuan yang belum bersuami juga bebas untuk mengadakan

hubungan seksual. Hasil dari semua itu ialah, bagi lakilaki

pernikahan adalah merupakan suatu bentuk keterikatan dan

menurut perempuan pernikahan juga merupakan suatu ben tuk

dari keterikatan. Sebelum menikah mereka memiliki kebebasan,

bebas berhubungan dengan siapa pun, namun sekarang ketika

telah menikah menjadi terbatas pada seorang saja. Hal inilah yang

menyebabkan seorang laki-laki ketika hendak menikah ia mengatakan,

“Sekarang saya akan mempunyai seorang penjaga penjara

bagi diri saya.” Seorang perempuan pun demikian juga. Ia menganggap

suaminya adalah penjaga pen jara, yakni dari kebebasan

menuju keterbatasan.

Pernikahan menurut pandangan Barat ialah pembatasan kebebasan,

dari kebebasan menuju pada keter batasan. Sedangkan

pernikahan menurut pandangan Islam ialah dari keterbatasan

menuju pada kebebasan. Sebuah pernikahan yang dasar dan unsur

kejiwaannya “dari keterbatasan menuju kebebasan” sudah barang

tentu akan menjadi semakin kokoh, sedangkan yang dasarnya

“dari kebebasan menuju keterbatasan” maka pertama tidak kokoh,

yakni cepat terjadi perceraian dan kedua laki-laki yang menurut

istilah Barat “berpengalaman” terhadap berpuluh-puluh bahkan

beratus-ratus perempuan, begitu juga perempuan yang berpengalaman

terhadap berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus laki-laki,

apakah sekarang ini ia akan merasa cukup dengan seorang saja?

Dapatkah ia dibuat menjadi cu kup dengan seorang saja? Oleh

karena itu dalam Islam, sebab pengharaman zina bukan karena

melenyapkan hak seorang laki-laki atau hak seorang perempuan.

Dan jika karena sebab itu (saling melenyapkan hak), maka apakah

seorang laki-laki yang tidak menikah dan tidak terikat oleh suatu

perjanjian dengan perempuan mana pun, dan seorang perempuan

yang tidak menikah dan tidak memiliki ikatan perjanjian dengan

laki-laki mana pun keduanya bebas untuk melakukan hubungan

seksual? Tidak, seorang laki-laki yang seumur hidupnya tidak ingin

menikah, maka ia dalam keadaan terikat mutlak, dan seorang

perempuan yang sepanjang hudupnya tak ingin menikah ia juga

dalam keadaan terikat mutlak. Islam mengatakan, “Kalian harus

p:10

dalam kondisi sama sekali tidak melakukan hubungan seksual,

atau melakukan pernikahan dan menerima berbagai perjanjian

serta bertanggung jawab atas tugas-tugas yang muncul kare na

hubungan pernikahan tersebut.”

Hal inilah yang menyebabkan Islam secara tegas menyatakan

bahwa perbuatan zina memiliki hukuman yang berat. Dan zina,

yang hanya perbuatan zina saja, dan tidak melenyapkan hak

seorang suami atau hak seorang istri, maka hukumannya adalah

dera (cambuk). Terhadap seorang laki-laki yang beristri dan jelas

ia tidak berada dibawah tekanan nafsu seksualnya, dan seorang

perempuan yang bersuami dan ia juga tidak berada dibawah tekanan

nafsu seksualnya, lalu keduanya berzina hanya untuk mencaricari

kepuasan nafsu, maka Islam menentukan hukuman rajam

(dilempari batu kerikil sampai mati) bagi keduanya itu. Perhatikanlah,

betapa Islam sangat memperhatikan permasalahan ini!

Dunia Barat pada awal mulanya mengatakan, “Berzina bagi

seorang perempuan yang tidak bersuami, dan seorang laki-laki yang

tidak beristri bukan merupakan suatu tindak kejahatan.” Bertrand

Russell menambahkan, “Kecuali jika perbuatan itu mengakibatkan

cedera, sedangkan jika tidak mencederai maka tidak ada masalah.”

Lambat laun akhirnya Bertrand Russell secara terang-terangan

mengatakan, “Apa salahnya jika seorang perempuan yang bersuami

memiliki seorang teman, dan rasa cinta dan kasihnya berada di suatu

tempat, selain ia memiliki suami juga memiliki kekasih? Ia bercinta

dengan suaminya dan melahirkan anak di rumah suaminya juga,

namun terdapat sebuah perjanjian yaitu ketika ia (perempuan) bercinta

dengan kekasihnya ia mesti menggunakan alat kontrasepsi.

Apakah Russell sendiri percaya pada pernyataan itu? Tidak

satu pun dari orang-orang yang berakal yang percaya jika ada

seorang perempuan yang mencintai laki-laki lain, cintanya tercurah

kepada laki-laki lain, na mun ia tetap merupakan seorang

istri dari seorang laki-laki saja dan ia hanya terikat dengan sebuah

perjanjian yaitu “harus melahirkan anak dari suaminya saja”. Setiap

perempuan selalu menginginkan bayi yang dilahirkan, bayi yang

ada di hadapannya adalah hasil dari laki-laki yang dicintainya. Dan

p:11

bukan hasil dari laki-laki yang dibencinya. Kemudian apakah ada

jaminan jika ia tidak akan mengandung dari laki-laki yang ia cintai

(bukan suaminya)? Dan mungkinkah bayi yang dilahirkan itu

tidak dinisbatkan kepada suaminya?

Al-Quran memelihara sisi ini, dan mengatakan, “yang Kami

turunkan dan Kami wajibkan”, Kami telah mewajibkan semua itu,

dan itu merupakan suatu ketentuan yang tidak dapat diubah. Tuntutan

zaman tidak dapat mengubah ketentuan-ketentuan itu, dan

ketentuan-ketentuan itu tidak dapat berubah. Semua itu merupakan

dasar dari kehidupan manusia dan tidak dapat diubah.

Kemudian Al-Quran mengatakan, “dan janganlah belas kasihan kepada keduanya

mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah", di sini juga menunjukkan penekanan kuat pada pelaksanaannya.

Di sini bukan tempatnya rasa iba dan maaf. Ketika telah terbukti maka kau tidak lagi berhak untuk memamafkan

Pada kalimat berikutnya, secara khusus memerintahkan agar

hukuman terhadap laki-laki atau perempuan yang berbuat zina

itu jangan kalian laksanakan di tempat yang tertutup dan jauh

dari pandangan masyarakat. Harus dilaksanakan di hadapan masyarakat,

dan berita pelaksanaan hukuman itu tersebar ke berbagai

penjuru, agar mereka semua mengetahui bahwa Islam sangat

sensitif pada masalah ‘afaf (kesucian diri). Dan juga dasar dari

pelaksanaan hukuman balasan itu adalah untuk membina serta

mendidik masyarakat. Meskipun seorang perempuan yang berbuat

zina itu telah dihukum mati namun jika hukuman mati itu

dilaksanakan dengan cara tersembunyi, maka itu tidak akan memberikan

pengaruh pada masyarakat. Pada masa awal Islam, ketika

hukuman semacam ini akan dilaksanakan—yang jelas hal itu pernah

terjadi, karena ketika hukuman ini dilaksanakan perbuatan

zina menjadi berkurang—mereka terlebih dahulu mengumumkan

waktu pelaksanaan hukuman tersebut kepada masya rakat.

Dalam hal ini tidak ada salahnya jika saya menukil sebuah

Hikmah (kata-kata mutiara), “Orang yang bodoh itu, ada kalanya

berlebih-lebihan adakalanya lalai”.(1) Masyarakat Eropa sebelum dua

p:12


1- 1 Dalam Nahjul Balaghah. Hikmah:70 dengan ungkapan sebagai berikut, “Orang yang bodoh tidak melihat sesuatu melainkan berlebihan atau lalai”.

atau tiga abad terakhir ini, di mana undang-undang yang berlaku

pada saat itu adalah undang-undang gereja, sangat berlebihan

dalam membatasi hubungan seksual, mereka juga mengeluarkan

berbagai sanggahan terhadap berbagai masalah yang berhubungan

dengan Islam. Dasar dari undang-undang gereja ialah hubungan

seksual sekalipun dengan istri yang sah, merupakan suatu tindakan

yang hina (tercela).

Menurut pandangan mereka seorang perempuan ada lah

merupakan satu wujud yang hina, dan mengadakan hubungan walaupun

dengan istri yang sah merupakan suatu perbuatan kotor.

Oleh karena itu, orang-orang yang mulia, suci, dan bersih, mereka

yang memiliki kelayakan untuk menduduki posisi tertinggi di bidang

keagamaan ialah mereka yang seumur hidupnya tidak pernah

menyentuh perempuan, dan tidak pernah berhubungan dekat

dengan perempuan. “Pope” adalah di antara orang yang terpilih—

sampai sekarang pun demikian adanya—sepanjang umurnya ia

dalam keadaan membujang dan nafas “bujangan” adalah suci. Mereka

mengatakan, “Orang-orang yang layak men duduki kedudukan

yang suci ini, ialah orang-orang yang seumur hidupnya tidak

pernah menyentuh perempuan.” Orang-orang semacam ini sangat

sedikit sekali. Mereka-mereka itulah yang kemudian menjadi pendeta

dan kardinal dan sebagian mencapai peringkat “pope”. Mereka

melanjutkan, “Namun sebagian besar dari masyarakat tidak

mampu membujang.

Dan jika kami memerintahkan kepada sebagian besar dari

masyarakat untuk hidup membujang, dan mereka malah berbuat

zina justru ini malah semakin buruk, dan mereka malah

akan sering melakukan hu bungan seksual.” Oleh karena itu, demi

“menghalangi terjadinya yang lebih buruk dari yang buruk” maka

mereka mengizinkan pernikahan.

Namun Islam kebalikannya, yaitu menganggap lajang dan

bujangan adalah sesuatu yang tercela, dan mengatakan, “Bumi

mengutuk para bujangan yang buang air seni di atasnya”,2 serta

menganggap suci pernikahan.

2 Ungkapan semacam ini dalam berbagai riwayat berkenaan de ngan ‘aghlaf yaitu orang

laki-laki yang tidak berkhitan. (Biharul Anwar vol:104 hal. 126)

p:13

«وَالَّذِینَ یَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ یَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِینَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِکَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (4)»

Dan orang-arang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selamalamanya.

Dan mereka itulah orang-arang yang fasik. (QS an-Nur: 4)

Kata muhshanah’ atau muhshinah’ yang ada dalam Al-Quran

diartikan dalam dua bentuk. Terkadang muhshanah’ atau muhshinah’

berarti perempuan yang bersuami, yaitu yang berada

dalam ikatan pernikahan, dan terkadang kata ini diartikan dengan

perempuan yang menjaga kesucian dirinya (afifah) sekalipun

perempuan tersebut belum menikah. Dalam hal ini yang dimaksud

adalah arti yang kedua. Orang-orang yang melepaskan (rama

berarti melepas anak panah) anak panah tuduhan, dan perempuan-

perempuan yang menjaga kesucian diri nya dijadikan sasarannya;

mereka menuduh perempuan-perempuan tersebut tidak

menjaga kesucian diri, dan me reka tidak dapat mendatangkan

empat orang saksi, maka mereka harus dikenakan hukuman. Yang

jelas Islam tidak menerima berbagai pernyataan yang tanpa bukti.

Namun ada sebagian pernyataan yang dapat diterima sekalipun itu

datangnya dari seorang saja dan bahkan dari seorang perempuan.

Seperti masalah yang berhubungan dengan keperempuanan, yang

dinyatakan oleh perempuan itu sendiri (saya sedang menstruasi).

Ketika seorang laki-laki hendak menceraikan istrinya, karena perceraian

tidak dibenarkan ketika istri dalam keadaan menstruasi,

maka ia akan menanyakan, “Kau dalam keadaan bersih atau menstruasi?”,

jika perempuan tadi menjawab, “Aku dalam keadaan bersih”,

ini telah cukup, dan jika ia menjawab, “Aku dalam keadaan

mestruasi”, pernyataannya ini juga dapat diterima. Di sini tidak

lagi dikatakan, “Berilah kesaksian dari dua orang saksi”, karena

pernyataan perempuan itu diakui kebenarannya. Sedangkan pada

sebagian yang lain harus ada dua orang saksi laki-laki, seperti pernyataan

yang berkaitan dengan harta.

p:14

Namun dalam masalah yang berhubungan dengan harga diri,

yang menyangkut masalah kehormatan, mencemari kesucian diri,

maka tidak cukup sekalipun dengan kesaksian dua orang yang adil

(yang tidak melakukan perbuatan dosa—pen.). Jika ada dua orang

saksi yang adil, di mana masyarakat melakukan salat berjamaah

di belakangnya, sekalipun masyarakat ber-taklid (mengikuti) kepadanya,

keduanya datang dan memberi kesaksian bahwa: “Kami

menyaksikan dengan dua mata kami sendiri perempuan fulan

telah berzina”, Islam menjawab, “Tidak cukup, kalian hanya dua

orang.” Jika sekiranya terdapat tiga orang saksi yang adil, Islam

tetap akan menjawab, “Tidak cukup.” Jika ada empat orang saksi

yang adil yang datang dan memberi ke saksian, maka saat itulah

Islam akan bersedia meneliti perempuan yang tertuduh itu, dan

mengetahui lebih lanjut bukti-bukti yang ada.

Mungkin Anda akan mengatakan, “Jika demikian hal itu sangat

jarang dapat ditemukan. Bagaimanakah cara mendapatkan

empat orang saksi yang adil sehingga kemudian memberikan kesaksian)

bahwa perempuan itu telah berbuat zina?”. Kita akan mengatakan,

“Apakah sehubungan dengan masalah zina Islam memerintahkan

mesti memata-matai, meneliti dan memeriksa?” Ketika

Islam mengatakan, “Empat orang saksi”, tujuannya adalah bukan

agar memata-matai dan meneliti, sehingga kemudian kalian mengatakan,

“Dengan persyaratan yang berat ini tidak mungkin dari

seratus ribu kejadian bisa didapatkan empat orang saksi yang

memberi kesaksian.” Pada dasarnya Islam hanya menginginkan

agar perbuatan zina hanya sedikit yang dapat dibuktikan. Jika tidak

ada orang yang datang dan memberi kesaksian, tak masalah.

Jika terjadi seribu kasus perbuatan zina, dan tetap tersembunyi,

menurut pandangan Islam hal itu jauh lebih ringan dibandingkan

dengan seorang perempuan yang 'afifah yang tidak melakukan

zina, kemudian dijadikan sasaran tuduhan yang keji. Dan hal itu

sangat diutamakan oleh Islam.

Islam tidak menginginkan terjadinya perbuatan zina. Dan di

saat Islam menginginkan agar perbuatan zina tidak dilakukan, bukan

lewat perantara para saksi dan hukuman, tetapi melalui jalur

yang lain. Jika masyarakat konsisten terhadap berbagai jalur pen

p:15

didikan individual dan undang-undang sosial Islam, perbuatan

zina tidak akan terjadi. Dan bukannya jika perbuatan zina telah

terjadi kemudian dijatuhi hukuman, dan melalui perantaraan

penjatuhan hukuman tersebut mencegah perbuatan zina. Benar,

Islam juga mengakui adanya pengaruh dari hukuman itu. Ketahuilah,

mereka-mereka yang tidak mengindahkan ajaran itu akan

mendapatkan hukuman berupa dera yang bisa jadi menyebabkan

kematiannya, atau dihukum dengan dilempari batu kerikil sampai

mati. Telah kita ketahui bahwa diperlukan empat orang saksi, dan

kesaksian dapat membahayakan saksi. Jika ada seseorang yang menyaksikan

seorang perempuan tengah berbuat zina, dan ditempat

itu tidak ada tiga orang lagi selain dia, yang dapat secara bersama sama

memberikan kesaksian, ia harus tutup mulut. Jika ada dua

orang menyaksikan perbuatan itu, mereka berdua pun harus tutup

mulut. Jika ada tiga orang yang menyaksikannya, mereka bertiga

juga harus tutup mulut. Ketika kami mengatakan “Mereka harus

tutup mulut”, bukan berarti ketika mereka datang memberi kesaksian

kemudian akan dijawab, “Kesaksian yang kalian berikan tidak

cukup, karena tidak mencukupi maka pulanglah kerumah kalian

masing-masing!”, Tidak, namun akan dijawab, “Kalian telah mengatakannya

tetapi tidak dapat mendatangkan saksi, jika demikian

kalian adalah qadzif (menuduh perempuan) dan setiap seorang dari

kalian mesti didera delapan puluh kali”. Inilah yang dikatakan oleh

Al-Quran, “Mereka yang menu duh perempuan yang 'afifah dan

tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, sekalipun mereka

benar, namun disebabkan ucapannya itu mereka telah menuduh

perempuan tersebut, mereka harus didera delapan puluh kali”.

Tetapi apakah hanya hukuman jasmani saja? Tidak, bahkan

juga hukuman sosial. “dan janganlah kamu terima kesaksian mereka

buat selama-lamanya”, kesaksian mereka ditolak untuk selamanya.

Setelah itu, kesaksi an mereka dalam berbagai hal sama

sekali tidak dapat diterima. Mereka juga harus mendapatkan hukuman

sosial, yakni mereka sejak saat itu tidak lagi memiliki posisi

dalam masyarakat. Mengapa begitu? Karena seorang perempuan

p:16

yang 'afifah dituduh dengan tuduhan; berbuat zina, dan mereka

tidak dapat membuktikannya.

Hukuman ketiga: “Dan mereka itulah orang-orang yang

fasik”, mereka adalah orang-orang fasik. Di sini terdapat perbedaan

pendapat di antara para mufas, yaitu apakah kalimat “Dan

mereka itulah orang-orang yang fasik”, merupakan satu hukuman

tersendiri dan bukan dari “dan janganlah kamu terima kesaksian

mereka buat selama-lamanya”, ataukah keduanya merupakan satu

hukuman? Sebagian berpendapat, keduanya adalah satu, yaitu

kalimat “Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”, merupakan

sebab bagi “Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat

selama-lamanya”, yakni dengan tuduhan itu mereka telah menjadi

fasik, dan ketika mereka telah fasik maka kesaksian mereka tidak

dapat diterima. Dan dalam segala hal yang persyaratannya adalah

harus adil (tidak melakukan perbuatan dosa), mereka tidak lagi

dapat diterima. Misalnya saja tidak sah mengucapkan kalimat perceraian

di hadapan mereka, tidak sah salat berjamaah di belakang

mereka, jika mereka adalah marja’ (mujtahid yani fatwa-fatwanya

diamalkan oleh masyarakat) maka tidak boleh lagi diikuti, karena

persyaratan dari semua itu adalah keadilan. Oleh karena itu keduanya

merupakan satu hukuman.

Tetapi sebagian yang lain berpendapat bahwa di sini ada dua

bentuk hukuman. Pertama, kesaksian mereka tidak dapat diterima.

Kedua, mereka adalah orang-orang yang fasik. Karena mereka

adalah orang-orang yang fasik maka mereka menanggung berbagai

dampak dari kefasikan itu, namun keduanya itu dapat dipisahkan.

Jika saksi yang tidak dapat membuktikan tuduhannya

ini telah bertaubat, maka kefasikannya telah lenyap, yakni kita

menganggapnya sebagai seorang yang adil, kita salat berjamaah di

belakangnya, dan jika ia seorang mujtahid dan secara keilmuan ia

sudah boleh diikuti, maka kita dapat mengikutinya, dan juga jika

ia adalah seorang mujtahid maka ia dapat menjadi seorang hakim

(karena hakim harus seorang yang adil), namun kesaksiannya tidak

lagi dapat diterima karena hukuman itu adalah satu hukuman

terpisah. Sampai di sini arti dari ayat berikutnya akan men jadi

jelas,

p:17

«إِلَّا الَّذِینَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِکَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِیمٌ (5)»

“Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan mem-

perbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun

lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nur: 5)

Kecuali mereka yang setelah itu bertaubat dan memperbaiki

(dirinya), maka Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Pada perkecualian “kecuali orang-orang yang bertaubat” terdapat

tiga kemungkinan.

Pertama, jika ada seorang yang setelah mengeluarkan tuduhan

dan tidak dapat membuktikannya (mendatangkan empat

orang saksi), lalu ia bertaubat maka kita katakan, “Karena ia telah

bertaubat maka ia tidak perlu didera. Ia dapat memberikan kesaksian

dan bukan fasik.” Namun tidak ada seorang pun yang berpendapat

semacam ini. Begitu seseorang telah menuduh seorang

perempuan dan tidak dapat membuktikannya maka ia harus didera.

Kedua, jika ia telah bertaubat, kesaksiannya tetap dapat diterima

dan ia tidak dianggap fasik. Yakni semua hukuman sosial yang

sebelumnya telah berlaku padanya, kini (sejak masa ia bertaubat)

semua itu tidak berlaku lagi, ia kembali memiliki harga diri.

Ketiga, bentuk hukuman yang kedua berlaku untuk selamanya,

yakni berbagai kesaksiannya sama sekali tidak dapat diterima.

Dan kalimat “kecuali orang-orang yang bertaubat,” merupakan

suatu pengecualian dari yang lain, yaitu pengembalian sebagian

harga misalnya saja, ia dapat menjadi imam salat, dibolehkan

mengikutinya (ber-taklid), dapat menjadi hakim, namun kesaksiannya

sama sekali tidak dapat diterima. Dan tampaknya kemungkinan

ketiga inilah yang benar; yakni, “kecuali orang-orang yang

bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya) ” merupakan

pengecualian dari “Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Ayat berikutnya:

«وَالَّذِینَ یَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ یَکُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِینَ (6)»

p:18

“dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina) padahal

mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain di mereka sendiri,

maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan

nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang

benar.” (QS an-Nur: 6)

«وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَیْهِ إِنْ کَانَ مِنَ الْکَاذِبِینَ (7)»

dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atsnya, jika

dia termasuk orang-orang yang berdusta. (QS an-Nur: 7)

«وَیَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْکَاذِبِینَ (8)»

Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat

kali atas nama Allah suaminya itu termasuk orang-orang yang dusta. (QS an-Nur: 8)

«وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَیْهَا إِنْ کَانَ مِنَ الصَّادِقِینَ (9)»

dan sumpah yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika

suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (QS an-Nur: 9)

Di sini terdapat sebuah pertanyaan semacam ini, “Kalian

mengatakan bahwa jika ada seorang laki-laki yang menuduh

seorang perempuan maka ia harus mendatangkan empat orang

saksi, lalu jika ia tidak me miliki empat orang saksi lalu bagaimana?”

Perlu ia ketahui karena ia tidak memiliki saksi yang cukup,

jika ia ungkapkan kejadian itu (mengeluarkan tuduhan) maka ia

mesti didera. Oleh karena itu yang mesti ia lakukan adalah diam

dan tutup mulut. “Jika orang laki-laki yang menyaksikan perbuatan

zina perempuan itu adalah suami dari perempuan itu sendiri

apa yang mesti ia lakukan? Apakah ia juga mesti memiliki empat

orang saksi, sehingga kemudian ia datang menemui seorang hakim

dan mengatakan, ‘Istriku telah berbuat zina?’ Jika ia mesti

berusaha mencari empat orang saksi maka perbuatan zina tersebut

pasti sudah selesai.”

p:19

Sebelumnya juga telah disebutkan bahwa jika saksi itu adalah

bukan suami, maka akan dikatakan, “Karena kau tidak memiliki

cukup saksi maka lebih baik kau diam saja, tutuplah mulutmu, apa

hubungannya denganmu? Jika kau tetap mengatakannya maka

kau akan didera.”

Seorang suami ketika memberikan kesaksian di hadapan hakim,

ia harus bersumpah atas nama Allah sebanyak empat kali,

dan Allah sebagai saksi bahwa ucapannya itu adalah benar dan ia

tidak berbohong, yakni tidak cukup hanya bersumpah sekali saja.

Ia harus bersumpah sebanyak empat kali. Empat kali kesaksian

itu harus disertai dengan sumpah. Apakah hal ini telah cukup? Tidak,

masih belum cukup. Pada kali yang kelima ia harus melaknat

(mengutuk) dirinya sendiri dengan mengucapkan, “Semoga Allah

mengu tukku, jika aku berkata bohong.” Dengan demikian apakah

telah terbukti bahwa perempuan itu benar-benar berbuat zina? Tidak.

Mereka akan mengatakan kepada perempuan itu, “Suamimu

telah melakukan ‘li’an’, yakni bersumpah sebanyak empat kali, dan

satu kali mengu tuk dirinya sendiri jika ia berbohong, bagaimana

pendapatmu?” Jika perempuan tersebut mengakui perbuatannya

maka ia akan dijatuhi hukuman. Begitu juga jika ia diam saja,

dan tidak melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri maka

itu merupakan sebuah pengakuan. Tetapi mereka akan memberikan

satu jalan bagi perempuan tersebut yang mana mereka akan

mengatakan, “Kau juga bersumpahlah sebagaimana dia. Kau juga

bersumpah sebanyak empat kali bahwa suamimu berkata bohong.

Dan pada kali kelima katakanlah, “Se moga Allah mengutukku

jika suamiku berkata benar.” Jika perempuan itu tidak bersedia

melakukannya, maka mereka akan mengatakan, “Sekarang jelas

bahwa kau telah berbuat zina, dan mesti menerima hukuman.”

Namun jika perempuan tersebut bersedia untuk melakukannya

dan mengatakan, “Aku akan membela diriku,” tindakan

apa lagi yang mesti diambil? Laki-laki (suami) itu telah bersumpah

sebanyak empat kali dan pada kali kelima mengutuk dirinya

sendiri jika ia ber kata bohong, dan perempuan (istri) itu juga telah

ber sumpah sebanyak empat kali dan pada kali kelima ia mengatakan,

“Semoga Allah mengutukku jika suaminya berkata benar.”

p:20

Bagaimanakah Islam menentukan hukumannya? Apakah laki-laki

(suami) itu dihukumi sebagai seorang penuduh terhadap kesucian

perempuan (qadzif), dan ia dijatuhi hukuman dera? Tidak. Apa kah

perempuan itu (istri) dihukumi sebagai orang yang berdosa lalu ia

mesti dijatuhi hukuman, dan di sini hukumannya adalah dirajam,

dilempari batu sampai menemui ajal? Tidak. Lalu apa yang mesti

dilakukan? Islam mengatakan, “Karena masalahnya demikian,

maka kalian berdua harus berpisah untuk selamanya, dan tidak diperlukan

ucapan perceraian.” Tindakan tersebut (sumpah) adalah

sama dengan perceraian, ka lian satu sama lain telah berpisah, kau

di seberang sini dan dia di seberang sana, sejak saat ini kalian berdua

bukan lagi suami istri. Tindakan tersebut dalam Islam disebut

dengan “li’an”atau “mula’anah”.

Pada suatu hari di masa Rasulullah Saw peristiwa semacam

itu telah terjadi dan mereka mengatakan bahwa peristiwa tersebut

merupakan sebab dari turunnya ayat tersebut. Ada seorang lakilaki

yang bernama Hilal bin Umayah. Pada suatu hari ia datang

menemui Rasul Saw dengan tergesa-gesa dan berkata, “Wahai Rasulullah

aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa istriku

telah berbuat zina dengan si fulan.” Nabi Saw memalingkan wajahnya.

Untuk kedua kalinya, ketiga kalinya ia mengulangi ucapannya

itu dan mengatakan, “Allah sebagai saksi, bahwa aku berkata

benar dan tidak berkata bohong.” Kemudian ayat ter sebut turun.

Dan setelah itu, Rasulullah Saw menghadirkan Hilal bin Umayah

beserta istrinya. Istrinya adalah dari keturunan keluarga terhormat

di Madinah, dan dari salah satu kabilah yang besar. Untuk pertama

kalinya Rasulullah Saw melaksanakan acara “li’an”. Beliau berkata

kepada laki-laki itu, “Kemari dan bersumpahlah atas nama Allah,

bahwa kau berkata benar, dan pada kali kelima Allah mengutukmu

jika kau ber kata bohong.” Ia maju ke depan dan dengan penuh

percaya diri ia mengucapkan semua itu. Rasulullah juga berkata

kepada perempuan itu agar bersumpah bahwa suaminya berkata

bohong. Perempuan itu pada awalnya terdiam dan membisu. Ia

hampir saja mengakuinya. Kemudian ia melemparkan pandangan

ke arah sanak keluarganya, lalu berkata dengan dirinya sendiri,

“Tidak, aku tidak akan mencoreng muka mereka, dan tidak akan

p:21

mempermalukan mereka.” Ia (perempuan itu) berkata, “Aku bersedia

melakukannya.” Ketika Hilal bin Umayah telah bersumpah

sebanyak empat kali dan hendak mengutuk dirinya sendiri Rasulullah

Saw bersabda, “Ketahuilah azab akhirat sangat lebih berat

dari azab dunia, jangan sampai kau menuduh istrimu de ngan

tuduhan bohong, takutlah kepada Allah!” Ia menjawab, “Tidak, wahai

Rasulullah. Allah sendiri mengetahui bahwa aku tidak berkata

bohong.” Dan terhadap perempuan itu, juga ketika ia telah bersumpah

seba nyak empat kali dan hendak mengucapkan, “Semoga

Allah mengutukku ....,” Rasulullah bersabda, “Takudkah kau akan

siksaan Allah, yang ada di akhirat sangat lebih berat dari yang ada

di dunia, jangan sekali-kali jika ucapan suamimu adalah benar lalu

kau mendustakannya!” Hal inilah yang menyebabkan perempuan

tersebut terdiam sejenak, dan hampir saja mengakuinya, namun

akhirnya ia mengucapkan kalimat tersebut. Setelah itu Rasulullah

Saw bersabda, “Sejak saat ini kalian berdua bukan lagi suami istri.”

«وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَیْکُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ حَکِیمٌ (10)»

10. Dan andaikata tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya atas dirimu dan (andaikata)

Allah bukan Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana, (niscaya kamu akan mengalami kesulitan-kesulitan) (QS. An-Nur: 10)

Jika bukan karena karunia Ilahi, jika bukan karena rahmat

Ilahi, dan sekiranya Allah swt bukan Maha Penerima Taubat dan

Mahabijaksana, maka kondisinya akan berbeda. Allah akan menurunkan

bagi ka lian siksaan yang sangat pedih. Mungkin Anda akan

berpikir bahwa hal-hal yang telah saya jelaskan berkenaan dengan

permasalahan ini adalah sanksi-sanksi yang sangat keras, namun

ketahuilah bahwa semua itu merupakan karunia dan rahmat Ilahi,

dan satu bentuk nyata bahwa Allah Maha Penerima Taubat. Yang

demikian itu adalah yang terbaik bagimu.

Setelah ini kita memiliki ayat yang lain yang disebut dengan

ayat ‘ifk’. ‘ifk’ artinya adalah sebuah tuduhan yang berhubungan

p:22

dengan sebuah peristiwa sejarah. Salah seorang dari istri Rasulullah

Saw pada suatu peristiwa, dijadikan sasaran tuduhan keji oleh orang-orang

munafik, menurut keyakinan Ahlusunah

perempuan tersebut adalah A’isyah, dan menurut keyakin an sebagian

dari Syiah’ adalah Maria Qibtiyah, sedangkan menurut

keyakinan sebagian yang lain adalah A’isyah. Kemungkinan anda

akan berpikir bahwa yang terjadi adalah harus sebaliknya; orangorang

Syiah mengatakan bahwa perempuan yang dijadikan sasaran

tu duhan itu adalah A’isyah dan Ahlusunah mengatakan bahwa

yang menjadi sasaran tuduhan itu adalah Maria Qibtiyah. Mengapa

orang-orang Ahlusunah bersikeras dalam menyatakan bahwa

perempuan yang dijadikan sa saran tuduhan keji itu adalah A’isyah,

dan orang-orang Syiah yang fanatik juga bersikeras bahwa yang

menjadi sasaran tuduhan keji tersebut adalah Maria Qibtiyah?

Karena tuduhan ini menjadi suatu hal yang lain—baik menurut

sudut pandang umumnya masyarakat maupun menurut sudut

pandang ayat-ayat Al-Quran berkenaan dengan perempuan yang

dituduh tersebut—di mana bagi perempuan tersebut tuduhan itu

merupakan suatu bentuk penghormatan bagi dirinya. Yakni tidak

diragukan lagi bahwa tuduhan terhadap perempuan itu adalah

suatu kebohongan semata, dan ia dibersihkan dari semua itu, dan

secara seratus persen diketahui bahwa kejadian itu adalah suatu

kebohongan belaka. Hal inilah yang menyebabkan orang-orang

Ahlusunah bersikeras bahwa perempuan yang dijadikan sasaran

keji itu yang kemudian dibuktikan secara seratus persen bah wa

perempuan itu dalam keadaan suci dan bersih adalah A’isyah. Dan

sebagian orang-orang Syiah menginginkan penghormatan ini ditujukan

kepada Maria Qibtiyah. Lalu bagaimanakah kejadian yang

sebenarnya? Ayat-ayat Ifk beserta ceritanya secara mendetail insya

Allah akan saya paparkan pada pertemuan yang akan datang.

Salawat dan salam atas Muhammad dan keluarganya yang suci.

p:23

p:24

p:25

Bagian 2

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang

terkutuk.

«إِنَّ الَّذِینَ جَاءُوا بِالْإِفْکِ عُصْبَةٌ مِنْکُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَکُمْ بَلْ هُوَ خَیْرٌ لَکُمْ لِکُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اکْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِی تَوَلَّی کِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِیمٌ (11)»

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu

adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa

berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi

kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa

yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil

bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya

azab yang besar. (QS an-Nur: 11)

«لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَیْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْکٌ مُبِینٌ (12)»

Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orangorang

mukmin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri

mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: «Ini adalah suatu

berita bohong yang nyata.» (QS an-Nur: 12)

p:26

Ayat-ayat tersebut yang secara istilah disebut dengan “Ifk”.

Ifk ialah sebuah kebohongan besar (sebuah tuduhan)

yang dilontarkan untuk menjatuhkan kehormatan Rasulullah Saw,

yaitu sebagian orang-orang munafik menyebarkan berita bohong

berkenaan dengan salah seorang istri Nabi Saw. Sebelumnya saya

telah menukil cerita tersebut secara panjang lebar.(1) Sekarang mari

kita simak bersama ayat-ayat ini dan poin-poin penting yang ada

(masalah pendidikan, masalah kemasyarakatan merupakan suatu

hal yang sangat sensitif, yang mana pada masa kita ini, kita juga

akan menghadapi berbagai permasalahan itu) saya akan berusaha

untuk menjelaskannya.

Ayat mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang membawa

berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga,” mereka yang

membuat dan menciptakan Ifk itu adalah sebuah kelompok yang

terdiri dari beberapa orang dari mereka sendiri. Dengan perantaraan

ini Al-Quran hendak menggugah kaum Muslimin dan menyadarkan

bahwa dalam tubuh mereka banyak orang-orang yang

berpura-pura memeluk Islam, sedangkan dalam batin mereka tersimpan

berbagai tujuan dan usaha jahat. Dalam hal ini Al-Quran

hendak mengatakan bah wa cerita buatan itu bukan dibuat oleh

orang-orang yang dalam keadaan lalai atau tidak sadar, tetapi atas

dasar tujuan tertentu. Tujuan utamanya ialah untuk menjatuhkan

kehormatan dan kedudukan Nabi Saw, namun mereka tidak

berhasil mencapai tujuan itu. Kemudian mengatakan, ini adalah

suatu keburukan yang hasilnya adalah kebaikan. Pada hakikatnya

ini bukan suatu keburukan. “Janganlah kamu kira bahwa berita

bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu,” kalian

jangan mengira bahwa ini adalah suatu kejadian buruk dan

merupakan suatu kekalahan bagi kalian Muslimin. Tidak, cerita

p:27


1- 3 Pita rekaman tersebut tidak ada di tangan kami. Namun ringkasan dari cerita tersebut menurut riwayat Ahlusunah ialah sebagai berikut: “Aisyah istri Rasulullah Saw, tatkala Muslimin kembali dari suatu peperangan, dan ia tinggal di salah satu rumah, ketika ia hendak buang hajat ia masuk ke dalam sebuah hutan. Dan di sana penutup wajahnya (cadar) terjatuh, dan untuk beberapa saat ia mencarinya. Akhirnya ia tertingal dari rombongan. Lalu ia bersama Sofwan—yang bertugas mencari mereka yang tertinggal dari rombongan—dengan terlambat memasuki kota Madinah. karena kejadian inilah kemudian orang-orang munafik menyebarkan berita bohong mengenai Istri Nabi Saw.”

ini—sekalipun sangat pahit—namun memberikan manfaat pada

masyarakat Islam. Lalu mengapa Al-Quran menganggap cerita itu

adalah kebaikan dan bukan keburukan, sedangkan pada kenyataannya

cerita tersebut sangat pahit? Cerita yang mereka buat itu

tujuannya adalah untuk mempermalukan dan melecehkan Rasulullah

Saw. Hari-hari setelahnya—kurang lebih setelah empat

puluh hari— akhirnya wahyu turun dan situasi dan kondisi yang

sebenarnya menjadi jelas. Allah telah mengetahui peristiwa yang

menimpa diri Nabi Saw dan sanak keluarganya pada hari-hari itu!

Peristiwa itu dinyatakan oleh Al-Quran sebagai “kebaikan” berdasarkan

pada dua argumen.

Pertama, dengan demikian maka kelompok orang-orang munafik itu dapat diketahui dengan jelas

dalam setiap masyarakat sesuatu yang paling berbahaya ialah ketika kelompok yang ada di

dalamnya tidak diketahui dengan jelas. orang-orang munafik dan

orang-orang mukmin bercampur-baur dalam satu barisan. Pada

saat kondisi tenang hal itu tidak membahayakan. Tetapi sewaktu

terjadi guncangan dalam masyarakat, maka masyarakat akan menerima

kerugian yang cukup besar akibat ulah dari orang-orang

munafik. oleh karena itu dengan perantara kejadian yang menimpa suatu masyarakat,

berbagai hal yang sebelumnya tersembunyi menjadi jelas, dan kejadian itu merupakan sebuah ujian.

Orang-orang mukmin berada dalam satu barisan tersendiri, danorang-orang munafik mulai tersingkap

tirai kemunafikannya dan mereka menempati barisan yang sesuai dengan diri mereka. Ini

merupakan suatu kebaikan yang cukup besar bagi sebuah masyarakat

Islam.

orang-orang munafik yang membuat cerita palsu itu mereka dicap oleh Al-Quran dengan itsm. Kata ‘istm’ berarti “dosa”. Sepanjang

hidupnya mereka tidak lagi memiliki arti.

Kedua, orang-orang munafik menbuat cerita itu secara sengaja dan sadar, namun kaum Muslimin secara tidak sadar menjadi

anggota dari kelompok ini. Sebagian besar Muslimin, walaupun

mereka adalah Muslim, beriman, dan ikhlas, serta tidak memiliki

tujuan dan penyakit tertentu, namun mereka secara tak sengaja

p:28

telah menjadi juru bicara dari kelompok itu. Semua itu mereka

lakukan karena ketidaktahuan dan ketidaksadaran, sebagaimana

yang telah dijelaskan secara sempurna oleh Al-Quran.

Ini merupakan sebuah bahaya besar bagi suatu masyarakat,

ketika para individunya dalam keadaan tidak sadar. Jika musuh

cerdik, maka mereka akan digunakan sebagai alat, guna menghancurkan

diri mereka sendiri. Dibuatnya sebuah cerita bohong, kemudian

cerita ini disampaikan kepada mereka (Muslimin), hingga

akhirnya mereka sibuk membicarakan cerita yang dibuat oleh musuh

itu, yang sebenarnya hal itu akan menghancurkan diri mereka

sendiri. Terjadinya semua itu adalah akibat dari ketidaksadaran.

Sebuah masyarakat hendaknya tidak menjadi semacam itu; sampai-

sampai kebohongan yang dibuat oleh mu suh diakui kebenarannya

dan disebarluaskan. Kebohongan yang dibuat oleh musuh

mesti kita kubur dalam-dalam. Tujuan musuh adalah agar berita

tersebut tersebar luas. Kalian harus menguburnya, dan jangan

kalian sampaikan walaupun kepada seorang saja. Karena dengan

perisai “diam” inilah kalian mampu untuk menggagalkan berbagai

usaha musuh.(1)

p:29


1- 4 Misalnya saja, pernah ada sebuah isu bohong kemungkinan sampai saat ini pun isu tersebut masih ada dalam benak seseorang. Pernah saya menyaksikan seorang yang mengatakan, “Orang-orang Palestina adalah nasibi. Nasibi ialah musuh Imam Ali a.s Nasibi tidak sama dengan Ahlusunah. Ahlusunah ialah mereka yang mengakui kepemimpinan Abubakar sepeninggal Rasul Saw, dan Ali as diakui sebagai khalifah yang keempat, dan mereka tidak meyakini bahwa Nabi Saw telah menunjuk seorang penggantinya yang akan menjadi pemimpin kaum Muslimin. Mereka berpendapat bahwa karena Nabi Saw tidak mengangkat seorang pengganti maka kaum Muslimin memilih Abubakar sebagai khalifah. Orang-orang Ahlusunah menghormati Imam Ali a.s karena mereka mengakui bahwa beliau adalah pemimpin dan khalifah yang keempat, dan mereka mencintainya. Akan tetapi nasibi ialah orang yang memusuhi Imam Ali a.s. Ahlu sunah adalah Muslim sedangkan nasibi adalah kafir dan najis Kita tidak dapat mengadakan hubungan secara Islami dengan orang-orang nasibi. Lalu ada seorang yang datang dan mengatakan, “Orang-orang Palestina adalah nasibi” Kemudian disampaikan oleh yang mendengar kepada yang lain, orang ini menyampaikan kepada orang itu dan seterusnya. Jika mereka adalah nasibi maka mereka adalah orang-orang kafir dan tidak ubahnya seperti orang-orang Yahudi. apakah tidak ada seseorang yang berfikir bahwa berita bohong itu sumbernya adalah dari orang-orang Yahudi. Ia (Yahudi) di berbagai tempat senantiasa menyebarkan berita bohong guna melenyapkan rasa solidaritas sesama Muslimin. Padahal sewaktu saya berada di Mekah, di sana saya banyak melihat orang-orang Palestina. Salah seorang dari mereka datang menghampiri saya dan berkata, “Apa hukumnya masalah haji ini?” Kemudian ia melanjutkan, “Saya adalah Syi’ah, ini teman-teman saya mereka adalah Ahlusunah.” Telah jelas bahwa di antara mereka juga terdapat Syi’ah. Kemudian mereka berkata, “Di antara kita ada yang Syi’ah dan ada yang Ahlusunah. Di antara kita banyak orang-orang Syi’ah.” Demikian pula dengan Laila Khalid* terkenal sebagai seorang Syiah. Dalam berbagai ceramahnya di berbagai tempat di Mesir ia selalu mengatakan, “Saya adalah Syi ‘ah.” Namun orang-orang Yahudi menyebarkan kaki tangannya agar mengatakan mereka adalah nasibi. Al-Quran memberi petunjuk agar dalam kondisi semacam ini—jika kalian mendengar tuduhan semacam itu yang ditujukan kepada salah seorang dari kalian yang juga mengucapkan dua kalimat syahadat—apa yang mesti kalian lakukan. *Seorang gerilyawan Palestina.

Keuntungan dari cerita bohong ini ialah, kesalahan yang dilakukan

oleh Muslimin (tampak jelas) yakni ucapan yang disampaikan

oleh ‘usbah (sekelompok, satu golongan yang saling terikat)

adalah berita bohong. Orang-orang awam dan tidak sadar begitu

mendengarkan ucapan orang-orang munafik, segera menyampaikan kepada yang lain, “Aku mendengar bahwa si fulan ....,” yang

lain pun mengatakan, “Saya mende ngar bahwa si fulan ....,” orang

ketiga pun mengatakan kepada yang lain, Wallahu A'lam Aku

mendengar bahwa si fulan ....,” hasilnya ialah Muslimin yang awam

dan tidak sadar secara tidak sengaja telah menjadi juru bicara dari

suatu kelompok yang hanya terdiri dari beberapa orang.

Cerita Ifk ini merupakan sebuah lonceng yang membangunkan

Muslimin. Mereka saling berpandangan, “Dari satu sisi kita

mengenal mereka dan dari sisi lain kita mengenal diri kita sendiri.

Mengapa kita melakukan satu kesalahan yang besar, mengapa kita

menjadi alat mereka?”

Saya punya seorang kawan lama, rumahnya ada di suatu daerah

yang sangat terpencil. Sampai-sampai saya tidak ingin menyebutkan

nama daerahnya. Dari dae rah terpencil yang ada di Teheran

itu ia datang kemari (Masjid al-Jawad). Seusai pelajaran tafsir,

dan saya hendak kembali ke rumah,. ia berkata, “Saya membawa

mobil yang sederhana, mari kita pulang bersama.” Di tengah perjalanan

ia mengatakan, “Apakah Anda mengetahui tujuan dari kedatangan

saya kemari? Mereka mengatakan bahwa di Masjid al-Jawad tidak dikumandangkan

“Ashadu Anna 'Aliyyan Waliyullah” maka saya datang kemari untuk membuktikan apakah benar tidak

dikumandangkan.” Saya menjawab, “Semoga Allah mencurahkan

ampunan-Nya kepada orangtuamu, kau masih memiliki rasa ingin

tahu, sehingga kau datang kemari untuk membuktikan sendiri dikumandangkan

atau tidak dikumandangkan.” Seandainya saja ada

p:30

seorang yang mengatakan bahwa, “Ashadu Anna 'Aliyyan Waliyullah-

tidak dikumandangkan di Masjid al-Jawad.” Kemudian yang

lain juga mengatakan hal yang sama. Maka kalian akan menyaksikan

seluruh masyarakat akan mengatakan, “Kami mendengar

bahwa di Masjid al-Jawad "Ashadu Anna 'Aliyyan Waliyullah" tidak

dikumandangkan!”

Apa yang dikatakan oleh Islam? Islam mengatakan, “Jika kau

mendengar kasus semacam ini, janganlah kau sebarluaskan. Jika

dalam dirimu terdapat rasa tanda tanya pergi dan telitilah! Kau tidak

memiliki semangat untuk meneliti, lalu mengapa kau berbicara

kesana ke mari? Kau tidak berhak untuk berbicara.”

(1)... setengahnya adalah orang-orang Yahudi dan setengahnya

adalah Muslimin. Jarak dari desa tersebut menuju “cetel”(2) kurang

lebih adalah dua farsakh (11 km). Orang-orang Yahudi mengatakan,

“Cetel adalah milik kami, kami yang membangunnya, pemakaman

ini milik kami.” Muslimin desa itu juga mengatakan, “Tidak, itu

milik kami.” Orang-orang Yahudi menga takan, “Itu adalah milik

kami karena di situ tidak terdapat menara.” Sedangkan Muslimin

mengatakan, “Itu adalah milik kami karena di situ terdapat menara.”

Satu sama lain saling berkelahi. Kaki dan tangan mereka

terluka, bahkan beberapa orang pun terbunuh. Argumen mereka

adalah “karena di situ tidak terdapat menara”, dan argumen

dari yang lainnya adalah “karena di situ terdapat menara.” Mereka

semua tidak memiliki kemauan untuk mengadakan perjalanan

sejauh dua farsakh saja yang kemudian dapat dibuktikan dengan

mata kepala sendiri apakah di situ terdapat menara atau tidak!

Keuntungan dari cerita ini (ifk) ialah memberikan pengetahuan

dan kesadaran pada Muslimin. Kisah semacam itu dicantumkan

dalam Al-Quran dengan tujuan agar senantiasa abadi, dan

senantiasa dapat dijadikan sebagai sebuah pelajaran, yaitu jangan

sampai Muslimin dengan tanpa disadari menjadi sebuah alat, dan

dengan tanpa disadari menjadi juru bicara musuh.

Allah Yang Mengetahui bahwa orang-orang Yahudi ini—pada

peringkat pertama—dan orang-orang Baha’i yang merupakan

p:31


1- 5 Kekurangan berasal dari pita rekaman—peny.
2- 6 Nama sebuah tempat pemakaman.

kaki tangan orang-orang Yahudi, betapa banyak cerita bohong

sermacam ini yang telah mereka buat. Terkadang ada suatu kisah

yang dibuat oleh seorang Yahudi atau Nasrani yang tujuannya

adalah menghancurkan Muslimin itu sendiri. Begitu kuatnya isu

tersebut sehingga lambat-laun kisah buatan itu dicantumkan

dalam berbagai buku. Kemudian hal itu digambarkan begitu rupa

sehingga tampak sebagai suatu kejadian yang nyata, dan akhirnya

Muslimin mempercayainya. Sebagaimana kisah “Pembakaran buku

Iskandariyah”.

Setelah kedatangan Iskandar di bumi belahan timur, dan berhasil

menaklukkan Iran, India dan Mesir, di sana ia membangun

sebuah kota yang diberi nama Iskandariyah. Para cendekiawan

pada berdatangan ke kota itu, dan di sana mereka mendirikan sebuah

perpustakaan. Perpustakaan itu sebenarnya adalah sebuah

sekolah, di mana terdapat buku yang sangat banyak. Pada masa

kita sekarang ini, sejarah Muslim bahkan sejarah Masehi menjelaskan

kasus yang sebenarnya, yaitu sebelum Muslimin berhasil menduduki

Iskandari yah, telah dua atau tiga kali perpustakaan ini dirampok

dan dibakar. Ketika Emperium Romawi Timur condong

pada agama Masehi, karena ia menganggap ilmu filsafat bertentangan

dengan ajaran Masehi, maka ia menghancurkan sekolahan

Iskandariyah. Mungkin Anda pernah mendengar, mengenai tu-

juh orang ahli filsafat yang datang ke Iran (ke istana Anusyirwan)

guna meminta perlindungan. Pada saat itu di Iskandariyah sudah

tidak ada lagi perpustakaan. Pada masa sekarang ini ahli sejarah

Masehi seperti Will Durant dan yang lainnya membuktikan dengan

pasti bahwa sebelum Muslimin menaklukkan Iskandariyah,

Perpustakaan Iskandariyah telah beberapa kali mengalami kerusakan,

dan ketika Muslimin tiba disana sudah tidak lagi terdapat

perpustakaan.

Dari sisi lain rincian peristiwa penaklukkan yang dilakukan

oleh Muslimin, baik penaklukkan Mesir, Iran dan berbagai kawasan

lain, kesemuanya itu dicatat dan dibukukan para ahli sejarah

Muslim dan Masehi. Kemudian pada abad kedua dan ketiga,

berbagai buku sejarah yang agung seperti, Tarikh al-Ya’qubi, Tarikh

ath-Thabari, Futuh al-Buldan (Baladzuri)—yang kese muanya itu

p:32

memuat berbagai peristiwa yang terjadi pada masa abad pertama

Islam, dengan silsilah para perawinya yang tertib dan jelas—mencantumkan

pe ristiwa tersebut. Tidak ada seorang pun dari ahli sejarah

yang menulis bahwa sebelum itu di Iskandariyah terdapat sebuah

perpustakaan yang kemudian dibakar dan dimusnahkan oleh

Muslimin. Will Durant menyebutkan, “Pada masa itu, ada seorang

pendeta yang tinggal di Iskandariyah. Pendeta itu menulis berbagai

peristiwa yang terjadi pada penaklukkan Iskandariyah (saya memiliki

bukunya), dalam buku itu sama sekali tidak tercantum tentang

pembakaran buku.” Tiba-tiba pada akhir abad keenam Hijriah—

yakni setelah enam ratus tahun—dan pada abad ketujuh ada dua

orang yang bukan dari ahli sejarah dan keduanya adalah Nasrani,

dengan tanpa membawa satu bukti yang jelas, demi melenyapkan

tuduhan terhadap orang-orang Nasrani, mereka mengatakan, “Ketika

‘Amr ibnu ‘Ash tiba di Iskandariyah ia melihat adanya sebuah

perpus takaan yang cukup besar. Ia menulis surat kepada khalifah

yang isinya menanyakan apa tugas kami terhadap perpustakaan

ini? Khalifah menjawab, “Jika yang ada di dalam perpustakaan itu

sesuai dengan Al-Quran, maka cukuplah bagi kita Al-Quran dan

jika bertentangan dengan Al-Quran, semua itu tidak memberikan

manfaat pada kita. Keseluruhannya harus dibakar!” Lambat

laun Muslimin pun menukil cerita bohong ini dari buku tersebut

dengan tanpa sedikit berpikir bahwa jika sekiranya peristiwa itu

benar-benar terjadi mengapa para ahli sejarah pada abad pertama

sama sekali tidak menceritakan adanya peristiwa itu?

Ada beberapa bukti lainnya yang membuktikan kebohongan

cerita itu. Pada beberapa kesempatan saya telah berceramah

sebanyak tiga kali berkenaan de ngan “Pembakaran buku Iskandariyah”

dan kebohongan cerita ini telah saya buktikan.(1) Syibli

Nu’man juga menulis sebuah makalah berkenaan dengan cerita

bohong ini. Dan menurut pendapat berbagai pengkaji, cendekiawan,

ahli sejarah tidak diragukan lagi bahwa cerita itu adalah satu

kebohongan belaka. Musuh dan kaki tangannya dengan sengaja

p:33


1- 7 Anda dapat merujuk bab “Pembakaran Buku Iran dan Mesir” dalam buku Khadamat Mutaqabil Islam wa Iran (Jasa Timbal balik Antara Islam dan Iran). Tulisan itu merupakan bentuk rinci dari ceramah tersebut.

menciptakan berita bohong itu, namun saudara-saudara kita secara

tak sengaja telah menukil cerita itu. Hingga akhirnya dalam

buku filsafat dan logika kelas enam sekolah dasar(1) ketika hendak

memberikan contoh untuk qadhiyah munfashalah (masalah yang

bertolak belakang)(2) mereka mengatakan, “Sebagaimana yang dikatakan

oleh khalifah Muslimin berkenaan dengan Perpustakaan

Iskandariyah. la mengatakan, “Jika sesuai de ngan Al-Quran, maka

cukuplah bagi kita Al-Quran. Dan jika bertentangan dengan Al-

Quran maka tidak bermanfaat bagi kita. Bakarlah semuanya!”

Dalam buku-buku sekolah dasar disebutkan bahwa umat Islam

kerjanya hanya membakar buku-buku.

Syibli Nu’man juga mengatakan, “Ketika Pasukan Inggris

menjajah India, dan kemudian mendirikan berbagai sekolah, dan

dikelola sesuai dengan kepentingan mereka. Dalam berbagai buku

logika ketika hendak memberikan sebuah contoh berkenaan dengan

qadhiyah munfashalah haqiqiyah mereka memberikan contoh

semacam di atas tersebut. Dan tujuannya ialah untuk menanamkan

dalam benak pikiran anak-anak Islam dan Hindu, bahwa

mereka adalah sebuah bangsa yang sejak dahulu kala kerjanya

hanya membakar buku-buku. Syibli Nu’man mengatakan, “Ketika

saya meneliti buku-buku yang ada disekolah dasar kami, ternyata

di situ juga tertulis contoh se macam itu. Kemudian ketika saya

meneliti buku-buku yang ada di sekolah dasar Iran, ternyata contoh

yang digunakan adalah seperti itu juga. Dan kita dengan tanpa

meneliti kembali kebenarannya kita sebarkan dari lisan ke lisan.(3)

Sehingga ketika di suatu tempat kita mengatakan, “Itu adalah cerita

bohong,” maka sekelompok orang akan mengatakan, “Apa, kejadian

itu hanya sebuah kebohongan? Kami tidak mengira jika itu

adalah sebuah kebohongan.”

Tatkala Al-Quran mengatakan, “Janganlah kamu kira bahwa

berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu,”

pada dasarnya hendak menga takan bahwa ini adalah sebuah pelajaran

bagi kalian. Wahai Muslimin! Bacalah Al-Quran kalian dan

p:34


1- 8 Pada masa Tirani Syah.
2- 9 “Masalah yang bertolak belakang secara hakiki” seperti bilangan kalau “bukan ganjil” maka “genap” atau jika “bukan siang” maka “malam”.
3- 10 Ungkapan “dari lisan ke lisan” adalah berasal dari Al-Quran.

tafsirilah dan ambillah pelajaran darinya. Kalian janganlah sekali

lagi menjadi alat musuh dan dijadikan sebagai juru bicara mereka

dan menyebarkan isu-isu yang me reka buat untuk menghancurkan

diri kalian. “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita

bohong itu ada lah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira

bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik

bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari

dosa yang dikerjakannya.” Kemudian mengatakan, masing-masing

dari mereka yang membuat cerita bohong ini, akan mendapatkan

panasnya dosa sesuai dengan usahanya. Mereka akan menanggung

siksaanya. Al-Quran mengatakan, “Ada satu orang yang dalam hal

ini yang harus menanggung dosa yang sangat berat.” Maksudnya

ialah Abdullah bin Ubai bin Sallul. Al-Quran juga mengatakan,

“Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar

dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar,” orang

yang menanggung dosa yang paling berat, Allah telah menyiapkan

baginya siksaan yang sangat pedih. Belum lagi kehancuran nama

selama-lamanya, yaitu ia mendapatkan julukan “pemimpin orang-

orang munafik dan dialam sana nanti Allah juga akan menyik-

sanya dengan siksaan yang sangat berat.

“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orangorang

mukmin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri

mereka sendiri?” Al-Quran dapat berbicara dengan cara semacam

ini. “Wahai Muslimin! Mengapa ketika kalian mendengarnya, kalian

berprasangka bu ruk terhadap saudaramu, dan tidak berprasangka

ba ik?” Jika Al-Quran mengungkapkannya semacam itu

maka isi pembahasan akan tampak sederhana. Namun Al-Quran

menyampaikan isi pembahasan itu dengan gaya bahasa yang lain.

Tidak mengatakan, “Mengapa kalian berprasangka buruk terhadap

saudara mukmin dan mukminat kalian?” Namun mengatakan,

“Mengapa kalian berprasangka buruk terhadap diri sendiri?” Perhatikanlah,

kalian adalah satu tubuh, kalian—menurut ucapan Maulawi—

adalah “satu jiwa”; Orang-orang mukmin adalah satu jiwa.”

Semua mukmin dan mukminat harus memiliki perasaan

semacam ini, yaitu merasakan seakan satu tubuh. Jika ada tuduhan

yang ditujukan kepada seorang mukmin, maka itu sama dengan di

p:35

tujukan kepada dirinya sendiri. Ini merupakan poin pertama, yaitu

bukannya diungkapan dengan, “Mengapa kalian tidak berprasangka

baik terhadap saudara kalian sesama mukmin?,” tetapi diungkapkan

dengan, “Mengapa ka lian tidak berprasangka baik terhadap

diri sendiri?” Yakni seorang Muslim tidak dibenarkan untuk

memi liki perasaan “saya” dan “dia”. Setiap Muslim harus mengetahui

bahwa harga diri saudara sesama Muslim adalah harga dirinya,

dan kehormatan saudara sesama Muslim adalah kehormatannya.

Poin kedua, juga bukan mengatakan, “Mengapa [kalian] tidak

berprasangka baik terhadap diri sendiri?” Namun mengatakan,

“Mengapa [orang-orang mukmin dan mukminat] tidak berprasangka

baik terhadap diri sendiri?” Pertama, laki-laki dan perempuan

keduanya disebut, yaitu tidak ada bedanya antara laki-laki

dan perempuan. Kedua, kata “iman” masuk dalam ungkapan itu,

yaitu hendak mengatakan bahwa iman adalah asas dari kesatuan

dan persatuan. Mukminin dari sisi keimanan adalah merupakan

satu jiwa; yakni menjelaskan standar persatuan dan kesatuan. Pada

dasarnya hendak mengatakan, “Wahai laki-laki yang beriman wahai

perempuan yang beriman, jika ada tuduhan semacam itu terhadap

diri kalian, apakah kalian akan menyebarluaskan tuduhan

itu? Di mana kalian duduk kalian senantiasa akan mengatakan

bahwa mereka menuduhku demikian, mereka mengatakan aku

demikian? Pernahkah kalian menyebarkan tuduhan yang dilontarkan

kepada diri kalian ini? Ketika kalian menge tahui bahwa bila

ada tuduhan yang ditujukan pada diri kalian maka kalian mesti

berdiam diri, begitu juga cerita bohong yang dibuat oleh sekelompok

masyarakat yang berkenaan dengan diri kalian, maka kalian

enggan untuk menyebarkannya. Akan tetapi mengapa ketika kalian

mendengar berita buruk yang berkaitan dengan saudara dan

saudari mukmin, kalian tidak mengambil sikap sebagaimana sikap

yang kalian ambil untuk diri kalian sendiri?

Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang

mukmin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri

mereka sendiri? “ dan mengapa tidak berkata Ini adalah suatu

berita bohong yang nyata”? Ketika kalian mendengar, mengapa

orang-orang mukmin tidak berbaik sangka terhadap diri mereka

p:36

sendiri? Mengapa di saat mendengarkan berita itu tidak segera

mengatakan, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” Nabi

Mulia Saw selama satu bulan atau lebih hanya berdiam diri. Muslimin

dalam keadaan lalai, semestinya pada hari-hari pertama mereka

mengatakan, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata,” ini

adalah sebuah cerita dusta, namun mereka malah mengatakan,

“Kami men dengar ....,” Cerita dan kisah palsu itu dijadikan bahan

pembicaraan di setiap pertemuan mereka. Al-Quran mengatakan

bahwa sejak hari pertama kalian semesti nya mengatakan, “Ini

adalah suatu berita bohong yang nyata.” Setelah kejadian ini hendaklah

kalian menjadi sadar, sebenarnya banyak berita bohong

yang akan bermunculan di sekitar kalian. Dan saat itu kalian harus

segera mengatakan, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.”

«لَوْلَا جَاءُوا عَلَیْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَإِذْ لَمْ یَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِکَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْکَاذِبُونَ (13)»

13. Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas

berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi

maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta (QS an-Nur: 13)

Berbagai tindakan kalian mesti ada aturan dan perhitungan.

Islam menentukan atas kalian berbagai tugas dan kewajiban. Secara

syariat tatkala kalian menghadapi suatu tuduhan yang masih belum

jelas bukti-buktinya maka harus segera mengatakan, “Itu adalah

kebohongan,” dan di sisi Allah pun itu adalah sebuah kebohongan.

Maksud dari “dan di sisi Allah itu adalah sebuah kebohongan” ialah

menurut undang-undang Ilahi itu adalah sebuah kebohongan.

Sebuah tugas dan kewajiban yang cukup jelas. Setelah ini

kita hendaknya menyadari tugas dan kewajib an yang mesti kita

lakukan di saat kita menghadapi seseorang yang membicarakan

keadaan seseorang atau sebuah organisasi. Apakah kita harus berdiam

diri? Apakah kita harus mengatakan, “Aku tidak tahu, Allah

Yang Maha Mengetahui, apa yang aku ketahui mungkin benar,

mungkin salah.” Apakah kita harus mengatakannya dalam setiap

pertemuan, “Mereka mengatakan demikian ...?” Apa tugas dan kewajiban

kita? Selama masih belum ada saksi-saksi yang ditentukan

p:37

oleh sya riat, berarti kita masih belum mengetahui permasalahan

itu secara jelas. Dan kita harus mengatakan, “Itu adalah bohong.”

Hanya dalam hal yang secara syariat telah jelas kebenarannya, dan

kita juga telah mendapatkan keyakinan yang kuat—misalnya saja

dalam masalah zina, yaitu adanya empat orang saksi yang adil, dan

pada masalah selain zina adanya dua saksi yang adil yang memberi

kesaksian, kami melihat dengan mata kepala kami sendiri, kami

mendengar dengan telinga kami sendiri (ini adalah kesaksian

yang syar’i)—maka dalam hal itu tugas kita berbeda. Selama masih

belum ada kesaksian yang syar’i kita tidak berhak untuk mengungkapkan,

tidak berhak untuk mengatakan “Tidak tahu,” tidak

berhak untuk mengatakan, “Mungkin ya, mungkin tidak.” Bahkan

kita tidak boleh hanya diam saja. Tetapi tugas dan kewajiban kita

ialah harus mengatakan, “Itu adalah bohong.” Dan ketika hal itu

secara syariat telah diketahui kepastiannya, maka kita mesti memeranginya.

Jelas dalam setiap kasus kita memiliki suatu tugas

tertentu. Dalam beberapa kasus tertentu kita sendiri yang harus

memeranginya. Dan dalam berbagai kasus lainnya yang harus bertindak

adalah seorang hakim syar’i sebagaimana dalam masalah

zina. Al-Quran mengatakan, “Wahai Muslimin, dari lisan ke lisan

dan dari mulut ke mulut yang telah kalian lakukan itu, maka sebenarnya

kalian telah melakukan suatu dosa yang sangat besar, namun

Allah masih sudi mengampuni dosa-dosa itu. Perhatikanlah

jangan sampai kalian mengulangi lagi.”

«وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَیْکُمْ وَرَحْمَتُهُ فِی الدُّنْیَا وَالْآخِرَةِ لَمَسَّکُمْ فِی مَا أَفَضْتُمْ فِیهِ عَذَابٌ عَظِیمٌ (14)»

Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia

dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan

kamu tentang berita bohong itu (QS an-Nur: 14)

«إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِکُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِکُمْ مَا لَیْسَ لَکُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَیِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِیمٌ (15)»

p:38

(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut

dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga,

dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja.

Padahal dia pada sisi Allah adalah besar (QS an-Nur: 15)

Wahai Muslimin jika bukan karena rahmat Ilahi di dunia dan

di akhirat, kalian akan mendapatkan siksaan yang besar di dunia

dan di akhirat disebabkan tindakan kalian yang menukil berbagai

pembicaraan, dan ikut campur dalam urusan yang kalian tidak ketahui.

Hanya rahmat Allah yang mencegah siksaan yang ada di dunia

dan di akhirat. Perhatikanlah, jangan kalian melakukan hal itu lagi.

Dosa dan pembicaraan yang bagaimana? Kita berbicara tentang

apa, dan apa saja yang kita bicarakan? “Ingatlah ketika

kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut,” ketika kalian

membicarakannya dengan menggunakan lisan kalian; yakni

dibicaraan dari lisan ke lisan. “dan kamu katakan dengan mulutmu

apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga,” sesuatu yang tidak tidak

terlintas dalam hati kalian, karena kalian tidak mengetahui “dan

kamu menganggapnya suatu yang ringan saja,” kalian menduga

bahwa itu hanya sesuatu yang remeh. Namun “Padahal dia pada

sisi Allah adalah besar,” hal itu disisi Allah sangat besar, pembicaraan

tentang kehormatan Muslimin. Dan khususnya di sini menyangkut

kehormatan Nabi Saw.

«وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا یَکُونُ لَنَا أَنْ نَتَکَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَکَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِیمٌ (16)»

Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita

bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan

Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu:

"Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau

(Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar". (QS an-Nur: 16)

Mengapa sewaktu kalian mendengarnya tidak langsung mengatakan,

“Kita tidak berhak untuk membicarakan hal ini, tidak berhak mengungkapkannya

(bahkan kita harus menafikannya) yaitu jika ada seseorang

yang mengatakan maka kita harus memberikan

jawaban negatif yaitu, “Itu bohong.” Bukan hanya kita

p:39

tidak diperbolehkan untuk memberikan jawaban positif dan menyebarkannya,

tetapi bahkan kita diharuskan untuk memberikan

jawaban negatif. Yakni dalam menjawab pembicaraan orang itu

kita mengatakan, “Itu bohong.” Hal ini disebutkan dalam kalimat

yang kedua.) Kalian harus mengatakan, “Sekali-kali tidaklah pantas

bagi kita memperkatakan ini,” kita tidak layak berbicara tentang

hal itu. Bahkan kita harus mengatakan, “Maha Suci Engkau (Ya

Tuhan kami ini adalah dusta yang besar”

«یَعِظُکُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ کُنْتُمْ مُؤْمِنِینَ (17)»

Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang

seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman

(QS an-Nur: 17)

«وَیُبَیِّنُ اللَّهُ لَکُمُ الْآیَاتِ وَاللَّهُ عَلِیمٌ حَکِیمٌ (18)»

dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha

Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS an-Nur: 18)

“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali berbuat

seperti itu selama-lamanya,” Allah memberi nasehat, wahai Muslimin

jangan sekali-kali kalian mengulangi kesalahan itu. Sampai

hari kiamat kalian mesti menyadari bahwa jangan sampai kalian

menjadi alat sebuah kelompok tertentu, dan menyebarkan berbagai

kebohongan musuh yang merugikan diri kalian sendiri. “dan

Allah menerngkan ayat-ayat-Nya kepada kamu dan Allah maha

Mengetahui lagi Mahabijaksana,” Allah menjelaskan ayat-ayat-

Nya adalah demi kebaikan kalian semua. Allah Mengetahui segala

sesuatu, Mengetahui yang tersembunyi, dan Mahabijaksana. Dan

berdasarkan pada kebijaksanaan-Nya lah ayat-ayat ini diturunkan

untuk kalian.

Ada sebuah hadis yang tercantum dalam sebuah buku hadis

yang isinya ialah, “Ketika kalian melihat orang-orang yang suka

membuat bid’ah (perangilah mereka). Bid’ah ialah: sesuatu yang

dimasukkan ke dalam agama, sedangkan sebenarnya itu adalah

bukan bagian dari agama. Itu adalah hasil buatan manusia dan bu

p:40

kan bagian dari agama.

Semua berkewajiban untuk memerangi berbagai bentuk

bid’ah; misalnya saja, senatiasa bersalawat adalah suatu hal

yang terpuji. Di mana saja kalian bersalawat berarti kalian telah

melakukan suatu perbuatan yang mustahab (sunah). Misalnya saja

ada seseorang yang tengah berceramah kemudian di tengah ceramahnya

demi untuk sedikit menghilangkan rasa letih lalu anda

mengatakan kepada para hadirin, “Bersalawatlah.” Ini adalah satu

hal yang baik. Namun jika kalian menyangka bahwa dalam Islam

terdapat sebuah ajaran, yaitu di tengah pembicaraan penceramah

kalian mesti mengucapkan salawat, dan juga kalian melakukan hal

itu karena beranggapan bahwa itu adalah salah satu ajaran Islam,

ketahuilah itu adalah “bid’ah”. Islam tidak mengajarkan agar pada

pertengahan ceramah seorang mes ti memerintahkan hadirin untuk

bersalawat.

Ada juga satu kebiasaan yang terdapat di kalangan kita orangorang

Iran. Jika kita mampu meninggalkannya itu sangat baik.

Bentuk kebiasaan itu ialah, saat lampu menyala mereka mengucapkan

salawat. Mungkin Anda akan mengatakan, “Senantiasa

bersalawat adalah baik.” Saya mengakui kebenaran itu, senantiasa

bersalawat adalah baik. Namun di Iran amalan semacam ini

memiliki latar belakang yang buruk. Pada masa lalu masyarakat

Iran dikenal dengan penyembah api. Pada masa itu masyarakat

menghormati api, jangan sampai ketika mereka bersalawat

saat melihat lampu yang tengah dinyalakan, adalah karena jiwa

penghormatan terhadap lampu dan pengagungan terhadap api.

Kalian mengetahui bahwa Islam memerintahkan seseorang

yang hendak melaksanakan salat, meskipun seorang yang salat

adalah tengah menghadap Allah, namun jika ada seorang di depan

kalian maka hukumnya makruh, karena hal itu berbau penyembahan

ter hadap manusia. Jika ada sebuah gambar di hadapanmu, itu

juga makruh, karena terkesan penyembahan terhadap benda. Juga

jika ada lampu di depanmu hukumnya adalah makruh, karena terkesan

penyembah an terhadap api. Kemudian ketika mereka menyalakan

lampu, kalian jangan bersalawat karena hal itu berbau

p:41

penyembahan terhadap api. Tujuan saya dari uraian di atas ialah

hal semacam itu disebut “bid’ah”.

Banyak sekali hal-hal yang bid’ah. Di kalangan perempuan

tampaknya banyak sekali terdapat bid’ah. Misalnya saja: Osh Abu

Darda’ (Bubur Abu Darda’), Osh Bibi Sesyambeh (Bubur Bibi Selasa),

Sufreh Abul Fadzl (Hidangan Abul Fadhl). Dalam Islam hal-hal

semacam itu tidak ada. Dalam Islam kita tidak memiliki suatu tradisi

yang disebut dengan “Hidangan Abul Fadhl”. Ada sebuah poin

penting yaitu: lakukanlah perbuatan baik, seperti memberi makan

fakir miskin hal itu mendatangkan pahala, kemudian pahalanya

kalian hadiahkan kepada Rasulullah Saw, kalian hadiahkan kepada

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, kalian hadiahkan kepada

Sayyidah Fatimah az-Zahra as, kalian hadiahkan kepada Imam

Hasan as, kalian hadiahkan kepada Imam Husain as, atau kalian

hadiahkan ke pada Abul Fadhl ‘Abbas. Dan juga tidak ada larangan

jika, kalian hadiahkan kepada salah seorang yang telah meninggal

dunia. Jika kalian mengadakan sebuah jamuan makan di rumah

kalian, maka kebiasaan dan tradisi para perempuan itu—saya tidak

tahu bagaimana adanya. Namun apa pun bentuknya, jika seseorang

meyakini itu adalah bagian dari tata cara Islam, maka itu

adalah bid’ah—harus kalian hapus. Jika memberi makan Muslimin

khususnya fakir miskin, lalu kemudian pahalanya dihadiahkan

kepada Abul Fadhl ‘Abbas hal itu tidak ada masalah. Namun

jika mengadakan se buah acara atau tradisi dan kemudian kita

menyakini bahwa itu adalah bagian dari ajaran Islam, itu adalah

bid’ah dan haram. Kita banyak menjumpai orang-orang yang suka

membuat bid’ah dalam agama. Ada seorang yang datang kemudian

mengatakan bahwa saya adalah wakil khusus Imam Zaman

(Mahdi) as. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ali Muhammad

Bab. Inilah yang disebut dengan ahlubid’ah (orang-orang yang

menciptakan bid’ah). Dalam hadis disebutkan jika kalian menjumpai

ahlubid’ah, maka kalian harus memeranginya, ulama harus

memeranginya, dan dilarang diam saja. Pada sebuah hadis bentuk

ungkapannya adalah demikian: “wa baahituuhum” (dan bungkam

mereka) lemahkan mereka, yakni berdiskusilah dengan mereka,

p:42

dan gugurkanlah argumen-argumen mereka. “lalu heran terdiam-

lah orang kafir itu .” (QS al-Baqarah: 258). Sebagaimana Ibra-

him as berhasil membungkam orang-orang kafir yang ada pada

masanya, kalian juga harus berhasil membungkamnya.

Sebagian manusia yang kurang berilmu, mereka mengartikan

bâhitûhum dengan, “lontarkanlah tuduhan dan buatlah kebohongan

atas mereka”. Kemudian mereka mengatakan, “Ahlul Bid'ah

adalah musuh Allah, saya akan membuat sebuah berita bohong

atas mereka.” Kemudian terhadap seorang yang ada permusuhan

secara pribadi dengan dirinya ia akan me ngatakan, “Dia terkutuk,

dia ahlubid’ah.” Pada awalnya menuduhkan kalimat-kalimat itu,

kemudian mulailah ia membuat berbagai berita bohong atas musuh

pribadinya itu. Perhatikanlah, jika sebuah masyarakat tertimpa

penyakit semacam ini, musuh pribadi dituduh sebagai ahlubid’ah

dan hadis bâhitûhum diartikan dengan “buatlah kebohongan atas

mereka” lalu bagaimanakah yang akan mereka lakukan terhadap

musuh-musuhnya? Saat itulah kita akan menyaksikan kebohongan

di atas kebohongan.

Pada suatu hari ada seorang ulama yang agung (seorang ulama

terkadang juga salah dalam bertindak) datang menemui saya

dan berkata, “Aku mendengar bahwa si fulan (seorang yang benarbenar

tercela)—saya tidak mampu untuk mengucapkannya dengan

lisan saya, namun ini adalah sebuah peringatan, supaya kalian

mengetahui bahwa betapa hinanya masyarakat kita ini, dan yang

jelas saya mendengar bahwa ulama itu adalah orang yang baik—

mengatakan, ‘Alangkah baiknya [al-iyyadzubillah] bahwa Muhsin,

anak dari Fatimah az-Zahra as keguguran, kalau seandainya ia

hidup maka akan membuat dua belas musibah bagi Islam.’” Saya

menjawab, “Mengapa kau juga mengungkapkan hal ini? Bukankah

dia (si fulan—pen.) adalah seorang Muslim, aku mengenalnya

dari dekat, ketika Ia mendengar berbagai keutamaan ahlulbait ia

meneteskan air mata.”

Lihatlah sampai sejauh mana mereka saling membuat berita

bohong. Sebuah masyarakat yang kerjanya hanya membuat berbagai

berita bohong, kerjanya hanya melontarkan berbagai tuduhan

p:43

palsu, Al-Quran berjanji akan memberikan siksaan. Ayat berikutnya

ialah:

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang

amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab

yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui,

sedang kamu tidak mengetahui (QS an-Nur: 19)

Ayat di atas merupakan lanjutan dari pembahasan ini, dan

lebih menegaskan bahwa Muslimin jangan sam pai menjadi penyebar

isu-isu buruk dan jahat yang dibuat oleh musuh dan diarahkan

pada diri mereka sendiri.

p:44

p:45

Bagian 3

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang

terkutuk.

«إِنَّ الَّذِینَ یُحِبُّونَ أَنْ تَشِیعَ الْفَاحِشَةُ فِی الَّذِینَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِیمٌ فِی الدُّنْیَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ یَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (19)»

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan

yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman,

bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah

Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS an-Nur: 19)

«وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَیْکُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ رَءُوفٌ رَحِیمٌ (20)»

Dan sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya

kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha

Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar). (QS an-Nur: 20)

«یَا أَیُّهَا الَّذِینَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّیْطَانِ وَمَنْ یَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّیْطَانِ فَإِنَّهُ یَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ

وَالْمُنْکَرِ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَیْکُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَکَی مِنْکُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَکِنَّ اللَّهَ یُزَکِّی مَنْ یَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِیعٌ عَلِیمٌ »

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah

setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan,

maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan

yang keji, dan yang munkar. Sekiranya tidaklah karena karunia

Allah dan rahmatnya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang

pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar

itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang

dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahamendengar lagi Maha Mengetahui

(QS an-Nur: 21)

p:46

Pada pertemuan yang lalu telah katakan bahwa Al-Quran

yang mulia sangat mengharapkan agar suasana masyarakat

Islam bukan suatu suasana yang dipenuhi dengan tuduhan,

caci-maki, serta kebohongan. Masya rakat Islam tatkala mendengar

suatu berita yang menyangkut saudara dan saudari Muslim,

selama berita itu belum jelas kebenarannya—bukan cuma sekedar

dugaan dan kemungkinan—dan juga belum ada saksi-saksi

syar’i-nya, maka mereka mesti mengambil sebuah sikap—yang

menurut istilah sekarang ini—”masuk telinga kanan dan keluar

telinga kiri”. Dan dengan kata lain, di situ dia mendengar di situ

pula ia kuburkan. Bahkan tidak diperbolehkan untuk menyampaikan

berita itu sekalipun dalam bentuk, “saya dengar bah wa.....”

Bukan hanya tidak diperbolehkan untuk menyampaikannya

secara pasti, bahkan tidak diperbolehkan untuk menyampaikan

dalam bentuk, “saya dengar berita semacam ini...” Ketika seseorang

mengatakan, “Saya dengar..,” berarti ia “menyebarkan” dan

Islam tidak rela terhadap mereka yang menyebarkan berita-berita

keji, kotor dan hina ini. Khususnya pada bagian ayat yang mengatakan,

“Dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui,”

Allah hendak mengatakan, kalian tidak mengetahui bahwa kejahatan

ini adalah sebuah kejahatan yang sangat besar. Islam menginginkan

agar suasana masyarakat Islam berasaskan pada rasa saling

percaya, saling berprasangka baik, berkata baik, dan bukannya

berdasarkan pada buruk sangka, tidak saling percaya, cacian dan

umpatan. Oleh karena itu, Islam beranggapan bahwa menggunjing

adalah satu dosa yang sangat keji. Al-Quran mengungkapkan

hal itu dengan, “Dan janganlah sebagian kamu meng gunjing sebagian

yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan

daging saudaranya yang sudah mati?” (QS al-Hujurat: 12) Ringkasnya

ialah: orang yang menggunjing orang lain berarti ia tengah

memakan daging orang tersebut ketika orang itu telah mati.

Disebabkan adanya berbagai dampak negatif itulah maka Al-

Quran senantiasa mengulang dan menegaskan permasalahan ini

dengan menggunakan ber bagai bentuk penjelasan. Di antaranya

ialah ayat ini, “sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita)

perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang

p:47

beriman, bagi mereka azab yang pedih.” Saya akan terjemahkan ayat

itu, kemudian saya akan paparkan bahwa ayat itu dapat ditafsirkan

dalam dua bentuk penafsiran. Banyak yang telah menafsirkan ke

dalam dua bentuk itu, dan kedua bentuk penafsiran tersebut adalah

saling mendekati. Ayat yang mengatakan bahwa mereka yang menyukai

agar berita buruk itu tersebar di kalangan orang-orang

mukmin, maka telah disediakan baginya siksaan yang pedih. Ayat

ini adalah ayat yang memiliki dua arti dan keduanya adalah benar.

Salah satu dosa yang sangat besar yang mana Al-Quran

memberikan ancaman bagi para pelakunya dengan “siksaan yang

pedih” ialah seorang atau orang-orang yang senang menyebarkan

perbuatan keji di tengah-tengah masyarakat. Ada beberapa

orang yang kerjanya adalah menyebarkan perbuatan keji. Hal itu

dilakukan untuk mendapatkan uang atau untuk tujuan lainnya.

Yang mana umumnya pada masa kita ini tujuannya adalah untuk

melakukan penjajahan. Mereka menginginkan agar perbuatan

keji yang ada di sekitar masyarakat menjadi banyak. Mengapa?

Karena tidak ada yang lebih ampuh dalam melemahkan semangat

sebuah masyarakat melebihi penyebaran perbuatan keji. Jika

kalian menginginkan agar para pemuda suatu masyarakat tidak

memikirkan masalah-masalah yang serius, sehingga mereka tidak

hanya sibuk dengan kehidupan pribadinya saja, dan sama sekali

tidak ingat akan masalah-masalah itu—masalah-masalah yang

seriusilah masalah-masalah yang membahayakan kepentingan

para kolonialis—caranya ialah dengan memperbanyak sebanyak

mungkin kedai-kedai yang menjual minuman keras, menempatkan

perempuan-perempuan di berbagai tempat, memperbanyak

sarana yang dapat mempermudah hubungan antara pemuda dan

pemudi. Sebagaimana heroin dan ganja dapat merusak kekuatan

jiwa dan raga para pemuda, mencabut semangat sebuah masyarakat

dan membuatnya menjadi lemah, melenyapkan rasa kepahlawanan,

kemuliaan dan harga diri, semacam itu pulalah dampak

yang ditimbulkan oleh perbuatan keji.

Orang-orang Amerika memiliki suatu program umum untuk

merusak seluruh dunia. Dan program-program mereka ialah:

p:48

“Perbanyaklah sarana kemaksiatan, maka kau akan aman dari masyarakat.”

Disebutkan bahwa salah seorang ketua redaksi sebuah

majalah pada edisi pekan ini(1) mengatakan, “Saya akan melakukan

sebuah usaha agar sepuluh tahun mendatang di Teheran tidak ada

seorang “gadis” pun yang berumur sepuluh tahun ke atas.” Semua

itu mereka lakukan dengan program dan perhitungan. Untuk

apakah Islam senantiasa menekankan pentingnya ‘afaf. Dalam

suatu kesempatan selama satu malam saya berbicara tentang falsafah

‘afaf (menjaga kesucian diri). Salah satu falsafah ‘afaf ialah

menyimpan berbagai kekuatan yang manusiawi dalam berbagai

individu. Mungkin Anda tidak mempercayai hal ini, yaitu: semangat

kemanusian dapat keluar (lenyap) melalui saluran “bawah tubuh”.

Namun begitulah kenyataannya.

Islam bukan mendukung pelarangan hubungan seksual.

Membenarkan hubungan itu namun dalam batasan keluarga (pernikahan).

Islam bukan pendukung pendapat penganut Katolik dan

gereja. Namun Islam sama sekali tidak mengizinkan (hubungan

sek sual itu) dilakukan di luar pernikahan yang sah. Itu adalah sebuah

program dan rancangan yang dibuat oleh Islam dalam menjaga

kehormatan, keberanian, kemanusiaan, kemuliaan, pada diri

laki-laki dan perempuan. Dalam ayat-ayat berikutnya yang akan

membahas mengenai “menutup tubuh”, saya akan berbicara lebih

panjang lagi mengenai masalah ini. Al-Quran (berkenaan dengan

orang-orang) yang hendak membunuh jiwa melalui penyebaran

perbuatan keji mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang in-

ngin agar berita perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan

orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih.” Mereka

yang senang dan suka memperbanyak kemaksiatan di sekitar

orang-orang yang beriman, Allah telah menyiapkan bagi mereka

siksaan yang pedih. Mengapa (siksaan yang pedih) dicantumkan

dalam ayat Al-Quran? Untuk memberi penjelasan bahwa masalah

ini adalah masalah yang sangat serius. Ini merupakan satu bentuk

penafsiran di mana Al-Quran menjelaskan kepekaannya terhadap

penyebaran perbuatan keji di sekitar orang-orang yang beriman.

p:49


1- 11 Perlu diketahui bahwa ceramah ini beliau sampaikan pada masa Rezim Pahlevi yang busuk—peny.

Untuk menjelaskan arti kedua, saya akan memaparkan satu

poin penting dari sisi bahasa dan itu ada lah kata ‘fii’. Kata ‘fii’

dalam bahasa Persia berarti “dar” (di—pen). Kita mengatakan,

‘Darkhaneh’ (di rumah— pen) dan orang-orang Arab mengatakan,

fi ad-daari’ Kata ‘fi’ dalam bahasa Arab terkadang berarti ‘dar’

dan terkadang berarti ‘darboreyeh’ (berkenaan—pen). Di sini ayat

tersebut juga dapat diartikan seperti itu dan telah diartikan seperti

itu dan kedua arti tersebut adalah benar.(1) Kedua arti tersebut

sesuai dengan ayat-ayat ifk Arti kedua dari ayat itu ialah: “Mereka

yang menyukai tersebarnya perbuatan keji berkenaan de ngan

orang-orang yang beriman.” Ini bukan berarti perbuatan keji tersebar

di sekitar orang-orang yang beriman, tetapi tersebarnya tuduhan

bahwa orang-orang yang beriman berbuat keji. Yakni mereka

yang senang mencemari kesucian orang-orang yang beriman.

Ada sekelompok masyarakat yang menurut istilah psikologi

disebut “stres”, ketika mereka melihat seseorang yang memiliki

posisi atau kedudukan tertentu dalam masyarakat, karena mereka

merasa iri terhadap orang itu, dan mereka juga tidak memiliki

semangat dan potensi untuk maju, maka dengan segera mereka

membuat berbagai isu terhadap orang tadi. Mereka mengatakan,

“Kita tidak mampu untuk mencapainya, maka kita mesti menurunkan

dia” (bagaimanakah cara mereka menjalankan usahanya?)

Dengan suatu perbuatan yang sama sekali tidak jantan yaitu dengan

membuat sebuah isu dan terhadap orang tadi. Seberapa besar

dosa ini, Allah yang mengetahui.

Pada suatu hari ketika Rasul Saw tengah berada di tengahtengah

para sahabatnya, beliau bersabda: “Maukah kalian aku

tunjukkan siapa manusia yang paling buruk?” Mereka menjawab,

“Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda (saya tidak ingat kata-kata

aslinya): “Manusia yang paling buruk itu ialah manusia yang kebaikan

yang ia punyai tidak diberikan kepada orang lain, segala

yang dimiliki hanya digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri.”

Mereka yang ada di situ menduga bahwa tidak ada yang lebih

buruk dari itu. Kemudian beliau melanjutkan: “Maukah kalian

p:50


1- 12 Pada dasarnya ayat-ayat Al-Quran diturunkan dalam bentuk seperti itu., yaitu, terkadang sebuah ayat dapat memiliki satu arti, dua arti, tiga arti, atau bahkan lebih dari itu.

kuberitahu siapakah orang yang lebih buruk dari itu? Kemudian

beliau menyebutkan golongan yang lain (golongan kedua—pen).

Lalu para sahabat berkata, “Sebelumnya kami menduga bahwa

tidak mungkin ada manusia yang lebih buruk dari golongan pertama.”

Beliau kembali bertanya: “Maukah kalian kuberi-siapakah

orang yang lebih buruk dari itu?” Me menjawab, “Apakah ada yang

lebih buruk dari itu?” Kemudian beliau menyebutkan golongan

yang ketiga, “Orang-orang yang lebih buruk dari itu ialah orangorang

yang suka mengumpat, mencaci, menuduh dan menjatuhkan

kehormatan.” Beliau berhenti sampai di sini, yakni tidak ada

kelompok yang lebih buruk dari itu.

Jika demikian maka arti kedua dari ayat itu ialah mereka

yang menyukai tersebarnya tuduhan keji—tuduhan keji itu sendiri

adalah sebuah kekejian—berkenaan dengan orang-orang yang

beriman, ketahuilah Allah telah menyediakan bagi mereka siksaan

yang pedih.

Kemudian lanjutan dari ayat itu ialah, “di dunia dan di akhirat,”

di dunia dan akhirat mereka akan men dapatkan siksaan yang

pedih, yakni Allah bukan hanya menyiksa mereka di akhirat tetapi

mereka juga akan disiksa di dunia.

Masalah pembalasan amal adalah sebuah permasalahan

tersendiri. Kita tidak diberitahu bahwa setiap dosa pasti ada balasannya

di dunia ini. Tidak, banyak dari dosa-dosa yang tidak ada

balasannya di dunia ini, namun setiap dosa pasti mendapatkan

balasan di du nia sana. Di antara dosa yang langsung memberikan

dampak di dunia ini—Anda dapat mengujinya—ialah dosa dari

tuduhan keji, dan menjatuhkan kehormat an. Mereka yang melontarkan

tuduhan bohong, pada suatu hari ia pasti akan mendapatkan

balasannya. Kemungkinan orang lain akan menuduhnya dengan

tu duhan semacam itu, atau ia akan dipermalukan dengan cara

tertentu.

“Dan Allah Mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui,” Allah

Mengetahui dan kalian tidak mengetahui. Masalah ini sangat

besar, Allah. Mengetahui betapa besar masalah ini, dan kalian tidak

mengetahuinya!

p:51

“Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua,

dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar).”

Jika bukan karena kemurahan dan rahmat Ilahi, jika Allah tidak Pemurah dan

Penyantun, maka kalian akan mendapatkan siksaan yang pedih

disebabkan kelalaian kalian. Namun kemurahan Ilahi menghalanginya;

yakni, kelalaian yang ada pada diri kalian itu, yang mana

kalian telah menjadi juru bicara orang munafik, kalian layak

untuk mendapatkan siksaan yang berat di dunia yaitu masyarakat

kalian menjadi hancur berantakan, namun kemurahan dan rahmat

Ilahi menghalangi (terjadinya berbagai siksaan) itu.

Sekali lagi ditegaskan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah

kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang

mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu

menyuruh mengerjakan perbuatan keji dan yang munkar.” Wahai

orang-orang yang beriman janganlah kalian melangkahkan kaki

pada tempat yang dilalui setan; janganlah membuntuti setan. Jika

kemudian Anda mengatakan, “Kami tidak mengenal setan dan tidak

pula melihatnya, bagaimanakah kita mengetahui bahwa kita

mengikuti langkah-langkahnya?” Ini tidak perlu mesti melihat.

Ketahuilah setan itu dari berbagai arah bisikannya. Ketika

hati Anda mendengar adanya suatu bisikan yang mendorong Anda

untuk berbuat keji, munkar dan hina, ketahuilah bahwa itu adalah

langkah-langkah setan. Setan berada di depan Anda dan berkata,

“Kemarilah.” Bisikan “kemarilah” itu adalah setan. Kalian tidak perlu

melihat setan itu dengan mengunakan kedua mata, tetapi lihatlah

setan itu dengan menggunakan ‘mata hati’. “Barangsiapa yang

mengikuti langkah-langkah setan,” mereka yang mengikuti langkah-

langkah setan mesti mengetahui “maka sesungguhnya setan itu

menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang munkar,” setan

senantiasa mengajak pada per buatan yang buruk dan yang tercela.

“Dan sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan Rahmat-

Nya kepada kamu sekalian,” sekali lagi dikatakan: “Wahai Muslimin,

di masa Nabi Saw kalian berada di tepi jurang, jika bukan

karena karunia dan kemurahan Allah—dan juga jika bukan

p:52

karena Nabi Saw—maka masyarakat kalian akan terjerumus

ke dalamnya, dan tidak mungkin dapat menyelamatkan diri.”

Semua itu agar kalian mengetahui bahwa pada masa-masa berikutnya

kejadian semacam itu akan terulang kembali. Masalah

melontarkan tuduhan bohong terhadap Mus limin akan menjadi

banyak. Ketahuilah kalian akan jatuh terjerumus dan akan

mengalami kesengsaraan (sebagaimana yang ada pada masa

kita ini). “Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu

semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar itu).”

Jika bukan karena kemurahan Ilahi tidak ada se orang pun

dari kalian yang akan bersih. “teteapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki-Nya dan Allah

maha mendengar lagi maha Mengetahui.” Demikianlah, di mana jika Allah melihat ada seseorang

yang layak dan pantas untuk dibersihkan, maka Dia akan

membersihkannya dari dosa, Allah Mahamendengar dan Maha

mengetahui.

Ayat berikutnya berkenaan dengan masalah ini juga. Namun

kemudian terdapat suatu permasalahan yang lain.

«وَلَا یَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْکُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ یُؤْتُوا أُولِی الْقُرْبَی وَالْمَسَاکِینَ وَالْمُهَاجِرِینَ فِی سَبِیلِ اللَّهِ وَلْیَعْفُوا وَلْیَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ یَغْفِرَ اللَّهُ لَکُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِیمٌ (22)»

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS an-Nur: 22)

Ayat tersebut menerangkan suatu kejadian dan itu ialah: sebagian

Muslimin yang menurut bahasa Al-Quran mereka disebut

dengan ulul fadhl, yaitu memiliki kelebihan (tetapi enggan untuk

memberikan bantuan). Di sini maksud dari fadhl adalah kekayaan

dan harta, artinya adalah bahwa mereka adalah orang-orang yang

p:53

serba berkecukupan.

Pada masa sekarang ini kata fadhl hanya digunakan pada ilmu

saja. Pada masa sekarang ini jika kita mengatakan si fulan adalah

seorang yang fadhil, artinya adalah ia adalah seorang yang berilmu.

Ia termasuk fudhala’ artinya sama dengan “ulama” yaitu orang yang

memiliki ilmu dan fadhl Namun dalam Al-Quran kata fadhl hanya

ditujukan pada harta dan kekayaan yang didapatkan melalui jalan

yang halal.(1) Di antaranya terdapat dalam surah al-Jumu’ah. Allah berfirman

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi;

dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya

kamu beruntung,” (QS Al-Jumu’ah:10). Pergilah kalian mencari kemurahan Allah, yakni berusahalah,

bekerjalah, berdaganglah, carilah uang dari jalan yang halal.

Al-Quran mengatakan bahwa orang-orang yang mendapatkan

harta dan kekayaan melalui jalan yang halal, memiliki kemampuan

dan serba berkecukupan, mereka jangan sekali-kali besumpah

untuk memutus bantuan yang mereka berikan.

Sebagian dari Muslimin yang mampu, dan kaya, mereka memberikan

bantuan kepada sebagian Mus limin lainnya, yaitu para

Muhajirin, fakir miskin atau sanak keluarganya sendiri, kemudian

setelah terjadinya suatu peristiwa—tampaknya itu adalah akibat

dari ifk mereka merasa kecewa dan mengatakan, “Kita memberikan

bantuan kepada mereka hanya mengharapkan kerelaan Allah

semata, namun mereka malah menyalahgunakan bantuan yang

kita berikan, malah berbuat dosa, kita memberi bantuan mereka

dan me reka malah menyebarkan berbagai isu dan tuduhan bohong

atas diri kita.” Mereka mengambil keputusan untuk memutus

bantuan kepada fakir miskin—yang ikut serta dalam membuat

berbagai isu dan tuduhan bohong itu—yang sebelumnya mereka

telah memberikannya secara rutin. Mereka bersumpah, “Kami tidak

akan memberikan bantuan pada mereka.”

Namun Al-Quran menganggap persatuan Mus limin jauh lebih

penting dari segalanya. Sekalipun di sini telah tersebar cerita

p:54


1- 13 Saya mendengar bahwa di daerah Yazd (sebuah kota di sebelah Utara Iran— pen.) mereka mengucapkan kata ini seperti yang dimaksud oleh Al-Quran, yaitu ketika mereka mengatakan, “Si fulan termaksudnya ialah si fulan termasuk orang-orang kaya”.

dan tuduhan bohong, dan Muslimin secara umum dalam keadaan

bersalah, Al-Quran dalam usaha memperbaiki kesalahan mereka

yang telah lalu itu menyatakan kepada Muslimin secara umum,

“Kalian telah melakukan sebuah kesalahan besar, kalian telah men-

jadi juru bicara sebuah kelompok (orang-orang munafik)." dan ke-

tika mereka hendak memutus bantuan yang biasa mereka berikan

kepada fakir miskin, karena pemutusan bantuan ini akan membuat

kelompok yang diputus itu terpisah untuk selama-lamanya,

Al-Quran mengatakan, “Hendaklah kalian memiliki sifat pemaaf,

maafkanlah kesalahan mereka". "Dan janganlah orang-orang yang

mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu ....,” janganlah

orang-orang yang kaya dan mampu, bersumpah untuk memutuskan

bantuan—yang sampai saat ini biasa mereka berikan—

kepada Muhajirin, fakir miskin, dan sanak keluarganya, mereka

harus tetap memberikan bantuannya. “Dan hendaklah mereka me-

maafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah

mengampunimu?” maafkanlah mereka, lupakanlah, ampunilah

mereka, apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian?

Begitu ayat ini turun mereka yang semula ingin memutus bantuannya

me ngatakan, “Kami tidak akan memutus bantuan kami.”

Di sini ada satu poin penting yang mesti saya paparkan:

orang-orang yang tidak mengenal logika Islam, dan tidak mengetahui

Islam dengan jelas, mereka lalai bahwa Islam sangat mengutamakan

logika kasih sayang. Orang-orang Nasrani mempropagandakan

bahwa agama Kristen adalah agama kasih sayang, agama

berlaku baik, agama pemaaf, mengapa? Karena al-Masih mengatakan,

“Jika ada seorang yang menampar pipi kananmu maka berikanlah

pipi kirimu.” Katakan kepadanya pukullah yang ini juga,

tetapi agama Islam adalah aga ma yang penuh kekerasan, agama

yang sulit, agama pedang, sebuah agama yang di dalamnya tidak

ada suatu pengampunan, tidak ada rasa kasih sayang. Orang-orang

Nasrani senantiasa menyebarkan ungkapan-ungkapan tersebut.

Itu merupakan suatu kesalahan yang besar. Islam adalah

agama pedang dan juga agama kasih sayang, agama yang keras dan

juga agama yang lembut. Kekerasan dibolehkan namun pada batasan-

batasannya, kelembutan ada pada tempatnya, dan keagun-

p:55

gan serta kebesaran Islam ialah disebabkan adanya hal itu. Jika Islam

tidak demikian—yakni tidak mengatakan, “Balaslah kekerasan

dengan kekerasan pula, jawablah logika dengan logika, dan dalam

masalah kasih sa yang kalian mesti memiliki rasa kasih sayang sekalipun

dalam kondisi yang buruk, kalian mesti memiliki rasa kasih

sayang,”—maka kita tidak akan menerimanya. Islam tidak pernah

mengatakan, “Jika ada seorang jahat yang menampar pipi kananmu

maka berikanlah pipi kirimu.” Namun mengatakan, “Oleh

sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia,

seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (QS al-Baqarah: 194)

Jika kalian diserang maka balaslah serangan itu dengan serangan

yang sebanding. Jika Islam tidak berkata demikian, berarti

tidak sempurna. Agama Nasrani adalah sebuah agama yang ajarannya

sama sekali tidak diamalkan, yang mana para penganutnya

sangat haus darah melebihi seluruh penduduk dunia. Mereka yang

setiap harinya menyebarkan ajaran menentang Islam, dan senantiasa

membawa kitab Injil, yang menurutnya adalah kitab kasih

sayang, sekarang ini kita dapat menyaksikan mereka setiap harinya

menuangkan bertonton “kasih sayang” ke Vietnam.(1)

Inikah kasih sayang yang dikatakan oleh Injil kepada mereka?

Kasih sayang itu adalah berbentuk berbagai bom, bahkan ada yang

berbentuk bom “napalm”, yang mana begitu bom itu jatuh ke bumi

langsung membakar tubuh anak-anak, orangtua, dan perempuan.

Pertama-tama Islam akan menggunakan kasih sa yang, dan

jika kasih sayang itu tidak memberikan hasil, maka ia tidak akan

tinggal diam. Ada yang mengatakan,

“Karena kau tak menerima nasihat,

Maka kau harus diikat.”

Ali bin Abi Thalib as, sehubungan dengan pribadi Rasul Saw

mengatakan, “Nabi adalah ibarat seorang tabib yang berkelana,

yang dengan pengobatannya mempersiapkan obat-obatan dan

memanaskan peralatan wasm-nya. (besi yang digunakan untuk

p:56


1- 14 Ceramah ini beliau sampaikan pada saat terjadinya perang Vietnam—peny.

mencap tubuh—pen).” (Nahjul Balaghah, khotbah: 107). Seorang

tabib yang senantiasa berkelana, seorang tabib yang pada tangan

kanannya adalah obat-obatan dan pada tangan kirinya alat-alat bedah.

Ketika penyakit yang ada dapat disembuhkan hanya dengan

obat, maka beliau akan meletakkannya pada penyakit itu. Dan jika

tidak dapat disembuhkan dengan obat, maka beliau akan menggunakan

pisau, belati, bahkan besi panas. Keduanya beliau pergunakan;

kelembutan dan kekerasan. Sa’di mengatakan:

“Keras dan lembut keduanya saling menyembuhkan,

Karena luka bekas bedah obatlah yang menyem buhkan.”

Dan itu seperti yang dikatakan oleh Imam Ali as, “...(1)

pembicaraan dan ajakan kepada Allah.” Kemudian beliau membaca ayat:

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik,

maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah

telah menjadi teman yang sangat setia”(QS Fushshilat: 34)

Ketahuilah bahwa kebaikan dan kejahatan itu beratnya tidak

sama, bahkan (berbagai kejahatan itu) beratnya tidak sama. Dan

berbagai kebaikan juga beratnya tidak sama. Balaslah berbagai kejahatan

itu dengan berbagai perbuatan yang paling baik. “Tolaklah

(kejahatan) dengan cara yang lebih baik .” Orang lain berbuat

jahat, kau mesti berbuat baik. Kemudian Al-Quran menyinggung

sisi kejiwaan, dengan mengatakan: jika musuh berbuat jahat,

dalam membalas kejahatan itu kau mesti berbuat baik, kau akan

melihat reaksi dari berbuat baik atas kejahatan—sebagaimana

reaksi yang terjadi pada suatu zat kimia—yakni merubah bentuk

hati. Suatu saat kau akan melihat bahwa musuhmu yang keras itu,

hatinya berubah dan men jadi teman yang sangat lembut.

Siapa yang mengatakan bahwa Islam tidak mengajarkan kasih

sayang? Siapa yang mengatakan bahwa Islam bukan agama kasih

sayang? Islam adalah sebuah agama kasih sayang. Namun pada

saat kasih sayang tidak memberikan pengaruh, tidak kemudian

hanya diam saja. Pada saat menggunakan kekerasan maka ped-

p:57


1- 15 Kekurangan berasal dari pita rekaman—peny.

anglah yang akan dipergunakan. Dalam sejarah kehidupan Rasulullah

Saw, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, dan seluruh

imam suci lainnya, kalian akan mendapatkan berbagai kisah yang

berkenaan dengan: “tolaklah kejahatan itu dengan cara yang

lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada

permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”

Jika kalian membalas dengan kebaikan atas perbuatan jahat, maka

kalian akan melihat reaksinya. Reaksinya ialah merubah musuh

menjadi teman.

Dalam do’a Makarimul Akhlaq terdapat berbagai ungkapan

yang sangat menakjubkan: “Ya Allah berilah aku petunjuk agar aku

dapat berkata baik pada orang yang berkata keji padaku, menjalin

hubungan dengan orang yang memutus hubungan denganku, terhadap

orang yang menggunjingku aku berkata baik tentang dirinya.”

Dan masih terdapat lagi ungkapan yang cukup banyak.

Khajah Abdullah Anshari juga memiliki ungkapan yang

sangat indah. Ia mengatakan:

“Kejahatan dibalas kejahatan adalah anjing yang menggigit.”

Perbuatan anjing memang demikian. Seekor an jing jika digigit

oleh anjing lain maka ia akan segera menggigitnya. Jika seseorang

yang berbuat jahat kepada orang lain, kemudian orang itu

membalas dengan kejahatan pula, maka perbuatannya itu tidak

ubahnya seperti perbuatan seekor anjing. Jika seseorang memukul

seekor anjing maka segera anjing itu akan meng gigit kaki orang

yang memukulnya itu.

“Kebaikan dibalas kebaikan adalah keledai menggaruk.”

Jika seseorang yang berbuat baik pada orang lain, kemudian

orang itu membalasnya dengan kebaikan pula, maka ia tidak

melakukan sesuatu yang luar biasa. Jika ada seekor keledai yang

datang menghampiri dan menggaruk punggung keledai yang lain

p:58

dengan giginya, maka keledai itu pun akan menggaruk punggung

keledai tadi dengan giginya pula. Bahwa kebaikan mesti dibalas

dengan kebaikan, keledai pun mengetahui hal itu. Namun perbuatan

jahat yang dibalas de ngan perbuatan baik, adalah sikap Khajah

Abdullah Anshari.

Al-Quran mengatakan, “Dan janganlah orang-orang yang

mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah

bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabatnya, orang-orang miskin

dan orng-orang yang berhijrah di jalan Allah”

Orang-orang yang mampu janganlah bersumpah, janganlah

merasa gusar terhadap orang yang melanggar agama, mereka berbuat

jahat kalian harus membalasnya dengan kebaikan, janganlah

mereka bersumpah untuk tidak memberikan bantuan kepada

sanak keluarga, fakir dan miskin, orang-orang yang berhijrah di

jalan Allah, disebabkan mereka telah berbuat jahat, dan ikut serta

dalam membuat tuduhan itu: “dan hendaklah mereka memaafkan

dan berlapang dada,” maafkanlah mereka, janganlah diambil hati

“Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” Sebuah

ungkapan yang sangat menakjubkan!

wahai manusia maafkanlah kesalahan orang lain karena

kalian sendiri adalah orang yang berdosa, dan berharap agar Allah

mengampuni dosa-dosa kalian itu. Jika kalian berharap Allah

bersikap baik kepada kalian, bersikaplah baiklah kepada hamba hamba-

Nya. Jangan bersikap keras, sedapat mungkin perbaikilah

orang-orang yang berdosa itu melalui jalan yang baik. Dan sekiranya

tidak bisa, maka pergunakanlah jalur kekerasan dan hukuman.

Tuhan Maha Pengampun dan Maha Pemurah, dan kalian

juga harus menjadi pemurah dan pemaaf.

Di antara kebaikan yang dimiliki oleh para imam suci as

ialah, mereka banyak membeli budak dan untuk beberapa waktu

budak tersebut tinggal serumah bersama mereka. Karena falsafah

perbudakan dalam Islam adalah bahwa para budak mesti melewati

suatu masa tertentu (dari kekufuran menuju kebebasan) dan

juga mesti melintasi suatu lorong yang mana semua itu di bawah

p:59

bimbingan Muslimin. Dan dari sisi ini Islam memperoleh berbagai

keuntungan manusiawi. Itu adalah di antara kebiasaan para imam

suci as—kerena salah satu di antara penggunaan zakat ialah untuk

membebaskan budak—namun bukan berarti hanya membeli

budak yang tidak mendapat pendidikan Islam, kemudian menjualnya

lagi. Bahkan alangkah baiknya jika budak yang dibeli itu

sebelumnya telah mendapatkan pendidikan Islam, namun jika belum

mendapatkan pendidikan Islam maka untuk be berapa waktu

budak tersebut mereka tempatkan da lam keluarga yang konsisten

terhadap ajaran Islam, agar dapat mengenal dan mengamalkan

moral dan tata cara Islam, kemudian setelah itu mereka bebaskan.

Para imam suci as banyak sekali melakukan hal itu, budak-budak

mereka tempatkan di rumah mereka sendiri, sehingga kemudian

budak-budak itu me ngenal Islam dengan baik dan menjadi Muslim

yang hakiki.

Di rumah Imam Ali Zainal Abidin as terdapat budak yang cukup

banyak. Setelah satu tahun, ketika budak-budak itu berbuat

suatu kesalahan dan kejahatan, beliau mencatatnya dalam sebuah

buku. Kemudian pada hari terakhir atau pada malam terakhir di

bulan Ramadhan, beliau mengumpulkan semua budak itu, dan beliau

berdiri di tengah-tengah mereka. Beliau mengeluarkan buku

catatan itu, menghadap mereka dan berkata, “Wahai fulan ingatkah

kau pada waktu kau melakukan suatu kesalahan demikian?”

kemudian budak itu menjawab, “Ya.” Beliau mengingatkan satu

persatu kesalahan yang pernah mereka perbuat. Kemudian beliau

berdo’a, “Wahai Tuhan kami, mereka yang berada di bawah kekuasaanku

ini telah berbuat jahat kepadaku, dan aku adalah hamba-Mu

maka aku maafkan semua itu, wahai Tuhan kami, diri kami

penuh dengan kesalahan, maka ampunilah kesalahan hamba-Mu

ini.” Kemudian semua hamba sahaya itu beliau bebaskan di jalan

Allah.

dasar utama dalam Islam adalah memaafkan. Benar Islam tidak memaafkan

hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat

Karena pemaafan itu tidak lagi berhubungan dengan pribadi, individu,

dan personal, tetapi berhubungan langsung dengan ma

p:60

syarakat. Misalnya saja ada seseorang yang mencuri. Hukuman

dari pencurian itu adalah potong tangan. Pemilik harta tidak dapat

mengatakan, "aku memaafkan dia". kau memaafkan namun masyarakat tidak memaafkan.

ini bukan hakmu tapi hak masyarakat.

Dalam sebuah hadis, sewaktu Amirul Mukminin Ali bin Abi

Thalib as—sebagaimana kebiasaan beliau ketika menjadi khalifah,

beliau senantiasa berjalan seorang diri, sekalipun ke tempat-tempat

yang sunyi untuk melakukan pemeriksaan situasi dan kondisi

yang ada dalam masyarakat—melintasi sebuah kebun yang ada di

Kufah, tiba-tiba terdengar jeritan, “Tolong! Tolong!, Tolonglah aku!

Tolonglah aku!” Jelas terjadi perkelahian. Dengan bergegas beliau

berlari menuju arah suara itu. Ada dua orang yang saling berbaku

hantam. Saling berpukul-pukulan. Ketika Imam Ali as datang,

perkelahian mereka pun usai (mungkin Imam mendamaikan mereka

berdua). Sebenarnya mereka berdua adalah berteman. Ketika

Imam Ali as. hendak menarik dan membawa orang yang memukul

itu, orang dipukul mengatakan, "aku memaafkannya". Imam Ali as berkata,

"Baiklah engkau memaafkannya tapi ada juga hak

pemimpin yakni hak yang dimiliki oleh pemerintahan, yaitu hak

menjatuhkan hukuman. Dan pemerintah mesti menjatuhi dia

dengan sebuah hu kuman. Di sini kau tidak lagi berhak untuk me-

maafkan karena tidak lagi ada hubungannya dengan dirimu.

Tujuan saya dengan mengungkapkan kisah itu ialah untuk

menunjukkan bahwasannya hak umum tidak dapat dimaafkan.

dan Islam juga tidak memaafkan berbagai hal yang berhubungan

dengan hak umum. Namun berkenaan dengan hak pribadi maka

boleh dimaafkan. seseorang yang sebelumnya telah memberikan

bantuan kepada seorang yang berbuat jahat dan berbuat dosa,

kemudian ia hendak memutus bantuan itu, ini merupakan satu

masalah yang sifatnya pribadi. maafkanlah semua itu dan jangan

kau ambil berat. Berkenaan dengan semua itu, Al-Quran mengeluarkan

perintah agar memberi maaf, dan sedapat mungkin agar

berusaha memberikan balasan dengan perbuatan baik dan kasih

sayang. Marilah kita lanjutkan pembahasan ayat berikutnya.

p:61

Saya tidak melihat satu masalah yang sangat ditekankan oleh

Al-Quran melebihi masalah tuduhan keji terhadap perempuan.

«إِنَّ الَّذِینَ یَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِی الدُّنْیَا وَالْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِیمٌ (23)»

Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah

lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat,

dan bagi mereka azab yang besar (QS an-Nur: 23)

«یَوْمَ تَشْهَدُ عَلَیْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَیْدِیهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا کَانُوا یَعْمَلُونَ (24)»

pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi

atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan (QS an-Nur: 24)

Mereka yang melontarkan tuduhan kepada perempuan suci

yang dalam keadaan lalai, (perempuan yang lalai ialah perempuan

yang tidak mengetahui keadaan luar, dan dia hanya tinggal

di rumah saja) akan mendapatkan kutukan Allah di dunia dan

di akhirat, dan bagi mereka siksa yang besar. Pada hari di mana

tangan-tangan dan kaki-kaki mereka memberikan kesaksian terhadap

berbagai kejahatan yang pernah mereka lakukan.

Ini adalah sebuah logika Al-Quran yang mana di sini bukan

tempatnya saya membahas secara rinci masalah tersebut. Al-

Quran secara jelas mengatakan bahwa, alam akhirat, adalah sebuah

kehidupan. Semua yang ada di alam akhirat adalah hidup.

Dalam ‘dunia’ itu segala sesuatu, dan setiap anggota tubuh bersaksi

terhadap perbuatan yang pernah dikerjakan. Tangan memberi

kesaksian atas apa yang telah dikerjakan. Kaki memberi kesaksian

atas apa yang telah dikerja kan. Mata dan telinga masing-masing

memberikan ke saksian atas apa yang telah dikerjakannya. Kulit

tu buh—merupakan kata kiasan atas aurat (kemaluan)—memberikan

kesaksiannya pula terhadap apa yang telah dikerjakan. Mereka

menyumbat mulut seraya berkata, “Hai lidah kau diam saja,

p:62

biarkanlah anggota tubuh yang lain memberikan kesaksiannya.”

Lidah juga hanya memberi kesaksian pada dosa yang pernah ia

kerjakan. Al-Quran mengatakan, “Pada hari di mana lidah-lidah

orang-orang ini (karena dosa orang ini adalah dosa lidah) maka

tangan dan kaki orang itu memberikan kesaksian terhadap dosa

yang pernah ia kerjakan.”

«یَوْمَئِذٍ یُوَفِّیهِمُ اللَّهُ دِینَهُمُ الْحَقَّ وَیَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِینُ (25)»

Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yag setimpal menurut semestinya,

dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang Benar, lagi Yang menjelaskan

(segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya) (QS an-Nur: 25)

Jika seorang perempuan—al-iyyadzubillah—rusak dan tercemar,

maka akan mencemari kehormatan laki-laki; namun

kalian mengetahui bahwa jika laki-laki yang tercemar, tidak

banyak memberikan pengaruh pada kehormatan perempuan,

bahkan—sama sekali—tidak mempengaruhi kehormatan perempuan.

Hal ini merupakan suatu rahasia khusus yang berkenaan

dengan kejiwaan. Pada berbagai tulisan saya pada beberapa tahun

yang lalu, yang dimuat di sebuah majalah perempuan berkenaan

dengan masalah hak-hak perempuan—bertentangan dengan

berbagai isi pembahasan yang ada dalam majalah itu

sendiri—saya menjelaskan rahasia pembahasan ini. Dan banyak

dari aturan-aturan Islam yang berasaskan pada hal ini pula. Jika

seorang perempuan tercemar, se orang laki-laki tidak lagi dapat

menyatakan dirinya memiliki kehormatan. Namun betapa banyak

perempuan-perempuan yang suci, bersih sementara suami

mereka adalah orang-orang yang kotor, tercemar. Masyarakat tidak

menganggap perempuan-perempuan itu juga demikian kotor.

Mereka akan mengatakan, “Suaminya orang yang ko tor lalu

apa urusannya dengan dia? Suaminya orang yang tercemar lalu

apa urusannya dengan dia?” Ini adalah satu bentuk pembahasan.

Pembahasan kedua ialah, perempuan dalam rangka menjaga

kesucian dirinya, berhubungan langsung dengan kehormatan

laki-laki. Sedangkan dalam urusan pribadi dan individunya tidak

p:63

berhubungan dengan laki-laki. Yakni jika seorang perempuan—

al-iyyadzubillah—tercemari dalam masalah yang berhubungan

dengan kesucian diri, maka laki-laki pun ikut tercemar. Namun

jika dalam diri seorang perempuan terdapat berbagai kekurangan,

hal itu bukan merupakan kekurangan laki-laki. Misalnya saja jika

ada seorang perempuan yang tidak beriman, jiwanya adalah kafir atau munafik

hal itu tidak ada hubungannya dengan laki-laki.

Oleh karena itu Al-Quran menyebutkan tentang istri Nuh as dan

istri Luth as. Mereka berdua adalah Nabi, namun istri mereka bukan

mukminat, dan dari sisi pemikiran serta akidah istri mereka

berdua itu memiliki ikatan dengan para musuh. Di sini Al-Quran

mengatakan,

«الْخَبِیثَاتُ لِلْخَبِیثِینَ وَالْخَبِیثُونَ لِلْخَبِیثَاتِ وَالطَّیِّبَاتُ لِلطَّیِّبِینَ وَالطَّیِّبُونَ لِلطَّیِّبَاتِ أُولَئِکَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا یَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ کَرِیمٌ (26)»

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang

keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik

adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk

wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang

dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan

rezeki yang mulia (surga) (QS an-Nur: 26)

Perempuan-perempuan yang tidak bersih adalah milik laki-laki

yang tidak bersih dan perempuan-perempuan yang bersih

adalah milik laki-laki yang bersih. Hal itu dikatakan berdasarkan

pada sisi kehormatan. Laki-laki yang tidak bersih, ia tidak lagi memiliki

rasa cemburu, dan ia menerima perempuan yang tidak bersih

itu, dan tidak merasa sedih walaupun istrinya adalah seorang

perempuan yang tidak bersih. Namun laki-laki yang bersih tidak

mungkin akan menerima perempuan yang tidak bersih. Hal inilah

yang akhirnya menyebabkan terjadinya pemilihan. Mereka yang

bersih memilih yang bersih, dan mereka yang tidak bersih memilih

yang tidak bersih.

Kalian dapat menyaksikan bahwa pemuda yang baik, maka

dia akan memilih pemudi yang baik dan pemudi yang baik itu pun

sangat menyukai suami yang baik. Namun seorang pemuda yang

p:64

kotor, dan busuk tidak akan menghiraukan sekalipun menikah

dengan seorang perempuan—yang menurut istilah mereka—memiliki

“pengalaman” dengan berpuluh-puluh laki-laki. Jiwa kotor

seorang laki-laki yang kotor itu, menyukai perempuan yang kotor,

namun jiwa bersih seorang laki-laki yang bersih, ia akan memilih

untuk dirinya seorang perempuan yang bersih. Jiwa bersih

dari seorang perempuan yang bersih akan memilih laki-laki yang

bersih.

Apa yang tengah kalian bicarakan berkenaan dengan Nabi

Saw dan kehormatan Nabi Saw? Mustahil dan tidak mungkin keti-

dak sucian itu terdapat pada keluarga seorang nabi. kufur (kekafi-

ran) mungkin saja terjadi pada keluarga seorang nabi, atau anak

seorang nabi, namun fisk (cabul, zina) mustahil terjadi.

Salawat dan salam atas Muhammad dan keluarganya yang suci.

p:65

p:66

p:67

Bagian 4

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang

terkutuk.

«یَا أَیُّهَا الَّذِینَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُیُوتًا غَیْرَ بُیُوتِکُمْ حَتَّی تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَی أَهْلِهَا ذَلِکُمْ خَیْرٌ لَکُمْ لَعَلَّکُمْ تَذَکَّرُونَ (27)»

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah

yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam

kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar

kamu (selalu) ingat. (QS an-Nur: 27)

«فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِیهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّی یُؤْذَنَ لَکُمْ وَإِنْ قِیلَ لَکُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْکَی لَکُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِیمٌ (28)»

Jika kamu tidak menemui searang pun di dalamnya, maka janganlah

kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan

kepadamu: «Kembali (saja)lah,» maka hendaklah kamu kembali.

Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang

kamu kerjakan. (QS an-Nur: 28)

«لَیْسَ عَلَیْکُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُیُوتًا غَیْرَ مَسْکُونَةٍ فِیهَا مَتَاعٌ لَکُمْ وَاللَّهُ یَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَکْتُمُونَ (29)»

Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan

untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah

mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.

(QS an-Nur: 29)

p:68

Pada salah satu pertemuan kita yang lalu, telah saya paparkan

bahwa Al-Quran sangat memperhatikan masalah

‘afaf, kesucian dan kebersihan setiap individu dari melakukan

berbagai hubungan seksual yang tidak syar’i. Hal itu berdasarkan

pada serangkaian falsafah dan kebijakan yang mana semua itu

telah saya kemukakan.

Dalam mencapai tujuan kesucian diri, Islam mengajukan dua

hal: pertama, menyusun berbagai cara dan usaha dalam meredam

gejolak hawa nafsu. Kedua, menyusun berbagai cara dan usaha

lainnya dalam bentuk hukuman dam sanksi. Ayat pertama yang

telah saya ungkapkan bentuk penafsiranya adalah menjelaskan

hukuman terhadap perbuatan zina, “Perempuan yang berzina dan

laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya

seratus kali dera.” Namun sebagaimana yang kita ketahui,

untuk melenyapkan satu ben tuk dosa tidak cukup hanya dengan

hukuman saja. Betapa pun beratnya hukuman, namun masih belum

mampu untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan tindak

kejahatan. Kejahatan itu baik berupa tidak menjaga kesucian diri,

pencurian, pembunuhan, atau ka rena tidak berhati-hati, seperti

tidak berhati-hati dalam mengemudi.

Adalah suatu pendapat yang salah, jika kita mengira bahwa

untuk mencegah terjadinya tindak kejahatan adalah dengan memperberat

hukuman. Mesti dilihat apa penyebab terjadinya tindak

kejahatan itu? Penyebab itulah yang harus disingkirkan. Barulah

kemudian mereka yang tidak normal—secara normal sudah tidak

ada lagi dorongan, alasan untuk melakukan tindak ke jahatan,

dan kejahatan itu dilakukan karena suatu bentuk kesengajaan dan

penentangan—dapat dijatuhi hukuman.

Saya akan memberikan sebuah contoh berkenaan dengan

masalah itu. Di antara undang-undang yang memang diperlukan,

ialah yang menyangkut dengan masalah kecepatan dalam

mengemudikan kendaraan. Sudah senantiasa diperingatkan bahwa

para pengemudi saat mengemudikan kendaraannya di dalam

kota hendaklah tidak melebihi kecepatan tertentu, misalnya saja

40 km per jam. Jika seseorang ada yang melanggarnya, kami akan

p:69

menjatuhinya dengan denda yang sangat berat. Meskipun dijatuhi

denda yang sangat berat, namun jika alasan dan sebab dari

pelanggaran tersebut tidak dikaji dan diselidiki, maka denda dan

hukuman itu masih belum mencukupi untuk meredam pelanggaran.

Khususnya berkenaan dengan mengemudikan kendaraan, di

mana mengemudi itu sendiri adalah merupakan satu bentuk dari

hukuman, yakni, “majazatuha ma’aha” “hukumannya dengannya”.

Karena seseorang yang melarikan mobilnya dengan kecepatan

tinggi, dan melaju secara gila-gilaan di da lam dan di luar kota, pertama-

tama dirinya sendirilah yang berada diambang bahaya, baik

mobil maupun jiwanya. Sekalipun demikian, bahaya dan kerugian

jiwa serta harta tidak mampu mencegahnya dan juga hukuman

(denda) juga tidak mampu mencegahnya. Mengapa? Karena ada

serangkaian sebab lainnya yang mendorong dia untuk melakukan

semua itu. Hukuman adalah semacam seorang polisi yang menghalanginya,

sementara itu ia berada di bawah tekanan berbagai

se bab yang lain. Misalnya saja Anda memberi peringatan kepada

seorang pengemudi taksi atau pengemudi kendaraan sewaan lainnya,

agar tidak melarikan mobilnya dengan kecepatan tinggi atau

Anda memberikan bermacam-macam sanksi atas pelanggaran itu.

Namun jika ia dalam suatu kondisi di mana mobil yang dikemudikan

itu adalah sebuah mobil sewaan, dan sejak pagi buta ia telah

bekerja, apabila ia tidak dapat menghasilkan 120 ribu per hari,

maka ia dan keluarganya tidak dapat makan—misalnya saja 60

ribu mesti diberikan kepada pemilik mobil, jika tidak maka besok

dia tidak akan diserahi mobil itu lagi, dan 30 ribu un tuk pembelian

bensin dan lain sebagainya, dan sisanya yaitu 30 ribu untuk

keperluan hidupnya—sekalipun Anda memberi beribu-ribu peringatan

kepada penge mudi tersebut dengan mengatakan, “Jiwamu

dalam bahaya, kau akan didenda sebesar sekian (misalnya), maka

kau akan dipenjara,” namun jika ia masih berada dalam tekanan

yaitu ia mesti membawa pulang 30 ribu, jika tidak maka ia tak akan

sanggup melihat wajah anak dan istrinya, apa yang dapat ia lakukan?

Sejak pagi buta ia telah menginjakkan kakinya pada gas, dan

dengan laju ia melarikan mobilnya di jalan raya. Alhasil ia mesti

menghasilkan 120 ribu. Ada sebuah paksaan terhadap dirinya. Hal

p:70

itulah yang menyebabkan hukuman dan peringatan tidak berpengaruh

pada dirinya.

Oleh karena itu jika kita ingin mencegahnya, tidak bisa dengan

cara memperberat bentuk hukuman atau denda, tetapi mesti

dengan jalan menyelidiki sebab-sebabnya. Ketika kita telah mengetahui

sebab-sebabnya, misalnya saja kita mampu membuat dia

hanya bekerja tujuh jam perhari saja, dan ia mampu mendapatkan

biaya hidup untuk anak dan istrinya, sehingga ia tidak menjadi

stres, dengan melakukan tindakan yang membahayakan jiwa dan

modal utamanya, atau bahkan ia akan mendekam dalam penjara.

Masalah semacam ini juga terdapat dalam kasus pencurian, pembunuhan,

minum minuman keras, berzina, dan dalam berbagai

dosa dan tindak kejahatan.

Jika demikian, maka berbagai penyebab itu mesti disingkirkan.

Dari satu sisi kita mengatakan, “Dilarang minum minuman

keras,” dan dalam lembar peristiwa dan kejadian yang ada di berbagai

surat kabar selalu ditulis berbagai dampak negatif dari minum

minuman keras—mereka mengadakan sensus dan hasilnya

ialah lima puluh persen dari sebab terjadinya tindak kejahat an,

pembunuhan, pelanggaran seksual, kecelakaan, adalah akibat dari

minuman keras—dan dari sisi lain tersedianya berbagai sarana

yang mendorong kepada perbuatan minum minuman keras. Pada

setiap lagu, syair, senantiasa berisi ajakan pada meja minum minuman

keras. Dan di setiap acara hal itu merupakan suatu keharusan,

dan setiap orang senantiasa didorong untuk minum minuman

keras. Kedai penjual minum an keras jauh lebih banyak dari

kedai-kedai yang lain.(1) Kemana saja para pemuda melangkahkan

kakinya yang ditemui adalah papan yang bertuliskan ajakan, “Yang

itu .... dan lain-lainnya tersedia di sini. Silahkan masuk”, dan mereka

pun mendatanginya.

Masalah ‘afaf (menjaga kesucian diri) dan zina adalah

semacam itu juga. Islam menentukan hukuman yang berat bagi

p:71


1- 16 Akhir-akhir ini saya mendengar bahwa sesuai dengan sensus yang mereka lakukan secara detail, di kota Teheran dan Syamiranat terdapat lebih dari tiga puluh ribu penjual minuman keras. [ceramah ini beliau sampaikan sebelum kemenangan revolusi Islam—peny.]

para pelaku zina, namun Anda dapat melihat bahwa Islam tidak

sepenuhnya bersandar pada hukuman. Oleh karena itu, cara pembuktian

perbuatan zina sangat dipersulit. Islam juga tidak menghendaki

agar setiap orang pergi menyelidiki dan memata-matai

siapakah yang bezina dan siapakah yang tidak berzina? Islam

menganggap tindakan semacam itu (memata-matai) adalah suatu

tindakan yang tercela. Jelas jika perbuatan zina telah terbukti,

maka akan dijatuhi hukuman yang berat. Akan tetapi tidak ingin

mencegah terjadinya perbuatan zina itu melalui hu kuman dan tidak

ingin mendorong masyarakat untuk melakukan penyelidikan

dan tindakan mata-mata. Pada dasarnya Islam sangat menentang

tindakan memata-matai dan menyelidiki suatu dosa. Islam menentang

tindakan memata-matai terhadap dosa-dosa yang dikerjakan

oleh masyarakat: “dan janganlah kamu mencari-cari.” (QS

al-Hujurat:12)

Jika demikian jalur apakah yang digunakan Islam dalam rangka

memerangi dosa? Bermacam-macam jalur. Nasehat, amar makruf

nahi munkar, serta me lalui jalur pendidikan, di mana masyarakat

diharuskan untuk dididik secara demikian (di sana terdapat

berbagai jalur yang tepat). Satu lagi adalah, dasar-dasar kehidupan

diatur sedemikian rupa sehingga berbagai faktor penyebab kesesatan

dan dosa dapat ditiadakan. Masalah ‘afaf merupakan salah satu

di antara bentuk aturan tersebut, yang mana pada pertemuan kita

yang lalu saya mengatakan bahwa dari satu sisi Islam hendak memenuhi

berbagai tuntutan hawa nafsu melalui jalur pernikahan

yang sah, dan sangat tidak setuju terhadap hidup membujang dengan

alasan apa pun.(1)

p:72


1- 17 Ketika Islam membolehkan nikah mu’aqqad (temporer atau mut’ah), tujuannya adalah bukan untuk melampiaskan nafsu birahi orang-orang yang telah beristri—yang terkadang memiliki dua, tiga, bahkan empat istri—kemudian sebagai selingan mereka melakukan nikah mu’aqqad, dengan alasan agar mendapat pahala. Tidak! Mereka tidak akan mendapat pahala, bahkan malah berdosa. Pada saat sarana bagi pernikahan da’im (permanen) belum tersedia, disebabkan nikah da’im memiliki persyaratan yang berat—dan dari sisi lain Islam menentang kebebasan seksual—maka Islam mengizinkan dilaksanakannya nikah mu’aqqad. Nikah mu’aqqad adalah satu bentuk pernikahan yang memiliki berbagai syarat yang bebas. Namun syarat-syarat tersebut tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak. Misalnya saja, ada kejelasan mengenai siapa yang akan bertanggungjawab dalam merawat anak. Islam mengizinkan pernikahan ini, ketika pernikahan da’im tidak dapat dilaksanakan dengan mudah, dan agar mereka tidak senantiasa dalam keadaan membujang. Karena mem bujang itu sendiri memiliki dampak yang buruk.

Pada beberapa ayat berikutnya kita akan temui ayat: “Dan kawinkanlah

orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-

orang yang layak kawin dari hamba-hamba sahayamu laki-

laki dan hamba sahayamu yang perempuan.” Sangat memberikan

dorongan ter hadap pernikahan; putra dan putri harus dan mesti

melaksanakan pernikahan (masalah “harus” ini akan saya paparkan

pada pembahasan ayat tersebut). Oleh karena itu, dari satu

sisi demi melenyapkan berbagai faktor penyebab penyimpangan

seksual, kalian didorong untuk melaksanakan pernikahan, sedangkan

dari sisi lain apakah cukup hanya dengan pernikahan? Ketika

seorang laki-laki memiliki istri dan seorang perempuan memiliki

suami apakah kecenderungannya kepada orang lain dapat hilang,

sebagaimana yang ada pada sebagian binatang? Yaitu hanya menaruh

perhatian pada pasangannya saja?

Binatang melakukan aktivitasnya berdasarkan pada naluri,

dan tidak diciptakan memiliki kebebasan. Burung merpati dan beberapa

jenis binatang lainnya kesemuanya berpasang-pasangan,

sedangkan binatang lainnya seperti kambing, kuda, kijang, tidaklah

demikian. Tidak ada istilah pasangan dalam kehidupannya,

tetapi baik jenis jantan maupun jenis betina, khususnya binatang

buas, hanya menjalin hubungan ketika hendak membentuk keturunan

saja. Binatang yang hidup berpasangan seperti merpati,

yang mana dua merpati si jantan dan si betina adalah merupakan

satu pasangan. Kecenderungan seksualnya hanya terbatas pada

satu sama lain saja, si jantan tidak tertarik dengan betina yang lain

dan si betina pun tidak tertarik de ngan jenis jantan lainnya.

Sedangkan seorang manusia, dengan nafsunya, yang berdasarkan

pada kebebasan yang dimilikinya, semua aktivitasnya mesti

dijalankan berdasarkan tugas dan kewajiban dan bukannya berdasarkan

pada naluri atau paksaan alam. Dengan demikian, maka

seorang yang telah menikah sudah memiliki suatu penghambat,

namun penghambat itu masih belum mencukupi; yakni seorang

laki-laki yang telah menikah itu ketika memandang perempuan

lain maka kecenderungannya akan bangkit, khususnya jika perem

p:73

puan tersebut dalam keadaan yang merangsang. Begitu juga dengan

perempuan terhadap laki-laki lain. Di karenakan hal itulah,

maka Islam membuat sebuah batasan dalam hubungan laki-laki

dan perempuan, dan batasan itu tidak lain adalah untuk menjaga

agar hubungan perempuan dengan laki-laki tidak menggetarkan

hati, dan tidak saling membangkitkan nafsu birahi. Dengan membaca

ayat-ayat berikutnya maka pembahasan akan menjadi jelas.

Ayat-ayat yang telah dibacakan pada awal pembahasan adalah

berhubungan dengan “izin”. Berhubungan dengan seseorang tidak

dibenarkan memasuki ru mah orang lain dengan tanpa izin

dan pemberitahuan sebelumnya. Tiga ayat ini tidak khusus untuk

perempuan, namun sebagian besar berhubungan dengan perempuan.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki

rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi

salam kepada penghuninya.”

Wahai orang-orang yang beriman, jangan sekali-kali kalian

memasuki rumah yang selain rumah kalian sendiri, sekalipun

rumah ayah, ibu dan saudara-saudara kalian, jangan masuk secara

mendadak. Akan tetapi sebelumnya kalian telah istinas (asal

kata dari tasta’nisu—pen.) dan memberi salam kepada para penghuninya.

Istinas adalah mengharapkan kesenangan, kerelaan, dan

ketenangan pemilik rumah.

Ini merupakan satu poin yang cukup jelas. Kehidupan dalam

rumah dan keluarga adalah khusus untuk berbagai individu itu

sendiri dan orang lain yang hendak memasuki kehidupan itu mesti

berdiri di depan pintu. Oleh karena itu, jika seseorang secara mendadak

masuk ke dalam rumah seseorang, maka penghuni rumah

tersebut akan merasa terkejut dan gugup. Al-Quran mengatakan,

janganlah kau lakukan hal itu, usahakanlah agar mereka tidak terkejut,

yakni terlebih dahulu berilah kabar dan pemberitahuan.

Pada masa dahulu menutup pintu bukanlah suatu kebiasaan—

dan sekarang ini di sebagian daerah demikian pula. Dan

di kota-kota hal itu adalah sebuah kebiasaan, pintu rumah dikunci

dari dalam dan sese orang tidak akan dapat memasuki rumah itu

secara mendadak, namun terlebih dahulu ia mesti menekan bel

p:74

atau mengetuk pintu. Orang-orang Arab jahiliyah sama sekali tidak

terbiasa dengan meminta izin atau memberitahu saat akan

memasuki rumah orang lain. Mereka beranggapan bahwa meminta

izin tersebut adalah merendahkan dan menghinakan dirinya.

Islam mengeluarkan peraturan ini, yaitu janganlah sekali-kali

kalian memasuki rumah orang lain (sekarang kita tidak mungkin

dapat memasuki, karena pintu senantiasa terkunci, sekalipun pintu

dalam keadaan terbuka ja nganlah kalian memasukinya) “dan

memberi salam kepada penghuninya,” ucapkanlah salam, jangan

kalian memasuki rumah dengan tanpa memberi salam terlebih

dahulu. Tugas orang yang akan masuk adalah memberi salam kepada

mereka yang di dalam rumah. Orang yang akan masuk yang

wajib mengucapkan sa lam kepada penghuni rumah. Nabi yang

mulia Saw menetapkan sunah ini, yaitu beliau mengatakan bahwa

dalam kondisi apa pun setiap kalian hendak mema suki rumah,

hendaklah kalian meminta izin terlebih dahulu agar mereka bersiap

sedia. Dan sekiranya me reka tidak memberi izin dan tidak

mengatakan, “Silakan masuk,” maka janganlah kalian masuk!

Hendaknya kalian melakukan suatu tindakan yang dapat

didengar dan dilihat oleh penghuni rumah. Mungkin saja ketika

Anda akan memasuki suatu rumah, terlebih dahulu Anda memberitahu

dengan cara berdehem dan kemudian berkata saya hendak

masuk ke dalam rumah. Namun mengapa Anda melakukan

semacam itu? Sebaiknya sebutlah nama Allah, misalnya saja sebutlah,

“Ya Allah” atau, “Subhanallah”. Hal itu sudah merupakan

satu kebiasaan dalam kehidupan kita yaitu mengucapkan “Ya Allah

“ dan itu merupakan suatu kebiasaan yang terpuji. Meskipun

sedikit demi sedikit mereka yang ke barat-baratan tidak lagi mengucapkannya,

tetapi hendaklah kalian ketahui bahwa kebiasaan

itu adalah Islami. Mereka menghapus salam dan menghapus “Ya

Allah “. Satu hal yang sangat mengherankan!

Telah menjadi kebiasaan Nabi mulia Saw, beliau tidak masuk

ke suatu rumah kecuali terlebih dahulu meminta izin, dan istinas,

yaitu dengan mengucapkan salam. Bahkan saat beliau mendatangi

rumah putrinya, Fatimah az-Zahra as, beliau tidak akan masuk

kecuali dengan meminta izin terlebih dahulu, beliau akan berdiri

p:75

di depan pintu dan dengan suara lantang be liau mengucapkan,

“Assalamu ‘alaikum ya ahlalbait,” jika mereka menjawabnya dan

mengatakan, “Silakan,” maka beliau akan masuk. Dan jika mereka

tidak memberi jawaban, untuk kedua kalinya beliau akan mengucapkan

lagi, yang mungkin mereka tidak mendengarnya, “Assalamu

‘alaikum ya ahlalbait,” jika mereka tidak pula memberi jawaban—

ihtiyat-nya (hati-hati-nya—pen.) mungkin mereka tidak

mendengarnya— untuk ketiga kalinya beliau akan mengucapkan

salam lagi. Dan jika tetap tidak mendapatkan jawaban maka beliau

akan kembali, dan berucap, “Mungkin mereka tak ada di rumah,

atau mungkin mereka dalam suatu kondisi yang tidak dapat menerima

seseorang, dan jangan sampai mereka merasa tak senang.”

“yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu ingat"

hal itu lebih baik bagi dirimu, itu adalah demi kebaikanmu,

sesungguhnya kalian akan merasakan faedahnya. Laksanakanlah

dan pasti kalian akan mengetahui manfaatnya.

Sehubungan dengan masalah itu, ada sebuah kisah yang

mungkin kalian pernah mendengarnya. Kisah Samurrah bin Jundub”—

ia adalah seorang yang busuk, dan pada masa Amirul Mukminin

Ali bin Abi Thalib as dan masa Muawiyah berkuasa ia tetap

merupakan seorang yang busuk—yang merupakan sebuah kisah

yang cukup terkenal. Di masa Rasulullah Saw, Samurrah memiliki

sebatang pohon kurma yang terletak di se buah kebun milik salah

seorang sahabat Rasul Saw. Karena pohonnya terletak di tanah itu,

maka dia merasa berhak untuk melintas dan masuk guna melihat

keadaan pohonnya tersebut. Namun karena pohon itu terletak

di pekarangan rumah orang lain, sesuai dengan aturan, maka setiap

ia hendak memasuki ke rumah itu mesti terlebih dahulu istinas,

meminta izin, atau mengucapkan, “Ya Allah.” Akan tetapi ia

seorang yang keras kepala dan busuk. ia enggan untuk melakukan

semua itu. Dan secara mendadak ia masuk ke dalam rumah itu

(setiap orang yang berada di dalam rumahnya sendiri, ada kalanya

dalam kondisi yang tak ingin dilihat oleh orang lain) sehingga menyebabkan

penghuninya merasa tak senang. Pemilik kebun telah

berkali-kali memberi peringatan, tetapi dia tetap tak mau peduli.

Akhirnya pemilik kebun datang menemui Rasulullah Saw untuk

p:76

melaporkan kejadian itu, “Wahai rasulullah nasihatilah si fulan, Ia

telah sering-kali masuk kerumahku secara mendadak.” Rasulullah

pun memanggil Samurrah bin Jundub, dan masalah tersebut beliau

utarakan. Ia menjawab, “Tidak, pohonku ada di situ dan aku

berhak untuk masuk.” Rasul Saw memahami bahwa orang itu tidak

waras, beliau bersabda, “Jika demikian lakukanlah satu pekerjaan

lagi, juallah pohonmu itu kepadaku dan aku akan memberimu sebuah

pohon yang lebih baik dari itu di tempat lain.” Ia menjawab,

“Tidak, aku hanya ingin pohonku sendiri.” Beliau bersada, “Aku

akan mem berimu dua pohon.” Ia tetap tidak menerima. Tiga pohon,

empat pohon sampai sepuluh pohon telah Nabi Saw tawarkan

kepadanya, namun ia tetap tidak mau. Kemudian beliau bersabda,

“aku menjamin bahwa kau akan mendapatkan pohon kurma di surga .” Ia

menjawab, “Aku tidak menginginkan pohon di surga, aku hanya

ingin pohon itu saja dan aku tidak akan meminta izin.”

Sikap semacam ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang

yang sangat jelek perangainya—sebagaimana yang telah saya

jelaskan bahwa Islam pada awal mula akan menggunakan caracara

yang lembut, namun jika tidak memperoleh hasil maka akan

menggunakan cara kasar. Rasul Saw segera memerintahkan pemilik

kebun, “Pergilah ke kebunmu sekarang juga, cabutlah pohon

kurma itu dari akar-akarnya dan lemparkanlah ke hadapannya

(Samurrah bin Jundub) “innahu rajulun mudhar” sesungguhnya ia

adalah seorang yang mengganggu, “la dhirara wa laa dhiraara fii al-Islam

Islam”(1) dalam agama Islam tidak merugikan

dan tidak dirugikan.(2)

Kemudian Al-Quran mengatakan, “Jika kamu tidak menemui

seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum

kamu mendapat izin,” kemudian jika ka lian pergi ke rumah seseorang

kemudian tidak ada seorang pun apa yang mesti dikerjakan?

Apakah kalian akan mengatakan, “Karena sekarang tidak

ada seorang pun yang dapat kita mintai izin, maka pasti di dalamnya

juga tidak ada seorang perempuan pun, sehingga jika kita

tetap masuk kita tidak akan dikatakan masuk rumah orang secara

p:77


1- 18 Furu' al kafi vol 5. hal 294. hadis 8.
2- 19 Dari sinilah munculnya kaidah: “la dharara wa la dhirara”, yaitu ‘tidak merugikan dan tidak dirugikan’.

mendadak.” Apakah karena tidak ada orang yang bukan muhrim

lalu kita boleh masuk? Tidak, tidak diperbolehkannya seorang

masuk ke rumah orang lain bukan karena di dalamnya ada orang

yang bukan muhrimnya. Seseorang sama sekali tidak diperbolehkan

untuk masuk dalam kehidupan khusus orang lain. Karena

dalam kehidupan khusus itu, kemungkinan saja seseorang memiliki

beberapa hal yang tidak ingin dilihat orang lain. Al-Quran

mengatakan, jika tidak ada seorang pun kalian jangan masuk,

kecuali jika mereka telah memberi izin kepada kalian. Misalnya

saja pemilik rumah memberikan kepada Anda kuci rumah tersebut

atau mengatakan kepada kalian, “Masuklah ke rumah ini.”

Kemudian jika kita datang ke suatu rumah dan meminta izin,

dan di dalam rumah itu juga terdapat penghuninya, namun bukannya

mereka mengatakan: “Silahkan,” tapi mereka menjawab,

“Tolong Anda pulang saja, saya tidak ada waktu untuk menerima

Anda,” dalam situasi semacam ini apa yang harus kita lakukan? Al-

Quran dengan jelas menerangkan bahwa jika pe milik rumah tidak

menerima kalian dan mengatakan, “Saya tidak dapat menerima

Anda,” maka kalian mesti kembali dan jangan merasa sakit hati.

Kita tidak pernah memperhatikan perintah ini, sekalipun kita

telah berada dalam kehidupan yang sangat maju.

Di sini Al-Quran mengatakan pada kita “Janganlah kalian

masuk,” “Tunggulah di depan pintu sebentar”, atau “kalian jangan

menyesal”, “jangan sakit hati.” Jika Anda hendak masuk ke rumah

seseorang jika sebelumnya Anda telah meminta waktu darinya,

maka masuklah! Dan jika tanpa pemberitahuan sebelumnya lalu

Anda mengetuk pintu rumahnya artinya ialah, “aku hendak masuk

ke dalam rumahmu” dan jika pemilik rumah dalam suatu kondisi

yang tidak mungkin dapat mene rima kedatangan Anda, maka ia

tidak harus mengatakan, “Tunggulah di depan pintu sebentar” ia

harus langsung mengatakan, “Saya ada dirumah—bukannya tidak

ada—namun karena saya ada kerjaan tertentu, maka dengan

menyesal sekali saya tidak dapat menerima kedatangan Anda.”

Seringkali terjadi seseorang harus mengerjakan suatu tugas penting,

sedangkan orang yang datang tidak memiliki keperluan yang

berarti. “Anda tidak begitu terikat dengan waktu, datanglah ke

p:78

mari di lain waktu,” jawaban ini harus diucapkan secara terangterangan.

Jika pemilik rumah memberikan jawaban secara terangterangan,

maka orang yang bertamu pun harus memiliki kesiapan

mental, keberanian, kekuatan untuk tidak merasa sakit hati.

Namun, pada masa sekarang ini kalian akan menyaksikan

bahwa yang terjadi adalah sebaliknya. Pemi lik rumah tidak memiliki

keberanian, kejujuran untuk mengatakan, “Saya ada pekerjaan

dan tidak dapat menerima Anda,” dan orang yang bertamu pun

tidak me miliki rasa kemanusiaan, sehingga ketika pemilik rumah

memberikan jawaban, “Saya tidak dapat menerima kedatanganmu,”

ia merasa sakit hati. Oleh karena itu, dalam kehidupan masyarakat

kita terbentuk tiga kebiasaan semacam ini.

Kebiasaan pertama, pemilik rumah berbohong kepada

anaknya dengan mengatakan, “Katakanlah bah wa saya tidak ada

di rumah.” Bohong adalah suatu dosa besar. Lalu di antara mereka

ada yang hendak melakukan tauriyyah (yang dimaksud oleh pembicara

berbeda dengan yang dipahami pendengar—pen.), sedangkan

tauriyyah hanya boleh dilakukan pada suatu kondisi di mana

dituntut untuk tidak berkata jujur, dan jika secara jujur dikatakan

maka akan berakibat buruk. Seperti jika ada seseorang yang

datang sambil membawa sebilah belati dan hendak membunuh

seseorang—secara tidak syar’i—lalu ia bertanya, “Si fulan ada di

sini atau tidak?,” harus dijawab, “Tidak ada.” Dalam hal ini mereka

berpendapat demi tidak mewujudkan kebiasaan berbohong maka

dalam hatimu mesti terlintas kata-kata yang lain, ketika kau mengatakan,

“Tidak ada,” maka dalam hati mu terlintas kata, “di sini”

(maksudnya ialah “ia tidak ada di sini”, namun ia ada di ruangan

lain, di kamar mandi, di dapur, dsb—pen.). Akan tetapi, bukan

berbagai kebohongan yang ia inginkan lalu ia menggunakan tauriyyah.

Mereka mengatakan kepada anak-anaknya, “Katakanlah saya

tidak ada,” dan ketika anak-anak mengatakan”Tidak ada”, maksud

mereka ialah “tidak ada di ruang ini”. Di sini Anda dapat berkata

jujur mengapa Anda melakukan tauriyyah? Katakan saja dengan

tegas, “Saya ada di rumah, namun tidak dapat menerima kedatangan

Anda.”

p:79

Pada suatu hari Mulla Nasyruddin membawa seorang tamu

ke rumahnya. Setibanya di rumah, ia langsung masuk ke dalam. Di

dalam Ia bertengkar dengan istrinya. Istrinya mengatakan, “Mengapa

kau bawa dia kemari kita tidak memiliki apa-apa untuk menjamunya,

kau telah bertindak salah.” (sebagian besar perempuan

adalah semacam ini, dalam hal menerima tamu ia me miliki peran

penentu). Mulla pun menjawab, “Apa yang mesti aku lakukan?”

Istrinya berkata, “Aku tidak akan menyediakan jamuan untuknya.”

Mulla terdiam dan bingung. Lalu ia berkata kepada anaknya,

“Katakan kepada tamu itu, bahwa aku tidak ada di rumah.” Anak

itu pun mengatakannya kepada tamu itu. Tamu itu menjawab,

“Saya datang kemari bersama dia?” Akhirnya Mulla sendiri yang

berbicara sambil berteriak, “Mungkin di rumah ini ada dua pintu,

dan dia keluar dari pintu yang lain!”

Biasanya ketika seseorang mengalami hal-hal semacam itu,

maka akan menggunakan taktik Mulla Nasyruddin; yakni ketika

ada tamu yang datang akan memperoleh jawaban, “Dia sedang tidak

ada di rumah,” dan tamu itu sendiri mengetahui bahwa jawaban

itu adalah sebuah kebohongan. Karena orang yang datang

menemui tamu di depan pintu, lalu dia mengatakan, “Sebentar

saya lihat terlebih dahulu ia ada di rumah atau tidak,” artinya ialah,

“Dia akan mengatakan “Ada” atau “Tidak ada.”

Sungguh sangat jelas, kau yang datang dari dalam rumah tentunya

telah mengetahui dengan pasti bah wa dia itu ada di rumah

atau tidak. Dan tidak perlu melihat kembali. Kalimat “Sebentar

saya lihat terlebih dahulu dia ada di rumah atau tidak” ini artinya

ialah “Sebentar saya akan menanyakan kepada dia, saya harus berbicara

jujur atau berbohong.” Demikianlah adanya. Dan yang lebih

mengherankan lagi ialah semua mengetahui hal itu, tamu mengetahui,

pemilik rumah mengetahui, namun kebohongan ini senantiasa

mereka lakukan. Dengan demikian satu bentuk kebiasaan

adalah dengan berkata bohong.

Kebiasaan kedua ialah, pemilik rumah mengata kan, “Silahkan

masuk", namun dengan memaksakan diri untuk berbuat munafik

“Selamat datang, Anda membawa kebahagiaan bagi kami,” namun

p:80

dalam hatinya senantiasa mengumpat dan mencaci, “Musibah apa

yang telah menimpaku, saat-saat seperti ini ia datang ke rumahku.

Aku punya beribu-ribu pekerjaan. Tak berpendidikan! Tak tahu

aturan! Tak sadar jika kedatangannya adalah mengganggu orang

lain!” Kemudian setelah orang itu pergi, di depan anak dan istennya

ia akan melampiaskan umpatan dan cacian tersebut dengan

lisannya. Apa nanti jadinya anak-anak itu. Anak yang melihat

ayahnya tidak memiliki keberanian untuk mengatakan kepada tamunya,

“Maaf saya tidak dapat menerima Anda.” Di depan tamu

ia sangat merendah, mengucapkan selamat datang, namun di belakangnya

ia mengumpat dan mencaci maki.

Kebiasaan ketiga ialah, pemilik rumah dan penerima tamu

keduanya bersikap baik. Pemilik rumah menemui tamu tersebut

di depan pintu dan berkata, “Saya sangat menyesal sekali tidak

dapat menerima kedatangan Anda, karena saya sekarang ini

memiliki banyak tugas dan pekerjaan.” Atau jika tidak demikian

maka ia akan memerintah seseorang untuk menemui tamu itu dan

mengatakan, “Ia ada pekerjaan dan tidak dapat menemui Anda.”

Pemilik rumah telah melakukan sikap yang bagus, namun ia akan

menghadapi berbagai tuduhan dari tamu itu misalnya saja: tak

berakhlaq, materialis dan sebagainya. Kemana saja ia (tamu itu)

pergi, ia akan menceritakan peristiwa itu, “Saya pergi ke rumah

si fulan dan dia tidak menerima kedatangan saya.” Semestinya ia

(orang yang bertamu itu) menceritakan, “Saya datang tanpa pemberitahuan

terlebih dahulu,” mestinya ia juga menceritakan, “Ia

tidak menerima kedatangan saya karena ada halangan.” Anda harus

merasa senang karena penerima ta mu adalah seorang yang terbuka

dan berani. Ia tidak membohongi Anda, namun mengatakan

apa yang sebenarnya. Ini adalah bentuk yang ketiga.

Pada masa-masa sekarang ini, kebiasaan yang sering dilakukan

adalah kebiasaan bentuk yang pertama dan kedua, yaitu yang

berhubungan dengan penerima tamu; atau bentuk yang ketiga,

yaitu yang berhubun gan dengan tamu.

Namun kebiasaan keempat, yang Islam sangat memuji hal itu,

tidak terdapat dalam kehidupan masyarakat kita. Dan itu adalah,

p:81

ketika penerima tamu atau pemilik rumah tidak memiliki waktu

untuk menerima tamunya, dan secara terus terang ia mengatakan,

"Maafkanlah saya, saya tidak dapat menerima kedatangan anda"

Dan Tamu pun dengan penuh kebesaran hati ia akan kembali pulang

tanpa merasa sakit hati. Al-Quran memerintahkan kita untuk

melaksanakan bentuk yang keempat ini, dengan mengatakan,

“Dan jika dikatakan kepadamu:"kembali (saja)lah, maka hendak

lah kamu kembali,” jika mereka mengatakan kepada kalian, “Kami

tidak dapat menerima kedatangan kalian,” kembalilah “Itu lebih

bersih bagimu,” hal itu lebih bersih bagi kalian—bentuk keempat

ini lebih baik bagi kalian dari ketiga bentuk yang lain "Dan Allah

Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” Allah Mengetahui

berbagai pekerjaan kalian.

Al-Quran mengatakan bahwa jika kalian pergi ke suatu rumah

yang bukan rumah kalian sendiri, janganlah kalian masuk dengan

tanpa izin. Lalu apakah setiap tempat tinggal dan tempat di mana

banyak orang yang tinggal di situ juga hukum ini berlaku? Jika

saya akan masuk sebuah toko, apakah saya juga mesti menunggu

di depan pintu dan meminta izin terlebih dahulu baru kemudian

masuk? Untuk masuk ke se buah hotel atau tempat penggilingan

gandum apakah juga mesti meminta izin terlebih dahulu? Ataukah

hukum itu dikhususkan hanya untuk rumah-rumah tempat

tinggal yakni tempat kehidupan pribadi? Al-Quran mengatakan

bahwa hukum itu berlaku hanya pada kehidupan khusus atau

pribadi, bahkan juga tempat kerja khusus. Namun tempat-tempat

umum tidak terikat dengan hukum itu. Di tempat-tempat umum

yang pintunya senantiasa terbuka untuk umum, tidak perlu meminta

izin terlebih dahulu.

Ada seorang laki-laki awam, dan ia adalah seorang yang bertakwa.

Ia pernah mendengar bahwa tidak dibenarkan masuk ke

sebuah rumah dengan tanpa meminta izin terlebih dahulu. Saya

mendengar pada suatu hari ketika ia berada di kota Masyhad dan

hendak masuk ke suatu tempat penginapan yang cukup besar untuk

mencari sahabatnya, ia pun berdiri di depan pintu gerbang

penginapan tersebut, dan mengutus seseorang untuk menanyakan

apakah ia diizinkan untuk masuk atau tidak? Pintu tempat pengi

p:82

napan begitu besar, dan banyak orang dan kendaraan yang keluar

masuk, maka tidak lagi diperlukan izin. Itu ada lah tempat umum.

Tempat itulah yang dikatakan oleh Al-Quran, “Ti dak ada dosa

atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami,”

kalian tidak berdosa sekalipun de ngan tanpa meminta izin terlebih

dahulu memasuki tempat-tempat yang di dalamnya banyak

terdapat manusia, dan di sana mereka melakukan jual beli, serta

bertempat tinggal namun bukan tempat tinggal pribadi (khusus).

“Yang di dalamnya ada keperluanmu,” Di sana dapat mendatangkan

keuntungan bagi kalian, yakni ketika kalian ada urusan. Namun

jika tidak ada urusan, janganlah kalian membuat repot. Kemudian,

“Dan Allah mengetahui apa yang kamu nayatakan dan apa

yang kamu sembunyikan,” Allah Mengetahui segala sesuatu yang

kalian nyatakan maupun yang kalian sem bunyikan.

Dan sekarang kita memasuki ayat-ayat yang berkenaan dengan

pandangan dan pakaian.(1)

«قُلْ لِلْمُؤْمِنِینَ یَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَیَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِکَ أَزْکَی لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِیرٌ بِمَا یَصْنَعُونَ (30)»

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah

mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya;

yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka seseungguhnya Allah

Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (QS an-Nur: 30)

Katakanlah kepada orang-orang mukmin agar me reka

menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya, yang

demikian itu adalah lebih bersih, dan lebih suci bagi mereka. Yakni

perintah ‘afaf ini bertujuan untuk menjaga kesucian dan kebersihan

jiwa dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.

p:83


1- 20 Ayat-ayat yang kita baca adalah ayat-ayat pakaian. Perlu saya sebutkan bahwa kita memiliki serangkaian ayat pada surah al-Ahzab yang berhubungan dengan istri-istri Rasul Saw, yang menurut istilah fiqih dan hadis ayat-ayat tersebut dikenal dengan “ayat-ayat hijab” khusus bagi istri-istri rasul Saw, dan merupakan sebuah perintah khusus bagi mereka. Ayat-ayat ini (di surah an-Nur) dalam istilah fiqih dan hadis tidak dikenal dengan istilah "ayat-ayat hijab”, namun ayat-ayat ini menjelaskan aturan pakaian perempuan dalam berhadapan dengan laki-laki, serta perintah menutup aurat baik bagi laki-laki perempuan.

Dalam ayat ini banyak hal yang mesti dibahas. Para mufasir

sehubungan dengan kalimat, “Hendaklah mereka menahan

pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu

adalah lebih suci bagi mereka,” banyak sekali melakukan pembahasan.

Sebagian keyakinan mereka adalah, dua kalimat tersebut

berhubungan dengan menutup aurat (kemaluan), karena di antara

kewajiban dalam Islam adalah baik laki-laki maupun perempuan

keduanya diwajibkan untuk menutupi auratnya kecuali terhadap

pasangannya (istri atau suami).

Menutup aurat bagi laki-laki dan perempuan adalah wajib,

kecuali antara suami dan istri, aurat satu sama lain adalah

muhrim. Selain itu seseorang sama sekali tidak muhrim dengan

aurat orang-orang yang lain. Antara ayah, ibu terhadap putra dan

putrinya, saudara laki-laki terhadap saudara laki-lakinya, saudara

perempuan terhadap saudara perempuannya, kesemuanya bukanlah

muhrim (tidak dibolehkan saling melihat aurat atau kemaluan—

pen.). Mereka wajib untuk menutupi auratnya dan diharamkan

melihat aurat lainnya. Ini adalah di antara ketentuan agama

Islam yang suci.

Di sini Al-Quran menjelaskan mengenai “yang demikian itu

adalah lebih suci bagi mereka,” peraturan itu dibuat demi kesucian

jiwa kalian, bagaimanakah? Bahwa falsafah dari ketentuan itu

ialah Islam tidak menginginkan tersedianya suatu sarana yang menyebabkan

masyarakat melampiaskan nafsunya melebihi tuntutan

alamiahnya, sehingga menyibukkan pikiran mereka. Dan juga Islam

tidak menginginkan terbentuknya sebuah sarana yang dapat

membangkitkan nafsu syahwat mereka.

Segala yang tidak dilihat oleh manusia maka ia tidak akan

memikirkannya. Karena masyarakat senantiasa menutup auratnya—

jelas ini menurut kebiasaan Islam dan bukan kebiasaan

Barat—tidak ada seorang pun yang terlintas dalam pikirannya

untuk memikirkan aurat orang lain. Itu merupakan satu hal yang

maghfulun ‘anhu yaitu “sama sekali tidak pernah terpikirkan”. Pikiran

manusia, otak manusia, hati manusia, menjadi suci dan bersih

jika tidak memikirkan hal-hal semacam itu, dan tentunya tidak

p:84

ada keharusan untuk memikirkannya. Agar jiwa, hati, pikiran,

dan otak ka lian menjadi bersih dan suci, dan kalian jangan memikirkan

aurat si fulan adalah demikian, sedangkan aurat si fulan

adalah demikian, dan hal semacam ini tidak akan pernah terjadi,

karena Islam memberikan perintah menutup aurat, dan dari sisi

itu betapa besar hasil yang telah didapatkan. Hasilnya ialah, otak

dan pemikiran para penganutnya senantiasa bersih dan cemerlang,

dan lebih dari itu tidak pernah terlintas dalam benak mereka untuk

memikirkan hal-hal semacam itu.

Di antara kebiasaan yang benar-benar tercela yang sedang

ramai dikerjakan di dunia Eropa, yang sangat marak khususnya

di Eropa Utara, juga di tempat-tempat lain yang telah terbiasa,

yang orang-orang semacam Russell sangat mendukungnya ialah

“memamerkan aurat dan memerangi penutupan aurat”. Russell

pada salah satu bukunya yang berkenaan dengan pendidikan,

dan judul bukunya juga “dalam pendidikan” ia bersikeras untuk

melenyapkan masalah menutup aurat. Dan Al-Quran bersikeras

agar masalah menutup aurat senantiasa terjaga, khususnya pada

kalimat berikutnya, “yang demikian itu adalah lebih suci bagi mer-

eka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka per-

buat.” Kami lebih Mengetahui tentang hal yang Kami jelaskan ini.

Jika demikian, maka sebagian meyakini bahwa: “yahfadhuna

furujahum” yaitu “memelihara kemaluannya” adalah, hendaklah

mereka menjaga auratnya dari pandangan orang lain, menutupinya.

Dan “yaghudh-dhuna min absharihim” yaitu “Hendaklah

mereka menahan pandangannya”, hendaklah mereka menundukkan

pandangan, menutup mata, dari melihat apa? Al-Quran menjawab,

“Dari melihat berbagai aurat.” Namun saya berkeyakinan

bahwa ayat ini memiliki arti yang lebih umum dari itu, baik “yahfadhuna

furujahum” maupun “yaghudhdhuna min absharihim”.

Pada berbagai riwayat disebutkan, “Setiap ungkapan “men jaga

kemaluan” adalah berarti “menjaga dari perbuatan zina”, kecuali

di sini berhubungan dengan masalah pandangan. Tidak jauh dari

kemungkinan jika yang dimaksud oleh ayat ini mencakup keduanya.

Dan saya memiliki dugaan kuat bahwa “yaghudhdhuna min absharihim”

tidak hanya khusus menundukkan pandang an dari meBAGIAN

p:85

lihat aurat saja, bahkan kemungkinan besar lebih ditujukan dari

melihat yang bukan aurat. Kata “ghadhdha” berarti “mengurangi”

dan “ghadhdha bashara” berarti “mengurangi pandangan” atau ‘tidak

tertegun’.(1)

Pada ayat berikutnya Al-Quran mengatakan, “Katakanlah

kepada perempuan yang beriman: “Hendaklah mereka menahan

pandangannya, dan memelihara kemaluannya,” Terhadap perempuan

Muslimah juga dikatakan hal yang sama, yaitu mereka juga

diwajibkan untuk memperhatikan dan menjaga hal itu. Jika yang

dimaksud ada lah aurat, maka mereka tidak diperbolehkan saling

melihat aurat, dan mereka harus saling menjaga ke maluan dari

perbuatan zina. Apa yang terdapat dalam ayat sebelumnya mengenai

menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, di sini juga

demikian adanya.

Berkaitan dengan perempuan, ada berbagai perintah lain

yang berhubungan dengan pakaian. Al-Quran mengatakan, “Dan

janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (bi-

biasa nampak darinya. dan hendaklah mereka menutupkan

kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya

kecuali kepada suami mereka…” Pada pertemuan yang akan

datang saya akan membahas masalah ini secara rinci.

Salam dan salam atas Muhammad dan keluarganya yang suci.

p:86


1- 21 Mengenai kata “ghadhdha” dan kata “ghamodha”, perbedaan antara keduanya saya telah membahasnya secara terperinci dalam sebuah buku saya yang berjudul Mas’alah al-Hijab (telah diterbitkan oleh Penerbit Lentera dengan judul Perempuan Hijab dalam Islam— pen.) dan di sini saya tidak akan mengulangi pembahasannya.

p:87

Bagian 5

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang

terkutuk.

«وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ یَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَیَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا یُبْدِینَ زِینَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْیَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَی جُیُوبِهِنَّ وَلَا یُبْدِینَ زِینَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِی إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِی أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَکَتْ أَیْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِینَ غَیْرِ أُولِی الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِینَ لَمْ یَظْهَرُوا عَلَی عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا یَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِیُعْلَمَ مَا یُخْفِینَ مِنْ زِینَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَی اللَّهِ جَمِیعًا أَیُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّکُمْ تُفْلِحُونَ (31)»

Katakanlah kepada perempuan yang beriman, “Hendaklah mereka

menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah

mereka manampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)

nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain

kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,

kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami

mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka,

atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera

saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan

mereka, atau perempuan-perempuan Islam, atau budak-budak yang

mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai

keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum

mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan

kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.

Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orangorang

yang beriman supaya kamu beruntung.

(QS an-Nur: 31)

p:88

Ayat ini dan ayat sebelumnya, keduanya menjelaskan tugas

dan kewajiban setiap perempuan dan laki-laki ketika

keduanya saling bertemu, dan di samping itu juga menjelaskan

masalah menutup aurat. Pada ayat pertama yang mana berhubungan

dengan laki-laki, dan telah dibacakan pada pertemuan yang

lalu, berisikan dua perintah bagi setiap laki-laki; pelarangan untuk

melepas pandangan, dan perintah yang lainnya adalah menutup

aurat, atau sesuai dengan ungkapan yang lebih tinggi dari

itu menahan diri dari berbuat zina. Menjaga kemaluan; menjaganya

dari pandangan yang berarti menutupi aurat dan di samping

itu juga berarti menjaga diri dari perbuatan zina. Jika demikian,

maka laki-laki harus menahan matanya dari melepas pandangan,

dan juga harus menjaga kemaluannya dari perbuatan zina. Ayat

yang berkenaan dengan laki-laki lebih pendek daripada ayat yang

berkenaan dengan perempuan, namun terdapat sedikit perbedaan

pada akhir ayat itu, yaitu terdapat sebuah pesan, “Ketika Kami

mengatakan bahwa kalian harus menahan mata dari berbagai pandangan,

dan menjaga kemaluan dari perbuatan zina, janganlah kalian

menduga bahwa Kami menginginkan suatu yang buruk bagi

diri kalian. Tidak, Kami hanya menginginkan agar kalian menjadi

bersih. Tuhanmu lebih Mengetahui apa yang kalian perbuat.”

Pada ayat kedua, yang khusus berhubungan de ngan perempuan,

juga terdapat perintah semacam itu, serta ungkapan yang

sama. Namun bedanya hanyalah dengan menggunakan dhamir

muannats yaitu ‘kata ganti untuk perempuan’. Al-Quran mengatakan,

“Beritahukanlah kepada perempuan-perempuan itu bahwa

mereka harus menahan pandangannya dari berbagai hal yang

tak pantas dilihat. Dan menjaga kemaluan mereka, dan tidak memandang

kemaluan orang lain, serta menjaganya dari perbuatan

zina.” Berbagai kalimat yang ada pada ayat ini sama persis dengan

kalimat perintah yang terdapat pada ayat sebelumnya, yang mana

ayat itu ditujukan untuk laki-laki.

Di sini ada dua bentuk pembahasan yang mesti saya kemukakan.

Dua permasalahan ini berhubungan de ngan para perempuan,

meskipun sebenarnya dalam hal ini tidak terdapat perbedaan antara

perempuan dan laki-laki. Dan hal ini tampaknya dianggap remeh.

p:89

Pertama, sebagian perempuan kemungkinan memiliki

dugaan bahwa hanya laki-laki saja yang tidak dibolehkan untuk

memandang perempuan—tidak dibolehkannya itu secara mutlak

atau kecuali jika tanpa syahwat, hal itu nanti akan kami paparkan.

Mereka menyangka bahwa larangan itu khusus ditujukan untuk

laki-laki saja, yakni laki-laki tidak dibolehkan memandang perempuan

dengan syahwat, sedangkan perempuan tidak ada larangan

semacam itu dalam memandang laki-laki, namun sebenarnya tidak

demikian. Tidak ada suatu perbedaan atas keduanya dalam

hal memandang. Jika tidak di bolehkan maka keduanya juga tidak

dibolehkan, dan jika dibolehkan maka keduanya juga dibolehkan.

Yak ni pada batasan di mana laki-laki tidak dibolehkan untuk

memandangnya, perempuan pun juga terikat de ngan batasan

semacam itu pula—sebagaimana laki-laki tidak diperbolehkan memandang

tubuh perempuan yang bukan muhrimnya kecuali muka

dan dua telapak tangannya, perempuan juga tidak diperbolehkan

untuk memandang tubuh laki-laki kecuali muka dan kedua telapak

tangannya. Namun umumnya perempuan menyangka bahwa

hanya laki-laki sajalah yang tidak boleh meman dang perempuan,

atau tidak boleh memandang dengan diiringi syahwat, sedangkan

perempuan jika memandang laki-laki, atau melempar pandangannya

ke sana dan ke sini maka tidak ada masalah, karena ia adalah

seorang perempuan dan yang dilihat adalah laki-laki. Tidak! Tidak

demikian. Al-Quran dalam masalah memandang atau melihat,

tidak melihat adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Alhasil sebagian perempuan mengetahui masalah ini, namun sebagian

besar dari mereka tidak mengetahuinya.

Kedua—yang pasti mereka telah banyak mengeta huinya dan

kemungkinan sedikit sekali yang tidak mengetahuinya—ialah:

mereka menduga bahwa perempuan dengan sesama perempuan

adalah muhrim, yakni ti dak ada larangan dalam memandang sekalipun

yang dipandang adalah aurat perempuan lain. Hanya lakilaki

sajalah yang dilarang untuk melihat aurat laki-laki lain, namun

perempuan tidak ada larangan untuk melihat seluruh tubuh

perempuan lain, bahkan hingga auratnya. Yang jelas, sebagaimana

yang telah saya katakan, sebagian besar dari perempuan telah men

p:90

getahui hukum-hukum ini, namun sebagian kecil saja dari mereka

yang memiliki dugaan bahwa perempuan adalah muhrim dengan

perempuan lain. Tidak demikian, dalam masalah memandang

aurat sesama perempuan, maka antara perempuan tidak menjadi

muhrim. Bahkan seorang ibu pun tidak dibenarkan untuk melihat

aurat anak perempuannya; dalam masalah memandang aurat,

seorang anak perempuan juga bukan muhrim dengan ibunya, dan

sesama saudari juga bu kan muhrim.

Berkenaan dengan kedua permasalahan itu Al-Quran mengeluarkan

perintah yang sama; perintah yang diberikan kepada lakilaki

juga diberikan kepada perempuan, dan begitu juga perintah

yang diberikan ke pada perempuan juga diberikan kepada laki-laki.

Namun terhadap perempuan diberikan berbagai perintah lainnya

yang mana itu adalah merupakan kewajiban dan tugas khusus

bagi setiap perempuan dan bukan laki-laki. Hal ini berarti bahwa

perempuan harus menutupi seluruh tubuhnya (kecuali muka dan

kedua telapak tangan—pen.) dan hal itu tidak diwajibkan atas laki-

laki; yakni tugas dan kewajiban itu hanya untuk perempuan saja

dan bukan untuk laki-laki.

Al-Quran mengatakan, “Dan janganlah mereka (perempuan-

perempuan menampakkan perhiasannya,” maksud dari perintah

ini bukan terhadap perhiasan yang tidak dikenakan di tubuh—

misalnya saja gelang—tetapi per hiasan yang menempel di tubuh

perempuan itu, karena dengan melihat memandang perhiasan

itu sama dengan memandang perempuan itu sendiri. Perempuan

tidak dibenarkan untuk menampakkan perhiasannya, baik

perhiasan tersebut dapat dilepas dari tubuh seperti, gelang, atau

cincin, ataupun perhiasan yang menempel di tubuh seperti sesuatu

yang dioleskan di tubuh seperti “daun pacar”. Perempuan tidak

boleh menampak kan perhiasannya, kecuali dalam dua hal. Di

sini ada dua pengecualian.

Pertama, pengecualian tentang perhiasan itu sendiri, yaitu

dikecualikan sebagian perhiasan yang menurut Al-Quran disebut

dengan perhiasan yang tampak.(1)

p:91


1- 22 Apakah maksud dari perhiasan yang tampak itu? Hal itu nanti akan saya jelaskan.

Kedua, pengecualian berkenaan dengan orang-orang yang

dibolehkan untuk memandangnya; yakni kelompok orang-orang

yang selain suaminya—terhadap suaminya tentu jelas bahwa

seorang perempuan dibe narkan untuk memamerkan perhiasan

yang tidak tam pak—yang mereka itu adalah ayah, anak laki-laki,

anak laki-laki dari saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara

perempuan, anak laki-laki dari suami atau anak tiri, dan beberapa

kelompok lainnya yang pengecualiannya itu nanti akan saya paparkan.

Sebelum saya menafsirkan ayat ini, saya akan menjelaskan

dua bentuk permasalahan, sehingga hal itu dapat menjadi jelas.

Masalah pertama ialah, mengapa perempuan diwajibkan untuk

menutupi tubuhnya ketika berhadapan dengan seseorang yang

bukan muhrimnya, sedangkan laki-laki tidak diwajibkan demikian?

Mengapa jilbab disebut sebagai suatu kewajiban terhadap

perempuan dan bukan terhadap laki-laki?

Akar permasalahan ini sudah tampak jelas. Perempuan bukan

laki-laki, dan masing-masing memiliki perasaan yang berbeda

dan dari sisi penciptaan serta dari sisi yang lain tidak terdapat kesamaan;

yakni, perempuanlah yang dijadikan sasaran oleh laki-laki,

baik mata, tangan dan seluruh tubuhnya; dan bukannya laki-laki

yang menjadi sasaran bagi perempuan. Pada umumnya, di dalam

dunia ini sikap jenis jantan dan betina adalah semacam itu, dan

tidak hanya terbatas pada laki-laki dan perempuan dari golongan

manusia saja. Sesuai hukum penciptaan, jenis jantan adalah “penyerang”

dan jenis betina ada lah jenis yang dijadikan sasaran jenis

jantan.

Ketika Anda menyaksikan berbagai jenis binatang, maka jenis

jantanlah yang akan menghampiri jenis betina; merpati, ayam,

kuda, keledai, burung, harimau, kambing dan lain sebagainya,

semuanya sama. Pada setiap jenis binatang yang tugasnya adalah

menyerang dan diberikan naluri untuk menyerang adalah jenis

jantan. Jenis betina, sekalipun ia menginginkan jenis jantan, namun

ia tidak akan datang mengham piri jenis jantan. Oleh karena

itu dalam kehidupan manusia, laki-lakilah yang harus datang me

p:92

minang dan meminta perempuan. Seorang laki-laki meminang

seorang perempuan adalah suatu hal yang biasa dan merupakan

fitrah manusia. Akhir-akhir ini mereka-mereka yang tidak mengetahui,

atau kita katakan, “orang-orang yang dungu,” menyerukan

keseimbangan hak antara laki-laki dan perempuan—sungguh

mereka keliru, menganggap keseimbangan adalah persamaan.

Mereka mengira bahwa sisi perbedaan antara laki-laki dan perempuan

adalah hanya pada alat kelaminnya, dan tidak ada perbedaan

lainnya—dengan menulis, “Ini benar-benar suatu kebiasaan

yang buruk! Mengapa laki-laki saja yang harus datang meminang

perempuan? Tidak, sejak saat ini kebiasaan ini mesti perempuan

saja yang datang untuk meminang laki-laki!”

Pertama, hal itu sama dengan menentang hukum penciptaan.

Jika kalian mampu merubah hukum-hukum penciptaan—yang

ada pada dua jenis kelamin—yang terdapat pada berbagai makhluk

hidup, maka kalian dapat merubah kebiasaan itu.

Kedua, hal itu merupakan suatu faktor penyebab guna meninggikan

derajat jenis perempuan; yaitu jenis laki-laki diciptakan

sebagai peminta, dan mengharap kerelaan perempuan, dan oleh

sebab itulah maka jenis jantan senantiasa melayani jenis betina.

Sebagian besar binatang—dan juga manusia—kebutuhan hidup

si betina ada dalam tanggung jawab si jantan (pada binatang sedikitnya

ketika pada masa si betina melahirkan, atau pada masa si

betina mengerami telurnya). Perasaan dan sifat-sifat jenis jantan

diciptakan sedemikian rupa sehingga ketika jenis betina bersedia

menjadi pasangannya, maka secara langsung ia akan melayani

keperluan jenis betina itu. Dan hal itu dapat terjadi berkat adanya

suatu kebijakan yang sangat agung di dalam semesta alam ini.

Berkenaan dengan “mahar” juga semacam itu. Ketika seorang

laki-laki memberikan sesuatu kepada perempuan sebagai shadaq

atau “mahar”, ialah berdasarkan pada hukum dan ketentuan

itu; yakni perempuan berada dalam satu posisi di mana ia akan

mengatakan, “Kamu (laki-laki)lah yang menginginkan diriku,

dan bukannya aku.” Dan jenis laki-laki mesti menampakkan rasa

keinginannya itu dengan memberikan sesuatu, agar perempuan

p:93

memberikan jawaban, “Ya”. Seorang laki-laki mesti memberikan

hadiah kepadanya. Al-Quran menyebut shadaq dengan nihlah,

yaitu sebuah pemberian sebagai perkenalan. Salah jika ada yang

beranggapan bahwa “mahar” adalah tsaman atau “harga”, yaitu

uang yang digunakan untuk membeli. Tidak! Al-Quran mengatakan

bahwa itu adalah nihlah “hadiah”. Sebagaimana halnya

jika Anda hendak meminta kerelaan seseorang agar memenuhi

keperluan Anda, maka Anda akan memberikan hadiah kepadanya

dan bukan dia yang memberikan hadiah untuk Anda. Al-Quran

juga mengungkapkan ‘hadiah’ itu dengan shadaq.

Shadaq adalah sebagai pertanda cinta yang benar-benar murni,

jujur, dan bukan bohong, bukan hanya untuk melampiaskan

nafsu, namun sebagai pasangan hidup, bukan penipuan, dan juga

berdasarkan pada hakikat.

Pada dasarnya, sisi penciptaan antara laki-laki dan perempuan

adalah memang berbeda, dan disebabkan perbedaan itulah

maka perempuan yang berhias demi menarik laki-laki. Laki-laki

sama sekali tidak dapat menarik perhatian perempuan melalui

cara merias diri. Perempuan dan perhiasan, perempuan dan riasan,

adalah dua wujud yang kembar dan identik. Perempuan adalah

sebuah sosok yang lemah lembut. Pada setiap jenis—sekalipun

selain manusia—jenis betina senantiasa lebih lemah lembut, dan

merupakan lambang dari keindahan, kecantikan, dan perhiasan.

Jika tidak ingin terjadi kekacauan maka harus dikatakan kepada

lambang kecantikan itu, “Kau jangan menampakkan dirimu,” bukan

harus bersikap kasar dan keras, dan tidak menarik sama sekali,

namun terhadap berbagai hal yang menarik pandangan mesti dikatakan,

“Janganlah kau memberikan sarana bagi perbuatan dosa

dan maksiat.”

Pada masa sekarang ini, mereka menciptakan suatu kebiasaan

yang lain, yang jelas saya meyakini bahwa hal itu tidak akan bertahan

lama, dan pada akhirnya akan menghadapi berbagai benturan,

serta akan kembali pada hukum-hukum penciptaan. Perempuan

senantiasa berusaha untuk menarik perhatian laki-laki, dan juga

sebaliknya laki-laki senantiasa berusaha untuk menarik perhatian

p:94

perempuan, semua itu mereka lakukan berdasarkan pada nafsu

kekanak-kanakannya, dan tentunya tidak akan bertahan lama, serta

hal itu justru lebih banyak kita jumpai pada diri para laki-laki.

Ini bukan suatu kejadian yang ada khusus pada zaman

kita saja, dan saya yakin hal itu cepat berlalu. Laki-laki merasa

senang dan bangga jika mengenakan pakaian mirip perempuan,

meniru gaya perempuan, berias semacam perempuan, sehingga

jika seorang melihatnya tidak akan segera dapat mengetahui

ia itu laki-laki atau perempuan. Dan menurut ungkapan sebagian

orang, “Seseorang mesti mengadakan kajian yang cukup

dalam untuk mengetahui apakah ia seorang laki-laki ataukah

seorang perempuan.” Semua itu adalah sebuah kebiasaan yang

menyalahi hukum-hukum penciptaan dan dasar-dasar fitrah.

Manusia memiliki berbagai macam sifat dungu dan kekanak-kanakan

yang kesemuanya itu tidak akan bertahan lama.

Jika demikian masalah yang lain ialah jika aturan tersebut,

yakni laki-laki dan perempuan satu sama lain tidak lagi mengadakan

hubungan yang disebut dengan “kebebasan mutlak”, yakni

mereka tidak mengadakan hubungan sama sekali, lalu kemudian

mengapa perempuan masih diwajibkan untuk menutupi tubuhnya,

sedangkan laki-laki tidak diwajibkan? Rahasianya ialah sebagaimana

yang telah saya paparkan.

Masalah yang lain ialah, apakah asas dari semua permasalahan

itu? Apakah ada suatu tuntutan dan keharusan? Mengapa

mesti ada permasalahan muhrim dan bukan muhrim? Mengapa

perempuan harus menutupi tubuhnya ketika berhadapan dengan

orang yang bukan muhrimnya? Apa rahasia dari semua ini dan apa

manfaatnya?

Manfaat utamanya adalah pada sisi kejiwaan, yakni memberikan

ketenangan jiwa. Pada setiap masyarakat yang hubungan

antara perempuan dan laki-laki berdasarkan pada ‘afaf (menjaga

kesucian diri)—’afaf menurut batasan Islam sebagaimana yang

telah saya paparkan; yakni perempuan di luar garis pernikahan tidak

merias dan memamerkan dirinya, serta tidak menyediakan sarana

bagi bangkitnya nafsu birahi laki-laki, dan laki-laki pun tidak

p:95

dibenarkan di luar garis pernikahan memuaskan nafsu birahinya

dengan perantaraan mata, tangan, baik dengan atau tanpa sentuhan—

maka hati dan jiwa masyarakat itu akan menjadi tenang dan

sehat. Namun jika sebaliknya maka dampak negatif yang pertama

kali akan muncul dalam tubuh masyarakat adalah kegoncangan

jiwa.

Sebagian orang-orang Barat mengatakan, “Tidak, jika perempuan

dan laki-laki saling berjauhan akan menimbulkan goncangan

dan tekanan jiwa.” Namun dari riset yang dilakukan pada satu abad

yang lalu atau kurang dari satu abad, membuktikan bahwa kenyataannya

adalah kebalikan dari yang orang-orang Barat katakan.

Semakin besar kebebasan dalam hal seksual, semakin besar pula

kecenderungan seksual yang ada pada setiap individu. Karena kecenderungan

seksual yang ada pada manusia—adalah sama persis

seperti kecende rungan lainnya yang terdapat pada diri manusia

se perti: cenderung pada kedudukan, cenderung pada ilmu pengetahuan,

cenderung pada peribadatan—bukan hanya memiliki

kapasitas jasmani saja, namun juga memiliki kapasitas rohani.

Kecenderungan yang sifatnya hanya jasmani saja adalah seperti:

makan; makan memiliki batasan tertentu. Seorang hanya

mampu memakan makanan dalam jumlah yang terbatas dan tidak

akan mampu melebihi kapasitas yang ada, dan jika ditanyakan

kepadanya,”Apakah kau mau lagi?” baginya hal itu akan berupa

semacam hukuman. Bagaimanakah dengan kepemilikan? Apakah

kepemilikan juga seperti makan? Apakah kapasitas kepemilikan

yang ada pada seseorang seperti kapasitas makan, yakni terbatas?

Jika sese orang memiliki uang sebanyak seratus ribu kemudian jiwanya

merasa puas dari kepemilikan itu? Tidak, ketika seseorang

memiliki seratus ribu rupiah maka ia akan menginginkan dua ratus

ribu rupiah. Ketika ia memiliki dua ratus ribu rupiah maka jiwanya

akan semakin haus dan menginginkan lima ratus ribu rupiah. Ketika

ia telah menjadi milyuner jiwanya ingin menjadi milyarder. Dan

ketika ia telah menjadi orang yang terkaya di dunia, ia akan menjadi

lebih haus terhadap harta melebihi orang-orang yang ada dunia.

p:96

p:97

p:98

Bagaimanakah dengan kecenderungan terhadap kedudukan?

Itu juga semacam ini. Seorang manusia ketika ia tidak memiliki

sesuatu kedudukan pun, maka dalam hatinya akan terlintas ingin

menjadi pemimpin sebuah departemen. Lalu apakah ketika ia

telah menjadi pemimpin sebuah departemen kapasitasnya telah

terpenuhi, dan kemudian ia mengatakan, “Ini sudah cukup?” Tidak,

ia menginginkan yang lebih tinggi lagi, ia menginginkan untuk

menjadi seorang Bupati sebuah daerah yang kecil. Setelah itu

dapat diraihnya, ia akan menginginkan yang lebih tinggi dari itu.

Jika seluruh isi dunia ini diberikan pada satu orang, dan dikatakan

kepadanya, “Sekarang kau adalah pemimpin seluruh yang ada

di muka bumi ini,” pasti akan muncul keinginan dalam jiwanya,

“Dapatkah saya menggabungkan planet-planet yang lain, sehingga

saya jugalah yang akan menjadi penguasa planet-planet itu?” Kecenderungan

seksual manusia pun semacam itu juga.(1)

p:99


1- 23 Kami sungguh sangat menyesal, karena lanjutan pita rekaman penjelasan Ustaz Muthahhari tidak ada di tangan kami—peny.

Bagian 6

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang

terkutuk.

«اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ کَمِشْکَاةٍ فِیهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِی زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ کَأَنَّهَا کَوْکَبٌ دُرِّیٌّ یُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَکَةٍ زَیْتُونَةٍ لَا شَرْقِیَّةٍ وَلَا غَرْبِیَّةٍ یَکَادُ زَیْتُهَا یُضِیءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَی نُورٍ یَهْدِی اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ یَشَاءُ وَیَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِکُلِّ شَیْءٍ عَلِیمٌ (35)»

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan

cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak

tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam

kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)

seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang

berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah

timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya

(saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh

api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing

kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat

perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha

mengetahui segala sesuatu. (QS an-Nur: 35)

p:100

Disebabkan ayat inilah maka surah yang penuh berkah ini

diberi nama ‘surah an-Nur’. Karena dalam surah ini terdapat

ayat Nur maka surah ini dinamakan surah an-Nur. Ayat yang

mulia ini dari sisi penafsirannya, merupakan salah satu ayat Al-

Quran yang sulit bentuk penafsirannya. Selain itu, Al-Quran pada

akhir ayat ini menyebutkan sebuah kalimat yang menunjukkan

bahwa ayat ini adalah sangat perlu direnungkan dan diperhatikan.

Setiap orang dapat memahami isi kandungan dari ayat ini sesuai

dengan kemampuan berpikirnya.

Karena pada akhir ayat setelah menyebutkan perumpamaan

lalu Allah berfirman "dan Allah membuat perumpamaan pe-

rumpamaan bagi manusia”, dan Allah membuat berbagai misal

dan perumpamaan bagi umat manusia. Sedangkan dalam ayat

yang lain Allah berfirman "Dan perumpamaan-perumpamaan ini

Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali

orang-orang yang berilmu.”(QS al-Ankabut:43). Hal itu menunjukkan

bahwa perumpamaan-perumpamaan yang ada dalam Al-

Quran memiliki arti yang cukup dalam, dan tidak ada seorang pun

yang dapat menyatakan, “Aku telah sampai pada akhir kedalaman

itu.” Sekarang ini dengan menggunakan bantuan penafsiran para

ulama yang agung dan berbagai penafsiran yang ada dalam hadis,

saya akan memaparkan serangkaian pembahasan berkenaan dengan

ayat ini. Bentuk ayatnya adalah, “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”

Allah adalah cahaya bagi langit dan bumi.

Kata langit dan bumi yang tercantum dalam ayat ini tidak berarti

hanya sebagian dari ciptaan atau makhluk yang ada di alam

ini, akan tetapi maksudnya ialah seluruh bentuk ciptaan yang ada

di alam ini; seluruh makhluk yang di atas, di bawah, yang tampak

dan tersembunyi. Arti dari ayat ini ialah, Allah adalah cahaya bagi

semesta alam. Jika demikian maka pada awal ayat ini Allah swt

disebut dengan “cahaya”.

Yang pertama kali dipahami oleh manusia tentang “cahaya”

ialah cahaya yang dapat dilihat dengan indera, yang mana sampai

sekarang ini para ahli fisika masih belum dapat menyingkap hakikat-

cahaya tersebut secara seratus persen. Dapat diketahui bahwa

p:101

dalam dunia ini terdapat satu unsur yang disebut dengan “cahaya”,

sekalipun dari sisi ilmiah hal itu sulit untuk diketahui dengan jelas.

Ada sebagian benda yang bercahaya, mengeluarkan cahaya

seperti matahari, bintang-bintang, lampu dan pelita yang kita

miliki. Di mana jika semua itu tidak ada, maka dunia ini menjadi

gelap gulita sehingga menurut istilah “mata sendiri tak dapat

melihat mata”, namun keberadaan cahaya ini membuat angkasa

menjadi terang. Cahaya itu dinamakan cahaya materi dan dapat

diketahui dengan perantaraan indera.

Jelas maksud dari “Allah adalah cahaya bagi langit dan bumi”

bukan berarti cahaya itu ‘mated ‘. Cahaya itu sendiri merupakan

salah satu dari makhluk atau ciptaan Allah. Pada awal surah al-

An’am kita membaca, “segala puji bagi Allah yang telah mencip-

takan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang, namun

orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan

mereka.” (QS al-An’am:!) “Segala puji bagi Tuhan Yang menciptakan

langit dan bumi dan menjadikan cahaya dan kegelapan ...”

Allah-lah yang men ciptakan cahaya itu, Dia bukanlah cahaya itu.

Itu merupakan satu hal yang tidak dibahas lagi oleh Al-Quran.

Karena bukan saja cahaya itu adalah makhluk Allah, tetapi bahkan

Al-Quran senantiasa mengadakan pembahasan mengenai sumber

dari cahaya itu sendiri, yaitu matahari dan bintang-bintang, serta

menyatakan bahwa semua itu adalah makhluk dan ciptaan Tuhan

Yang Maha Suci. Jika ada seseorang yang beranggapan bahwa Allah

adalah demikian (berbentuk cahaya), maka anggapan semacam

itu menurut istilah disebut “pikiran perempuan tua” (pikiran

perempuan pikun) dan—mereka mengira bahwa Allah adalah

sekumpulan cahaya yang ada di atas Arsy, dan cahaya itu sendiri

adalah sema cam cahaya petir, matahari dan sebagainya—jika dia

benar-benar memiliki keyakinan semacam itu, berarti ada kerusakan

dalam keyakinan dan keimanannya. Cahaya itu adalah cahaya

yang dapat dilihat oleh mata, sedangkan Al-Quran berkenaan

dengan Allah mengatakan, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan

mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah

Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS al-An’am:103)

Allah tidak dapat dilihat oleh mata. Jika ada seseorang yang—al

p:102

’iyyadzubillah—menganggap bahwa Dzat Allah adalah cahaya itu,

jelas terdapat kerusakan pada keyakinannya terhadap tauhid (ke-

Esaan Allah), karena ia termasuk golongan mujassim, yaitu menganggap

Allah ber-jisim (materi) dan dapat dipandang serta dilihat.(1)

Kata “nur” maksudnya tidak terbatas hanya pada cahaya

materi saja. Kata “nur” diletakkan untuk sesuatu yang terang

dan menerangi, yakni ‘wujud’ (ada) dan ‘mewujudkan’ (mengadakan).

Kita menyebut cahaya yang materi dengan nur karena

menurut pandangan mata kita, ia ‘wujud’ dan ‘mewujudkan’. Segala

se suatu yang wujud dan dapat mewujudkan maka dapat kita

katakan—dan kita telah mengatakannya—itu adalah nur, sekalipun

itu bukan berbentuk materi. Misalnya saja kita mengatakan

bahwa “ilmu adalah nur” dan itu tercantum dalam sebuah hadis

Rasul Saw, “Ilmu adalah cahaya yang diletakkan oleh Allah pada

hati siapa yang Dia inginkan.”(2) Sungguh itu adalah ucapan yang

benar, sesungguhnya ilmu adalah cahaya, karena ilmu itu terang

dan menerangi. Ilmu itu sendiri terang dan menerangkan pada

manusia mengenai wujud semesta alam ini. Namun jelas “ilmu”

bukan tergolong cahaya semacam cahaya petir, matahari, bintang

dan sebagainya. “Ilmu” adalah sesuatu yang non meteri, dan kita

menyebutnya dengan nur.

Akal pun kita sebut dengan nur. Akal itu sendiri merupakan

sebuah cahaya. Al-Quran yang mulia me nyebut “iman” dengan

“nur”. “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami

hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang

dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat

ma nusia, serupa dengan orang-orang yang keadaannya berada

dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya.”

(QS al-An’am:122). Cahaya itu adalah cahaya keimanan dan

terangnya hati. Tetapi iman bukan semacam cahaya lilin, lampu

listrik, matahari, dan yang semacam itu. Iman merupakan suatu

p:103


1- 24 Dinisbatkan pada kelompok “Manuwiyah” karena orang-orang Manuwi berkeyakinan bahwa Tuhan adalah cahaya—seperti cahaya yang ada—dan mereka menyebutnya dengan “nur a’dham” yaitu “ca haya yang teragung”. Alhasil siapa saja yang memiliki keyakinan se macam ini, keyakinannya adalah salah, dan sangat menyimpang.
2- 25 Bihar al-Anwar. vol:l hal:225

hakikat yang non materi, yang ciri-ciri khususnya adalah menerangi.

Karena memberikan suatu pengetahuan pada batin manusia.

Karena memberi tujuan hidup pada manusia, dan manusia itu

ditarik ke arah tujuan yang menyebabkan kebahagiaan. Kita menyebut

“iman” dengan “nur”.

Para irfan (‘urafa’) menyebut ‘isyq (cinta) dengan nur. Maulawi

mengatakan:

“Cinta adalah berkuasa dan aku dikuasai cinta

Bak bulan aku menjadi terang berkat cahaya cinta”

Ketika kita telah mengartikan cahaya dengan arti semacam

itu, yaitu sesuatu yang wujud dan mewujudkan, sesuatu yang terang

dan menerangi, kita tidak perlu lagi membahas lebih dalam mengenai

wujud menurut mata atau wujud menurut hati, akal, jiwa.

Kita tidak ada urusan dari sisi itu, yakni dari sisi bagaimanakah

semua itu wujud dan mewujudkan. Kita telah mengartikan dengan

benar bahwasanya Allah adalah juga “Nur”. “Allah adalah Cahaya”

yakni suatu wujud yang pada Dzat-Nya terang dan menerangi.

Dengan demikian tidak ada sesuatu cahaya pun yang ada

selain cahaya Allah; yakni selain cahaya Allah semuanya adalah

kegelapan, karena sesuatu yang dalam dzatnya terang dan menerangi,

hanyalah Allah. Segala sesuatu yang lain, sekalipun ‘wujud’

dan ‘mewu judkan’, ‘terang’ dan ‘menerangi’, pada hakikatnya

semua itu adalah gelap, karena hanya Allah-lah yang ‘wujud’ dan

‘mewujudkan’, ‘terang’ dan ‘menerangi’ semua itu. Pada salah satu

ayat Al-Quran kita membaca, Dialah yang Awal dan Akhir,

Yang Dzahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala

sesuatu.” (QS al-Hadid:3)

Allah adalah dzahir, yakni wujud (ada). Allah adalah pencipta

segala sesuatu yakni mewujudkan dan menciptakan segala sesuatu.

Oleh karena itu kita melihat bahwa kata “nur” yang tercantum

dalam berbagai doa, merupakan salah satu nama dari namanama

Allah. Cahaya adalah salah satu dari nama Allah. Pada awal

p:104

doa Kumail terdapat dua kalimat yang memperkuat pembahasan

ini. Diungkapkan pada Allah Yang Maha Tinggi, “ya nuru ya quddusu”,

“wahai Cahaya yang benar-benar suci dan bersih dan jauh dari

berbagai ketidaksempurnaan”. Mungkin sebab dari dicantumkannya

kata “ya quddusu” setelah kata “ya nuru” adalah agar seseorang

tidak memiliki prasangka bahwa Allah adalah cahaya sebagaimana

yang dibayangkan oleh orang-orang pengikut aliran Manuwiyah,

di mana mereka menyakini bahwa Allah adalah cahaya yang materi.

Allah suci, bersih dan jauh dari berbagai penisbatan itu. Allah

adalah cahaya namun bukan seperti cahaya yang ada ini. Dan

kalimat sebelum itu merupakan satu kalimat yang sangat luar biasa:

“Wa binuri wajhikal ladzi adhoa lahu kullu syai’” (Dan dengan

cahaya wajah-Mu yang menerangi segala sesuatu) aku bersumpah

atas nama-Mu dengan cahaya wajah-Mu lah segala sesuatu menjadi

terang, berkat sinar wajah-Mulah segalanya menjadi terang.

Sebegitu indah, tinggi, ungkapan itu sehingga saya tidak

dapat menemukan tandingannya. Sebuah ung kapan yang sangat

luar biasa: “Wa binuri wajhikal ladzi adhoa lahu kullu syai’” (Dan

dengan cahaya wajah-Mu yang menerangi segala sesuatu).

Para irfan dan para penyair mereka menyebut “mahbub”

(kekasih) dengan “syahid” (yang menyaksikan) dan ini bukan hanya

terbatas pada bahasa Persia saja, tetapi bahkan bahasa Arab pun

juga demikian). Syahid ialah yang menyaksikan dan hadir pada

acara ritual. Mereka mengungkapkan demikian, “Wahai kekasih

ketika Kau datang cahaya wajah-Mu menerangi acara kami, jika

bukan karena wajah-Mu maka acara kami menjadi gelap gulita.”

Hafiz berkata:

“Berbagai perbedaan yang ada pada gambar dan wajah

Adalah jelmaan wajah Penuang yang terbayang di gelas”

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as juga ber kata, “Dan

dengan cahaya wajah-Mu yang menerangi segala sesuatu. Aku

bersumpah demi cahaya wajah-Mu yang menerangi segala sesuatu.

Jika bukan karena ca haya wajah-Mu dan cahaya dzat-Mu

p:105

maka semuanya akan menjadi gelap (yakni segala sesuatu menjadi

terang karena-Mu).” Semuanya menjadi gelap, maksudnya ialah

tidak akan ada sesuatu, atau segala sesuatu tidak akan terwujud.

Dan bukan berarti semacam benda yang ada dalam kegelapan, sebagaimana

kita berada dalam kegelapan malam. Jika dzat-Mu tidak

ada, maka segala sesuatu berada dalam kegelapan “ketiadaan”.

Semua yang di alam karena cahaya-Mu menjadi ada

Adakah di alam ini yang bukan karena-Mu menjadi ada

Terdapat sebuah kisah dalam buku Tauhid ash-Shaduq. Pada

suatu malam, seorang non Muslim datang menemui Amirul

Mukminin Ali bin Abi Thalib as dan mengatakan, “Wahai Ali di

manakah Tuhan?” Ali as menjawab, “Ambillah kayu bakar!” ia pun

datang de ngan membawa kayu bakar tersebut. Beliau berkata,

“Nyalakanlah!” Ketika telah dinyalakan, maka segalanya menjadi

terang. Kemudian beliau berkata, “Di manakah cahaya ini?” Ia

menjawab, “Di semua tempat.” Beliau berkata, “Ini (cahaya) adalah

salah satu dari berbagai ciptaan Tuhan, dan kau tidak dapat mengatakan

di mana letaknya, kau mengatakan bahwa sampai sejauh

mana ia menerangi ia ada di situ. Tuhan juga ada di mana-mana.

Di mana saja yang Ia terangi, Dia ada di situ, segalanya menjadi

ada karena Dia yang meneranginya. Dan suatu tempat menjadi ada

adalah karena Dia yang menerangi tempat itu, dan tanpa itu tidak

ada sesuatu apa pun.” “Dan dengan cahaya wajah-Mu yang menerangi

segala sesuatu.”

Jika demikian di antara pembahasan ini, yang dapat kita ambil

ialah, bolehkah kita menyebut Allah dengan Nur? Ya, kita dapat

menyebut-Nya demikian. Dengan berdasarkan pada penisbatan

yang telah diberikan oleh para pemuka agama, dan arti lahiriah

Al-Quran pun semacam itu pula. Berdasarkan sudut pandang logika

(mantiq) tidak ada halangan atas penisbatan itu. Namun yang

mesti kita perhatikan ialah jika kita mengatakan bahwa Allah itu

adalah cahaya, bukan berarti bahwa—al-’iyyadzubillah—dari jenis

cahaya yang dapat dijangkau oleh indera, karena itu (cahaya yang

p:106

dapat dijangkau oleh indera) adalah salah satu ciptaan Allah. Namun

cahaya di situ adalah berarti Dzat Ilahi adalah yang wujud

dan mewujudkan. Wujud yang paling wujud, terang yang paling

terang. Segala sesuatu yang wujud adalah karena wujud-Nya. Yang

dimaksud Allah itu cahaya, adalah dengan arti yang demikian itu.

Keberadaan Allah adalah kerena dzat-Nya sendiri, dan tidak ada

sesuatu pun yang mengadakan-Nya. Sesuatu itulah yang menjadi

ada disebabkan cahaya-Nya, disebabkan keberadaan-Nya dan terwujud

dari cahaya-Nya. Dengan demikian Allah adalah cahaya,

dan kita boleh menyebut Allah dengan “Nur”.

Selain itu ada pula ciri-ciri khusus lainnya yang berkenaan

dengan cahaya. Dan itu adalah hidayah, petunjuk yang mana itu

merupakan hasil dari cahaya. Ada suatu masalah yang lain yang

nantinya akan saya paparkan.

Di sini ada satu poin yang perlu saya kemukakan, yaitu kita

mengatakan bahwa Allah itu adalah cahaya namun sama sekali

kita tidak menyebut-Nya dengan “cahaya yang teragung” sehingga

kemudian berarti kita memiliki dua jenis cahaya; cahaya yang

terkecil dan cahaya yang terbesar, dan pada akhirnya kita meyakini

bahwa Allah adalah cahaya yang terbesar. Tidak, ketika kita

mengatakan bahwa Allah adalah cahaya, maksudnya ialah segala

sesuatu (selain Dia) adalah kegelapan. Benar, kita dapat untuk

membanding-bandingkan segala sesuatu selain Allah, misalnya

saja: ini adalah cahaya dan ini bukan cahaya. Atau bisa saja kita

mengatakan bahwa ilmu adalah cahaya, iman adalah cahaya,

kekuatan pandangan mata adalah cahaya, kemampuan berpikir

adalah cahaya. Allah adalah “Nurun nur” (Cahayanya cahaya).(1) Allah

bukanlah “cahaya yang teragung” (cahaya terbesar) tetapi Cahaya

dari seluruh cahaya yang ada; yakni segala cahaya jika dibandingkan

dengan Allah adalah merupakan kegelapan, dan Allah-lah

yang memberikan cahaya pada cahaya-cahaya yang ada itu. Jika

kita telusuri maka setiap wujud pasti memiliki cahaya sesuai dengan

kapasitasnya masing-masing, iman adalah cahaya, ilmu adalah

caha ya, dan seterusnya.

p:107


1- 26 Sebuah doa yang ada dalam kitab Mafatih al-Jinan dengan nama “Doa an-Nur”, disebutkan bahwa doa ini sangat mujarab untuk menurunkan sakit panas: “Wahai Cahayanya cahaya, Wahai yang mengatur segala urusan ....”

Telah saya kemukakan bahwa Al-Quran sendiri menisbatkan

kata “cahaya” pada berbagai hal, di antaranya Al-Quran adalah cahaya

Allah; yakni satu cahaya dari ciptaan Allah. “Dengan kitab itu-

lah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan

keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengelu-

arkan orang-orang itu dari gelap-gulita kepada cahaya yang terang

benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang

lurus.” (QS al-Maidah:16) Al-Quran adalah cahaya, dan menunjukkan

mereka ke arah cahaya yang merupakan petunjuk Ilahi. Jika

demikian ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah cahaya.

Jika mereka-mereka yang kemampuan berpikirnya sedikit

rendah menanyakan; Apakah arti dari “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi?”

Mereka mengira cahaya itu adalah cahaya

yang dapat dideteksi dengan indera. Namun kepada mereka yang

memiliki daya berpikir yang tinggi, maka kami akan mengatakan

kepadanya bahwa Allah bukan semata pemberi cahaya, namun bahkan

diri-Nya sendiri adalah meru pakan cahaya, dan Cahaya (nur)

merupakan satu di antara nama-nama Allah. Dan yang dimaksud

dengan cahaya itu ialah bukan cahaya yang dapat dideteksi dengan

indera. Ini adalah pembahasan kalimat pertama dari ayat itu.

Kalimat kedua, merupakan sebuah perumpamaan atas cahaya

Allah. Pertama-tama Al-Quran mengatakan, “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”

Allah itu sendiri adalah cahaya bagi berbagai langit dan bumi, namun Allah juga menurunkan

suatu cahaya untuk membimbing berbagai makhluk-Nya.

Di sini disebutkan satu perumpamaan mengenai cahaya Allah,

yang mana cahaya itu merupakan sebuah perantara dalam

memberi petunjuk kepada manusia. Tentunya banyak sekali pembahasan

berkenaan dengan perumpamaan ini. Kemudian terdapat

sebuah perumpamaan dengan menyebutkan salah satu alat penerangan

kuno. Allah membuat perumpamaan dengan rumah atau

rumah-rumah yang tinggi dan besar atau tempat-tempat ibadah

yang pada dindingnya terdapat lubang-lubang, yang di dalamnya

terdapat pelita (misykat). “Misykat” artinya ialah lubang tempat

meletakkan pelita. Maksud dari tempat pelita itu ialah sebuah

p:108

tempat yang ada di dinding, yang kegunaannya adalah untuk meletakkan

pelita. Al-Quran membuat sebuah perumpamaan bahwa

pelita itu berada dalam suatu benda yang bening dan jernih. Pelita

itu berada dalam sebuah tabung dari kaca. Kita mengetahui ketika

sebuah pelita ada dalam sebuah tabung kaca, disebabkan pantulan

sinarnya atau karena pembakarannya menjadi sempurna—apapun

sebabnya—akan mengeluarkan cahaya yang lebih terang.

Pelita ini ada di dalam kaca dan diletakkan pada sebuah lubang

yang ada di dinding sebuah ruangan, dan bahan bakar pelita

ini adalah minyak yang paling bagus, yaitu minyak zaitun. Dan

juga minyak itu terbuat dari jenis zaitun yang terbaik, yang minyaknya

saja seakan-akan dapat mengeluarkan sinar dan cahaya,

sekalipun belum tersentuh api.

Pada masa dahulu alat penerangan yang paling baik dalam

mengeluarkan sinar dan cahaya adalah alat penerangan tersebut.

Allah membuat perumpamaan bagi cahaya-Nya dengan perumpamaan

sebuah pelita yang ada pada tempat semacam itu, dan

dengan menggunakan minyak, serta berada di sebuah rumah seperti

itu. Kemudian Al-Quran mengatakan bahwa, “Kami membuat

berbagai perumpamaan dan manusialah yang mesti memikirkan

dan merenungkan semua itu.” Berulang kali saya katakan bahwa

suatu kebiasaan Al-Quran adalah mengajak manusia untuk berpikir.

Akan tetapi tidak hanya mengatakan, “pikirkanlah!” Al-

Quran terkadang mengatakan, “pikirkanlah,” dan terkadang suatu

permasalahan itu diolah sedemikian rupa sehingga membangkitkan

daya pikir seseorang sehingga kemudian orang itu akan

memikirkan permasalahan tersebut dan pada akhirnya ia dapat

memahami permasalahan itu dengan cukup dalam—bukannya ingin

menyamakan—sebagaimana halnya jika Anda menginginkan

agar otak anak-anak Anda menjadi cerdas, maka Anda akan membuat

berbagai permasalahan dalam bentuk teka-teki, sehingga

kemudian otak mereka akan bekerja keras untuk menemukan

jawabannya, dan akan semakin banyak berfikir dan merenung

Dengan perumpamaan itu, sebagaimana yang diinginkan

oleh Al-Quran, sebenarnya sudah mencapai tujuan. Yakni bukan

p:109

saja memaksa para mufasir untuk mengadakan berbagai kajian

atas perumpamaan-perumpamaan itu, mereka yang bukan mufasir

pun juga turut tenggelam dalam memikirkan mengenai apa

yang dimaksud oleh Al-Quran dengan pelita, kaca, tempat pelita,

minyak yang penuh berkah itu, dan minyak yang akan menyala

dengan sendirinya serta mengeluarkan cahaya, sekalipun belum

disentuh api? Misalnya saja Ibnu Sina, dia bukan seorang mufasir,

dan tidak membidangi penafsiran. Ia memikirkan ayat itu,

lalu terlintas dalam benaknya suatu pemahaman yang kemudian

pemahaman tersebut ia ungkapkan. Baik al-Ghazali maupun Ibnu

Sina keduanya meyakini bahwa perumpamaan itu adalah untuk

mengumpamakan seorang manusia. Berkenaan dengan cahaya

itu, Al-Quran mengatakan bahwa cahaya Allah adalah semacam

lubang tempat pelita yang di dalamnya terdapat sebuah pelita dan

pelita itu adalah di dalam kaca, ... dan seterusnya, itu merupakan

sebuah perumpamaan seorang manusia. Jelas terdapat beberapa

perbedaan antara penjelasan Ibnu Sina dan al-Ghazali.

diantara lingkup pembahasan ilmu filsafat adalah mengenal manusia

dan mengenal jiwa manusia. dan para filosof dalam

berbagai permasalahan yang berhubungan dengan faktor kejiwaan

lebih banyak bersandar pada kekuatan akal dan daya pikir,

dan mereka berkeyakinan bahwa esensi manusia adalah kekuatan

akalnya itu sendiri, serta kesempurnaan manusia adalah kesempurnaan

kekuatan akal itu juga, dan kebahagiaan manusia adalah

terletak pada kesempurnaan kekuatan akalnya itu dan semua itu

kembali kepada esensi manusia, yaitu kekuatan akal manusia. Baik

itu berupa akal konseptual (al-aqlu an-nadhan) atau berupa akal

praktikal (al-aqlu al-’amali).

Kemudian mereka menerapkan berbagai perumpamaan yang

ada itu dengan berbagai istilah yang me reka miliki, sehubungan

dengan berbagai peringkat kekuatan akal. Misalnya saja kata misykat

(lubang tempat meletakkan pelita) menurut pendapat mereka

adalah al-’aql al-hayulani artinya ialah, akal masih dalam kondisi

potensi saja (memiliki potensi untuk menjadi berakal). Dan

maksud dari az-zujajah (kaca) dan ber bagai hal yang menambah

kuatnya cahaya adalah al-‘aqlu bil malakah (memiliki akal) dan

p:110

maksud al-misbah (pelita) adalah al-Aqlu bilfi'il (telah memiliki

akal yang dapat berfungsi) dan maksud dari pohon syajarah adalah

pohon pemikiran, ... dan seterusnya.

Dalam hal ini saya tidak ada urusan berkenaan sampai sejauh

mana kebenaran pendapat mereka. Pendapat itu benar atau

salah, kurang begitu mengena. Abu Ali Sina (Ibnu Sina) tidak

mengatakan bahwa saya menafsirkannya demikian, namun pada

pendapatnya mengenai berbagai peringkat akal ia menerapkan

ungkapan Al-Quran pada pendapatnya itu dan tidak mengatakan

bahwa saya hendak menafsirkan Al-Quran semacam ini. Namun

al-Ghazali, ia memberikan penjelasan yang sebegitu rupa, dia hendak

menafsirkan ayat Al-Quran itu.

Sebagian lainnya mengatakan bahwa ketika Allah membuat

perumpamaan dengan misykat (tempat meletakkan pelita), almisbah

(pelita), az-zujajah (kaca) kesemuanya tidak memiliki arti

yang lain kecuali “sebuah cahaya yang sangat terang”. Jika pada

malam hari di ruangan masjid kita ini, terdapat sebuah pelita

yang paling terang,(1) maka bagaimanakah keadaannya? Tentu tidak

ada keraguan, tidak samar-samar, serta tidak ada kebingungan

(semuanya menjadi jelas dan terang—pen.). Ada yang mengatakan

bahwa maksud dari ayat tersebut ialah cahaya Ilahi, petunjuk Ilahi,

se begitu jelas dan terangnya cahaya itu, laksana sebuah pelita di

kegelapan malam dan terletak di sebuah ru angan yang tertutup.

Pada berbagai riwayat kita, ayat ini ditafsirkan dalam dua

bentuk. Hal itu menunjukkan bahwa ayat ini dapat diterapkan

ke dalam berbagai sisi penafsiran. Pada sebagian riwayat perumpamaan

itu adalah se buah perumpamaan terhadap diri manusia,

namun bukan terhadap akalnya, akan tetapi pada keimanannya.

Tempat meletakkan pelita misykat, kaca az-zujajah, dan pelita almishbah

adalah perumpamaan bagi tubuh nianusia, dada manusia,

hati manusia dan cahaya keimanan manusia. Bagaimanakah

letak cahaya keimanan dalam hati manusia? Bagaimanakah letak

jiwa kemanusian dalam hati manusia? Perumpamaan itu disebutkan

untuk manusia, namun dari sisi keimanan.

p:111


1- 27 Pada masa itu perumpamaannya adalah semacam itu (sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Quran).

Pada sebagian riwayat yang lain, perumpamaan itu ditujukan

untuk manusia, namun bukan khusus untuk setiap orang yang

beriman, tetapi merupakan sumber petunjuk bagi seluruh manusia;

yakni sebuah kenabian, dan itu pun kenabian yang terakhir.

Hal itu berdasarkan pada bukti yang ada pada akhir ayat, “Allah

membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.”

Jelas pembicaraan adalah berkenaan dengan sebuah cahaya,

yang dengan cahaya itu Allah memberi petunjuk kepada manusia.

Dalam riwayat dijelaskan semacam ini: tempat meletakkan pelita

adalah dada dan hati Rasul yang suci Muhammad Saw, dan pelita

itu adalah cahaya iman dan cahaya wahyu yang ada dalam hati suci

Rasul mulia Saw, kemudian “Pelita itu di dalam kaca,” karena pelita

ada di dalam kaca maka kaca itu menjadi terang dan memantulkan

cahaya. Dan semua itu adalah berkat sinar yang dipancarkan oleh

pelita. Maksudnya ialah, cahaya iman dan wilayah yang ada pada diri

Rasulullah Saw memantul kepada diri Ali bin Abi Thalib as. Maksud

dari kaca “az-zujajah” adalah Ali bin Abi Thalib as, dan pohon yang

penuh berkah yang dari minyaknya dapat memberikan sinar yang

terang benderang adalah Nabi Ibrahim as. Karena di sini terdapat

keterangan bahwa pohon tersebut bukan ke Timur dan bukan ke

Barat maksudnya ialah bahwa “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan

bukan pula seorang Nasrani”. Ibrahim tidak condong ke kanan dan

tidak condong ke kiri, tidak menyimpang sebagaimana Yahudi dan

tidak menyimpang sebagaimana Nasrani, tetapi ia berada dalam

kebenaran dan jalan yang benar, “akan tetapi dia adalah seorang

yang lurus lagi berserah din (kepada Allah).” (QS Ali Imran: 67)

Jika demikian ini adalah bentuk lain dari penafsiran ayat

yang mulia ini. Sebagaimana yang telah saya kemukakan, bahwa

saya tidak dapat memiliki anggapan telah mengetahui secara seratus

persen mengenai apa-apa yang dimaksud oleh ayat ini. Allah

membuat berbagai perumpamaan agar kita memikirkan, merenungkan

dan memperhatikan. Perumpamaan ini, adalah sebuah

perumpamaan yang sifatnya universal, yang dapat juga diartikan

dengan petunjuk Ilahi untuk semesta alam; yakni semesta alam ini

diumpamakan dengan sebuah rumah yang besar dan rumah itu

p:112

tidak gelap gulita, tetapi dalam rumah itu ada pelita yang terang

benderang dan itu adalah cahaya Allah. Dan ini adalah pembahasan

yang—juga disebutkan oleh Al-Quran pada ayat-ayat yang

lain—merupakan sebuah poin yang sangat penting dan disebabkan

itulah (cahaya Allah) maka seluruh benda yang ada di alam ini

bertasbih kepada-Nya. Yakni seluruh yang ada di alam ini mengetahui

wujud Penciptanya.(1)

p:113


1- 28 Sangat disesalkan bagian akhir ceramah tak sempat terekam— peny.

p:114

p:115

Bagian 7

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang

terkutuk.

«اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ کَمِشْکَاةٍ فِیهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِی زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ کَأَنَّهَا کَوْکَبٌ دُرِّیٌّ یُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَکَةٍ زَیْتُونَةٍ لَا شَرْقِیَّةٍ وَلَا غَرْبِیَّةٍ یَکَادُ زَیْتُهَا یُضِیءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَی نُورٍ یَهْدِی اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ یَشَاءُ وَیَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِکُلِّ شَیْءٍ عَلِیمٌ (35)»

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS an-Nur: 35)

p:116

Ayat yang mulia ini terdiri dari dua pembahasan; pembahasan

pertama, penisbatan cahaya terhadap Zat Ilahi

Yang Maha Suci, yang Al-Quran katakan, “Allah adalah (pemberi) cchaya langit dan bumi.”

Dan pada pembahasan kedua, tentang perumpamaan yang disebutkan oleh Al-Quran, yang pada

dasarnya membuat perumpamaan rumah-rumah yang di dalamnya

ada sebuah pelita—sesuai dengan urutan pembahasan yang

saya paparkan pada pertemuan sebelumnya—yang sangat terang,

dan perumpamaan ini bukan untuk Zat Ilahi, akan tetapi cahaya

Ilahi untuk berbagai makhluk-Nya. Berkenaan dengan perumpamaan

ini saya telah paparkan berbagai pembahasan, dan saat itu

saya berjanji bahwa hasil dari semua pembahasan akan saya ungkapkan

pada pertemuan kali ini.

Sebagaimana yang telah saya utarakan bahwa ayat yang mulia

ini adalah satu di antara ayat-ayat yang sangat banyak menarik

perhatian para mufasir dan selainnya. Di samping itu, kurang lebih

saya juga telah menjelaskan mengenai isi kandungan dari ayat ini.

Dan dalam riwayat kita terdapat sebuah pembahasan berkenaan

dengan ma’rifatullah (mengenai Allah), yakni dalam bab mengenai

Allah terdapat sebuah pem bahasan yang pada pertama kali

tampaknya sulit dan berat untuk dipahami dan itu adalah, “segala

sesuatu dapat diketahui karena Allah, dan Allah dapat diketahui

karena zat-Nya sendiri”. Bahkan dalam riwayat kita terdapat sebuah

ungkapan yang sangat menakjubkan, tampaknya ungkapan

itu ialah, kullu ma'rufin bi ghairihi mashnu'un (segala sesuatu yang

dapat diketahui karena adanya sesuatu yang lain, maka itu adalah

makhluk atau ciptaan) dan Allah tidak demikian.

Ini merupakan sebuah ungkapan yang menakjubkan, “Allah

dapat diketahui karena zat-Nya sendiri, dan selain Allah (dapat

diketahui) karena Allah”, sedangkan kita memiliki bentuk pemikiran

semacam ini—dan kita menyangka bahwa ini adalah jalan

satu-satunya—yaitu kita mengatakan bahwa kita mengenai alam

ini karena keberadaan alam ini sendiri; yakni kita mengenal makhluk

karena makhluk, dan kita mengenal Allah karena keberadaan

makhluk. Bahkan sebagian (penulis Muslim—yang pada awal mulanya

dipelopori oleh orang-orang Mesir, kemudian merambat ke

p:117

pada yang lainnya—mereka mengatakan, “Cara mengenal Allah

adalah terbatas pada pengenalan terhadap makhluk-Nya dan Allah

itu dapat dikenal setelah terlebih dahulu mengenal makhluk”, bahkan

mereka menyandarkan adanya pembatasan ini pada Al-Quran.

Masalah ‘mengenal Allah’ yang berbentuk “hanya dan terbatas”

jelas merupakan pandangan yang salah. Namun bagi para pemula

mereka menyangka bahwa pendapat semacam itulah yang benar.

Untuk mengingatkan para pemula pada keberadaan Allah, jalan

pertama adalah semacam itu, sebagaimana yang juga diungkapkan

oleh Al-Quran; “Dan berbagai ciptaan, merupakan tanda-tanda ke-

besaran Allah". Namun dengan menggunakan cara ini seseorang

hanya mendapatkan pengenalan terhadap Allah secara global

dan samar-samar, dan belum dapat mengenal Allah secara benar.

Permasalahan lainnya adalah dalam Al-Quran kita menjumpai

sebuah dasar utama—sebagaimana yang telah saya jelaskan

pada pertemuan yang lalu—dasar itu adalah “petunjuk”. Al-Quran

tidak memandang semua ciptaan adalah buta dan sesat, namun

semuanya dapat melihat dan menemukan jalannya masing-masing.

Manusia sebagai mukallaf, dia sendirilah yang mesti memilih

jalan dan terkadang mengalami kesesatan atau kekeliruan pada

taklif (tugas dan kewajiban) yang sifatnya adalah relatif, yang saya

paparkan adalah pada sistem penciptaan.(1)

Pada ayat-ayat Al-Quran dijelaskan berbagai pe tunjuk bagi

berbagai makhluk. Menukil ucapan Nabi Musa as pada saat Fir’aun

menanyakan, “Siapakah Tuhanmu, kenalkanlah kepada kami Tuhanmu

itu.” Musa as menjawab: “Tuhan kami adalah Tuhan yang

memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian

memberinya petunjuk.” (QS Thaha: 50). Dalam kalimat ini terdapat

dua bentuk argumen. Pertama, argumen sistem keteraturan

alam, yaitu Allah memberi setiap makhluk apa-apa yang diperlukan

sesuai dengan kebutuhannya, yakni ada sistem keter aturan.

“kemudian memberinya petunjuk” pembahasan yang lain yaitu

seluruh makhluk yang ada diberi pe tunjuk tentang masa depan,

tujuan, dan jalan menuju kesempurnaannya.

p:118


1- 29 Saya mohon maaf jika pembahasan yang saya paparkan ini mungkin terasa berat. Namun yang jelas ini adalah ayat Al-Quran, dan Al-Quran tidak dapat dianggap ringan.

Kita membaca dalam surah al-A’la: “Yang menciptakan, dan

Yanang menyempurnakan (penciptaan-Nya) dan yang menentukan kadar

(masing-masing) dan memberi petunjuk.” (QS al-A’la: 2-3). Dan

di antara para mufasir saya melihat hanya Fakhrur Razi saja yang

memperhatikan poin ini—dan tampaknya ungkapan ini adalah

pendapatnya—yang mana untuk pertama kalinya Al-Quran

menjelaskan dasar ini kepada manusia. Dasar keteraturan merupakan

sebuah masalah, sebuah bukti atas keberadaan Allah, dan

dasar petunjuk adalah buk ti yang lain tentang keberadaan Allah.

Alam dunia ini yang merupakan sebuah mesin yang bergerak pasti

memiliki perhitungan; dengan kata lain, sistem dalam penciptaan

adalah merupakan satu dasar dan dengan adanya tenaga yang tak

tampak “semacam naluri” yang memberikan suatu dorongan pada

setiap makhluk merupakan suatu dasar yang lain. Jika demikian

bagaimanakah bentuk petunjuk pada berbagai makhluk, yang

mana Allah menunjukkan kepada setiap makh luk tujuannya? Hal

ini sama persis dengan masalah ma’rifatullah (mengenal Allah).

Pada awal mula setiap makhluk mendapatkan petunjuk menuju

Allah, kemudian ke tujuan yang lain; yakni Allah adalah “tu juannya

tujuan” dan setiap suatu tujuan, tujuannya itu adalah berasal dari

Allah.

Yang dimaksud bahwa Allah itu adalah cahaya langit dan

bumi, adalah cahaya yang ada pada segala sesuatu berasal dari

Allah. Hal itu sama dengan ungkapan yang menyatakan, “Segala

sesuatu dapat diketahui karena keberadaan Allah, dan Allah dapat

diketahui karena zat-Nya sendiri.” Segala sesuatu disebabkan keberadaan

Allah menjadi tampak, dan segala sesuatu disebabkan

Allah menjadi “panutan”; yakni berjalan menuju ke arahnya dan

menjadi tujuan. Kecuali Allah, yang disebabkan zat-Nya sendiri

menjadi tujuan, dan panutan dari segala macam ciptaan dan segala

macam makhluk. Disebabkan hal inilah maka Al-Quran menyatakan

bahwa seluruh ciptaan dan semua benda memiliki suatu

jenis kehidupan dan perasaan tertentu.

Pada ayat berikutnya akan dibuktikan hal itu: “Tidakkah kamu

tahu bahwasannya Allah: kepadaNya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga)

burung dengan mengembangkan sayapnya.

p:119

masing-masing telag mengetahui (cara) salat dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui

apa yang mereka kerjakan .” (QS an-Nur: 41)

Ini merupakan hasil yang sangat rasional dari masalah itu.

Sebuah hasil yang rasional, “Allah adalah (pemberi) cahaya kepada langit dan bumi",

ini adalah merupakan “Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.” (QS al-Isra’: 44)

Sebagaimana setiap ciptaan memiliki peringkat dan derajat,

begitu juga dengan petunjuk diberikan sesuai dengan peringkat

dan derajatnya. Benda-benda mati sesuai dengan peringkatnya, binatang

sesuai dengan peringkatnya, dan manusia secara individu

dan sosial, mendapatkan petunjuk sesuai dengan peringkat dan

kondisinya masing-masing.(1)

Pada pertemuan yang lalu telah saya paparkan, baik dari riwayat

maupun selain riwayat, yakni pendapat para mufasir dan

ulama berkenaan dengan perumpamaan itu—tentang apa maksud

perumpamaan itu—dan saya telah memberikan penjelasan yang

bermacam-macam. Sebagian melihat bahwa perumpama an itu

adalah ditujukan untuk semesta alam, yaitu sekumpulan kata

kiasan itu menunjukkan bahwa alam wujud ini, alam nyata ini,

merupakan sebuah rumah yang tidak gelap. Sebuah rumah yang

di dalamnya terdapat berbagai pelita yang paling terang—perumpamaan

pelita itu maksudnya adalah pelita yang paling terang

pada setiap masa. Jika demikian, alam nyata ini tidak buta dan tidak

gelap. Dan sebagian lainnya mengartikan perumpamaan ini

adalah manusia. Berkenaan dengan manusia saya juga telah memaparkannya

pada pertemuan yang lalu. Namun sekarang, saya

akan menjelaskannya secara singkat dan ringkas.

p:120


1- 30 Saya tidak akan menjelaskan ayat ini lebih dari yang telah saya jelaskan. Pada sebagian tulisan saya, khususnya berkenaan dengan masalah ini, senantiasa saya ingatkan. Ada orang-orang yang memiliki dugaan bahwa Allah menurut pandangan Al-Quran adalah ghaib dan tersembunyi, dan manusia dapat menyingkapnya hanya dengan perantaraan semesta alam, dugaan semacam itu sama sekali tidak benar. Sebaliknya itu merupakan makrifat yang tidak sempurna. Makrifat yang sebenarnya adalah seseorang dapat mengenal alam ini disebabkan mengenal Allah, dan bukannya mengenal Allah karena alam. Dalam hal ini, bayak ditegaskan oleh para imam yang suci khususnya dalam buku Nahjul Balaghah.

Mereka berpendapat bahwa hidayah atau “petunjuk” itu ada

beberapa macam: “petunjuk alamiah”, hal ini ada, sekalipun pada

benda yang tak bernyawa. “Pe tunjuk indera”, yaitu panca indera

kita. Semuanya itu merupakan pelita petunjuk yang ada dalam binatang

dan diri manusia. “Petunjuk naluri” di mana pada bi natang

terdapat berbagai kecenderungan yang membimbing binatang itu

dalam mencapai tujuan. “Petun juk akal”, kekuatan akal itu sendiri

merupakan cahaya yang diberikan kepada manusia sehingga den-

ngan cahaya itu sendiri ia dapat berfikir dan menimbang-nimbang. Agama

itu sendiri merupakan satu bentuk petunjuk yang lain, yang disebut

dengan “petunjuk wahyu”.

Perumpamaan itu sebagian mengartikan dengan petunjuk

bagi seluruh ciptaan, dan sebagian yang lain mengartikan dengan

petunjuk bagi manusia, yang jelas sebagian mengatakan bahwa

maksud dari seluruh pe tunjuk yang ada pada diri manusia ialah

indera, akal, naluri, dan bahkan petunjuk wahyu. Sedangkan sebagian

yang lain berpendapat bahwa itu hanya khusus pada “petunjuk

akal” saja. Sebagaimana yang telah saya utarakan berkenaan

dengan pendapat Ibnu Sina. Se bagian mengartikan perumpamaan

itu dengan “pe tunjuk wahyu” dan dalam riwayat ada bentuk pengartian

semacam itu, yang mana misykat (lubang di dinding tempat

meletakkan pelita) adalah hati Rasul yang mulia Saw, dan

mishbah (pelita) adalah cahaya wahyu yang turun kepada beliau,

dan seterusnya sebagaimana yang sebelumnya telah saya jelaskan.

Tidak ada masalah jika berbagai perumpamaan yang ada

pada ayat itu hendak menjelaskan cahaya “petunjuk Ilahi” yang

alam dipenuhi olehnya, dan meliputi seluruh yang ada di alam.

Khususnya sebagaimana yang telah saya paparkan, yang terdapat

pada dua riwayat, yang kedua riwayat tersebut menghubungkan

arti perumpamaan itu dengan manusia. Pertama, adalah dari sisi

individu yaitu seorang mukmin, dan yang lainnya adalah sebuah

masyarakat yang manusiawi yang berlandaskan pada “petunjuk

wahyu”. Kedua penjelasan tersebut merupakan penjelasan yang

sangat dalam, khususnya dengan memperhatikan pada ayat yang

menyatakan, “Di rumah-rumah yang telah diizinkan Allah un-

tuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.”

p:121

Pada pertemuan yang lalu saya telah mengungkapkan sebuah

riwayat yang berhubungan dengan perumpamaan yang ada dalam

ayat itu. Isi ayat itu adalah demikian: “Cahaya Ilahi, petunjuk Ilahi

laksana sebuah misykat yang di situ diletakkan pelita, dan pelita

itu ada dalam sebuah kaca.” Kemudian terlintas sebuah pertanyaan

semacam ini, mengapa Al-Quran membuat perumpamaan

semacam itu? Tidakkah Al-Quran dapat mengatakan, “Laksana

tempat pelita yang di dalamnya terdapat kaca, dan di dalam kaca

terdapat pelita.” Namun mengatakan, “Laksana tempat pelita yang

di da lamnya terdapat pelita dan pelita itu ada di dalam kaca.”

Dalam riwayat kita, ayat tersebut ditafsirkan sema cam ini:

maksud dari pelita berada di tempat pelita misykat, kemudian pelita

dipindahkan ke sebuah kaca, rahasia dari ayat ini adalah disebutkan

demikian: maksud dari misykat ialah tempat nubuwah (kenabian),

dan maksud dari kaca ialah imamah (kepemimpinan) dan

maksud dari pohon yang penuh berkah yang menyebabkan terwujudnya

misykat, kaca dan pelita adalah adalah pohon Ibrahim. Dan

itu merupakan hasil dari doa Ibrahim as. Berbagai penjelasan ini

yang berkenaan dengan ayat tersebut pada dasarnya merupakan

satu catatan pinggir bagi pembahasan yang telah saya paparkan

pada pertemuan yang lalu. Ayat berikutnya adalah:

«فِی بُیُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَیُذْکَرَ فِیهَا اسْمُهُ یُسَبِّحُ لَهُ فِیهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ (36)»-

Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk

dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang (QS an-Nur: 36)

«رِجَالٌ لَا تُلْهِیهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَیْعٌ عَنْ ذِکْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِیتَاءِ الزَّکَاةِ یَخَافُونَ یَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِیهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ (37)»

laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah,

dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat.

Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang (QS an-Nur: 37)

p:122

Di rumah-rumah yang telah diizinkan oleh Allah untuk diagungkan

dan dimuliakan, dan di dalamnya disebut nama-Nya, di

dalam rumah-rumah itu pada waktu pagi dan malam ada orangorang

yang senantiasa bertasbih kepada Allah, meskipun mereka

mesti melakukan kesibukan duniawi, namun mereka walau sedetik

pun tidak melupakan Tuhannya. Apakah maksud dari fibuyutin (di

rumah-rumah) itu? Kemungkinan seluruh mufasir berpendapat

bahwa pelita yang kita jadikan sebagai perumpamaan, ada dalam

rumah-rumah ini. Jelas muncul suatu pertanyaan semacam ini,

yaitu jika pelita itu disebutkan ada di dalam rumah-rumah itu sudah

cukup, lalu mengapa mesti ditambah dengan berbagai perumpamaan

lainnya, di mana pe lita itu ada di dalam rumah dan rumah

itu demikian?

Hal itu merupakan penegasan terhadap perumpa maan tersebut

yang merupakan perumpamaan terha dap manusia. Pada sebuah

riwayat yang dinukil dalam tafsir Ash-Shafi disebutkan:

“Rumah-rumah itu adalah rumah-rumah para nabi, rasul, orangorang

bijak, para imam yang membawa petunjuk.”(1) Itu adalah

rumah-rumah para tokoh maknawiah. Lalu apa bedanya antara

rumah milik seorang wali Allah, dan rumah milik orang lain?

Bahkan dari sisi bahan bangunannya batu bata, semen, pasir dan

sebagainya; rumah-rumah mereka (selain wali Allah) jauh lebih

baik daripada rumah para wali Allah. Ayat Al-Quran itu sendiri

menjelaskan dan berbagai riwayat juga menyebutkan bahwa

maksud dari rumah-rumah itu bukanlah rumah yang terbuat dari

tanah liat dan materi. Maksud dari semua itu adalah manusia dan

tubuh-tubuhnya, yakni mereka adalah manusia yang tubuh mereka

adalah masjid dan tempat peribadatan bagi jiwanya. Dalam riwayat

juga disebutkan bahwa maksud dari rumah-rumah itu adalah

mereka (manusia-manusia mulia—pen.).

Qutadah, salah seorang mufasir dan ahli fiqh Ahlu sunah

pada zamannya, dan bertempat tinggal di Kufah. Dalam perjalanannya

menuju Madinah, ia bertemu dengan Imam Muhammad

al-Baqir as, ia pun mengajukan berbagai pertanyaan kepada Imam

p:123


1- 31 tafsir ash-shafi penafsiran ayat tersebut

al-Baqir as dan ia juga mendengarkan berbagai jawaban yang beliau

berikan, dan ia terdiam tak dapat memberikan jawaban atas

berbagai pertanyaan yang diajukan oleh Imam al-Baqir as, dan ia

merasa dirinya sangat rendah. Kemudian ia mengatakan, “Saya

telah bertemu dengan berbagai ulama, namun saya tidak mera sa

gugup dan bingung seperti ketika saya menghadapi Anda.” Imam

al-Baqir berkata, “Tahukah kau dengan siapa kau berhadapan? Berhadapan

dengan rumah-rumah yang diizinkan oleh Allah untuk

diagungkan dan di dalamnya disebut nama-Nya.” Kau tengah berhadapan

dengan mereka yang oleh Allah disebut dengan “buyut”

(rumah-rumah), yakni yang tengah kau hadapi adalah seorang dari

rumah-rumah itu. Kemudian ia dengan tulus hati mengakui, “Wahai

putra Rasulullah, aku mengakui kebenaran itu bahwa mak sud

dari buyut yang ada di dalam Al-Quran bukan rumah-rumah yang

terbuat dari batu atau tanah Hat, tetapi itu adalah “rumah-rumah

yang insani”.

Di sini ada sebuah poin penting dalam masalah tauhid, dan itu

adalah baik rumah-rumah ini kita artikan dengan rumah-rumah

yang terbuat dari batu bata atau tanah Hat, atau rumah-rumah

yang insani—jelas maksud sebenarnya adalah rumah-rumah yang

insani— Al-Quran menegaskan bahwa itu adalah rumah-rumah

yang diizinkan oleh Allah agar rumah-rumah itu memiliki posisi

yang tinggi, diagungkan, dan selalu dihormati. Dan sekiranya

maksud dari rumah-rumah itu adalah rumah-rumah yang terbuat

dari batu bata atau tanah Hat, kita mengetahui bahwa secara keseluruhan

dalam agama Islam diwajibkan bagi semua orang untuk

menghormati masjid dan haram hukumnya meremehkan atau

melecehkan masjid. Menajiskan masjid adalah haram, jika masjid

terkena najis maka fardhu kifayah untuk membersihkannya, wajib

bagi semuanya untuk segera membersihkan najis itu. Jika ada yang

mengatakan pada kita, “Itu bertentangan dengan dasar tauhid,

masjid adalah batu, pasir, dan tanah Hat. Ka’bah juga demikian,

adalah beberapa batu yang disusun dan tak lebih dari itu.

Apakah batu juga memiliki suatu kemuliaan, sehingga manusia

diharuskan untuk menghormatinya? Kita akan katakan,

p:124

“Tidak!” Batu sama sekali tidak harus dihormati. Allah dan peribadatan

Allah yang mesti dihormati. Tempat ibadah, disebabkan itu

ada lah tempat ibadah sehingga harus dihormati. Yang kita sembah

mengizinkan kita untuk menghormati tempat ibadah. Penghormatan

terhadap tempat ibadah dengan seizin dari yang kita

sembah. Hal itu bukannya syirik tetapi bahkan merupakan inti

dari tauhid. Kemudian apakah hanya khusus pada tempat ibadah

saja? Tidak! Jika yang kita sembah mengizinkan kepada kita untuk

menghormati, mengagungkan, dan memuliakan seorang hamba

disebabkan ia adalah seorang hamba, lalu kita menghormati, mengagungkan,

dan memuliakan hamba itu, lalu apakah ini adalah syirik?

Tidak, itu juga merupakan inti dari tauhid. Oleh karena itu,

apakah penghormatan dan penggagungan terhadap Nabi Yang

Mulia Saw beserta para imam suci atau bahkan terhadap yang di

bawah mereka itu me rupakan suatu perbuatan syirik? Tidak, mereka

adalah, “rumah-rumah yang telah diizinkan oleh Allah untuk diagungkan

dan disebut nama-Nya di dalamnya.”

Sebagaimana Allah telah mengijinkan kita untuk menghormati

dan memuliakan rumah-rumah yang terbuat dari tanah

Hat—yaitu tempat ibadah—maka rumah yang insani ini, yang

merupakan tempat ibadah bagi jiwanya, derajatnya jauh lebih

tinggi dari rumah yang terbuat dari tanah liat tersebut. Bahkan rumah-

rumah ibadah yang terbuat dari tanah liat itu menjadi mulia

karena keberadaan para ahli ibadah itu. Ka’bah menjadi mulia untuk

pertama kali karena keberadaan Nabi Ibrahim as dan Ismail as,

kemudian para nabi yang lain dan orang-orang yang mulia lainnya.

Selain itu kemuliannya juga disebabkan, “rumah yang mula-mula

dibangun untuk (tempat beribadah) manusia” (QS Ali Imran: 96)

Tempat peribadatan pertama di dunia. Karena merupakan tempat

peribadatan yang pertama dan titik pertama yang di situ dibangun

dan didirikan tempat peribadatan Allah, dan kemuliaannya adalah

disebabkan peribadatan itu. Jika demikian, kemuliaan Ka’bah itu

berasal dari orang-orang yang beribadah dan tempat peribadatan.

Dalam berbagai riwayat baik dari Syiah maupun Ahlusunah

kita dapat menjumpai bahwa maksud dari rumah-rumah itu

p:125

adalah manusia-manusia yang seluruh hidupnya adalah ibadah,

yang mana mereka adalah benar-benar masjid.

Ketika pandangan seseorang semata-mata hanya untuk Allah,

pendengaran, pembicaraan, pikiran, langkah, makan, minum,

tidur semuanya hanya semata-mata untuk Allah, tubuh ini tidak

memiliki nama lain kecuali “tempat ibadah”. Perhatikanlah Ali

bin Abi Thalib as dalam doa Kumail bagaimanakah ia bermunajat:

“Wahai Tuhan, wahai Yang memelihara, wahai Yang memiliki,

kuatkan anggota tubuhku demi berbakti kepada-Mu, kuatkan

kecenderunganku dalam menjalankan niat yang mulia, karuniakan

kepadaku kesungguhan dalam merasa takut kepada-Mu, dan

senantiasa berbakti kepada-Mu.”

Oh Tuhan! Oh Tuhan! Oh Tuhan! Berilah kekuatan pada anggota

tubuhku, agar aku dapat semakin meningkatkan ketaatanku,

kuatkanlah niat Ali agar selalu berbakti kepada-Mu, karuniakanlah

kepadaku perasaan benar-benar takut kepada-Mu, karuniakan

kepadaku agar senantiasa berkhidmat kepada-Mu dan janganlah

Engkau biarkan walau sedetik pun aku ber khidmat kepada selain-

Mu. Inilah yang beliau miliki dan Allah juga telah memberikan

kepadanya semua itu. Pribadi semacam ini seluruh anggota tubuhnya

adalah tempat ibadah, dan itu adalah tempat ibadah yang

paling agung. Ka’bah tidak dapat mengaku bahwa aku juga tempat

ibadah semacam itu.

Oleh karena itu, “ayat perumpamaan itu” baik para mufasir

maupun riwayat mengartikannya dengan manusia. Mereka

berkeyakinan bahwa Misykat, mishbah, dan zujajah adalah

berhubungan dengan “petunjuk insani”, ada yang mengatakan

berhubungan dengan “petunjuk akal”, ada yang mengatakan

berhubungan dengan “petunjuk wahyu”, bahkan ada juga yang

mengatakan semua itu berhubungan dengan “petun juk indera”.

Pelita petunjuk itu terletak di rumah manakah? Di rumah

diri seorang manusia. Khususnya “petunjuk wahyu” terletak

pada wali-wali Allah: “rumah-rumah yang diizinkan oleh Allah untuk diagungkan

dan disebut nama-Nya di dalamnya"

p:126

Pada suatu hari ada seseorang yang mendengar sebuah

penjelasan dari almarhum Sayid Mahdi Qawwam, beliau adalah

seorang yang sangat bertakwa—semoga Allah senantiasa merahmatinya

dan saya sangat kagum atas pembahasan itu. Orang tersebut

mengatakan, “Pada sebuah majelis yang diadakan guna membahas

masalah “tabanri” (berlepas diri dari musuh-musuh Allah)

almarhum Sayid Mahdi Qawwam naik ke atas mimbar, kemudian

mengutip ayat ini, dan betapa indahnya beliau dalam mengupas

ayat ini, “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang

lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-

Nya.” (QS al-Baqarah: 114). Siapakah orang yang lebih lalim dari

orang yang melarang nama Allah disebut di mas jid-masjid-Nya?

kemudian beliau menjelaskan, sese orang yang tubuh dan anggota

tubuhnya adalah masjid bagi jiwanya, lalu ada orang yang berusaha

menghalangi agar tubuh orang itu tidak dijadikan sebagai sebuah

tempat untuk menyebut nama Allah, menghalangi dalam bentuk

apa pun, itu adalah kelaliman dan perbuatan aniaya. Di antaranya

ialah “membunuh seorang mukmin sama dengan menghancurkan

sebuah masjid”. Dan jika yang dibunuh adalah para wali Allah,

maka ia telah merobohkan dan menghancurkan masjid-masjid

yang paling agung.

Di rumah ini pada pagi dan petang selalu bertasbih kepada

Allah. Para mufasir mengatakan bahwa maksud dari senantiasa

bertasbih dan mensucikan Allah, bukan hanya pagi dan petang

saja melainkan juga selain waktu itu dalam keadaan lalai. Siapakah

orang-orang yang bertasbih itu? Perhatikanlah ungkapan Al-

Quran, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak

pula oleh jual beli dari mengingati Allah.” Maksud dari kata rijal

(secara bahasa artinya adalah orang-orang laki-laki—pen.) sebagaimana

yang diungkapkan oleh para mufasir adalah tidak berarti

“bukan para perempuan” dan bahkan menurut istilah “penghapusan

jenis”, namun arti yang diinginkan adalah “semangat”.

Terkadang ketika kita hendak mengatakan seorang itu penuh semangat

maka kita akan mengunakan kata rajul. Di sini tidak lagi

dibedakan baik dari jenis laki-laki maupun dari jenis perempuan.

p:127

Orang-orang yang memiliki semangat tinggi tidak dilalaikan oleh

perniagaan dan jual beli dari mengingati Allah. Jelas perniagaan

dan jual beli merupakan sebuah perumpamaan, yakni bekerja,

mengajar, berceramah, berpidato, membangun rumah, merancang

bangunan, mengobati pasien, semuanya sama dengan perniagaan.

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh berbagai pekerjaannya

dari mengingat Allah.

Mungkin Anda akan mengatakan, “Mungkinkah seseorang

dalam satu waktu sibuk dengan suatu pekerjaan tertentu dan tidak

melalaikan sesuatu yang lain?” Ya! Khususnya jika seseorang telah

sempurna, masih belum sempurna pun ada yang dapat melakukan

semacam itu. Saya umpamakan, saat seseorang kehilangan suatu

kebahagian yang luar biasa, maka walau sedetik pun ia tak akan

dapat untuk melupakannya. Ambillah contoh seorang pemuda

yang jatuh cinta dengan seorang pemudi, dan senantiasa berusaha

untuk meminangnya. Kemudian ia mendapatkan jawaban yang

positif. Segala pekerjaan yang ia lakukan, ia tidak akan melupakan

satu hal itu, kebahagiaan, rasa senang, senantiasa ada dalam hatinya.

Bahkan dalam tidurnya selalu terbayang dalam benaknya,

kekasihnya itu merupakan satu kebahagian yang dihadiahkan kepadanya.

Sebaliknya—semoga Allah tidak menghendaki—jika seseorang

ditimpa suatu musibah yang sangat berat, misalnya saja,

ayah atau ibu yang sangat ia sayangi meninggal dunia. Segala pekerjaan

yang ia lakukan, sambil ia melakukan pekerjaan itu ia pun

tetap mengalami rasa duka yang mendalam. Hatinya tidak dapat

melupakan kesedihan tersebut.

Mukmin yang sebenarnya dalam mengingat Allah adalah

semacam itu. Sesuatu yang sama sekali tidak dapat ia lupakan ialah:

mengingat Allah dan zikrullah. Bahkan segala pekerjaan yang ia

lakukan semuanya ia lakukan demi Allah dan karena perintah Allah.

Dan “mengingat Allah” itulah yang memaksa ia untuk me lakukan

berbagai pekerjaan itu. “Transaksi jual beli” jika dilakukan secara

terus menerus disebut “perniagaan” sebagaimana mereka yang pekerjaannya

adalah berniaga dan berdagang. Namun jika seseorang

terkadang melakukan sebuah transaksi jual beli dan tidak terus

menerus, misalnya saja ia hendak menjual rumahnya kepada Anda,

p:128

maka itu tidak disebut berniaga namun disebut “berjualan” (bai).

Al-Quran acapkali membuat perumpamaan de ngan harta

dunia. Disebabkan itu adalah sebab utama yang menyebabkan

kelalaian manusia. Perniagaan dengan berbagai macam transaksi,

berjualan (ba’i) dengan satu transaksi jual beli, semua itu sama

sekali tidak membuat lalai mereka dari mengingat Allah, melaksanakan

salat, mengeluarkan zakat dan mereka senantiasa merasa

takut kepada Allah serta kepada hari di mana semua jantung

berdebar-debar, dan berbagai pandangan kebingungan, semuanya

dicekam oleh rasa takut.

semoga Allah senantiasa memberikan taufik serta hidayahNya

kepada kita semua.

p:129

p:130

p:131

Bagian 8

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang

terkutuk.

«لِیَجْزِیَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَیَزِیدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ یَرْزُقُ مَنْ یَشَاءُ بِغَیْرِ حِسَابٍ (38)»

(Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi

balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari

apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah

karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada

siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (QS an-Nur: 38)

p:132

Dari ayat-ayat yang lalu, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan

bahwa Allah Yang Maha Tinggi adalah sumber

berbagai petunjuk dan berkenaan dengan cahaya petunjuk-Nya. Ia

membuat sebuah perumpamaan dalam firman-Nya, Allah mem

bimbing kepada cahaya-siapa yang Dia kehendaki,” Allah akan

membimbing siapa saja yang Ia kehendaki menuju pada cahaya-

Nya. Salah satu hasil yang diraih oleh seseorang dari petunjuk

Ilahi, ialah perbuatan orang tersebut menjadi memiliki nilai. Apa

maksudnya?

Setiap orang dalam dunia ini pasti memiliki berbagai pekerjaan

dan aktivitas tersendiri, bahkan seluruh kehidupan manusia

itu sendiri adalah aktivitas dan usaha. Sewaktu Anda bangun pagi,

baik ketika memandang diri Anda sendiri atau orang lain, maka

Anda akan menyaksikan seluruh kehidupan ada lah aktivitas dan

usaha, berjalan, berlari dan bekerja. Jika Anda bertanya, “Untuk

apa?” Jelas masing-masing memiliki tujuan yang berbeda, namun

pada dasarnya mereka menginginkan kebahagiaan bagi diri mereka

sendiri.

secara fitrah manusia senantiasa menginginkan kebahagiaan

bagi dirinya sendiri, dan bukannya meng inginkan kesengsaraan.

Jika seandainya ada seseorang yang berjalan pada satu jalan yang

akhirnya menyebabkan kesengsaraan dirinya, tidak mungkin itu

ia kerjakan dengan tujuan agar ia menjadi sengsara. Namun pada

awal mulanya ia mengira bahwa jalan itu akan memberikan kebahagiaan

bagi dirinya. Jika demikian seseorang secara pasti dan jelas

aktivitas dan usaha yang ia lakukan adalah untuk meraih kebahagiaan

dirinya, dan tidak ada seorang pun yang melakukan usaha

serta kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh kesengsaraan.

Jelas ada beberapa orang dalam dunia ini yang melakukan berbagai

usaha sementara ia mengira akan memperoleh kebahagiaan,

namun setelah beberapa waktu ia mengetahui bahwa seluruh usahanya

itu tidak memiliki arti, atau ia melihat bahwa usahanya itu

memperoleh hasil yang bertolak belakang dengan yang ia harapkan,

dan jika sekiranya ia tidak melakukannya, justru itu lebih baik

bagi kebahagiaan dirinya.

p:133

Di antara hasil dari keimanan kepada Allah dan mendapatkan

penerangan cahaya Allah ialah perbuatan seseorang memiliki nilai

yang hakiki; yakni ia berada dalam satu kondisi di mana amalan

dan usaha seseorang benar-benar menyebabkan kebahagiaannya

dan itu pun kebahagiaan yang abadi. Dalam hal ini terdapat sebuah

pembahasan yang nantinya akan lebih dijelaskan pada ayat berikutnya.

Pembahasan itu ialah, apakah amalan baik dan buruk seseorang

tergantung pada keimanannya atau tidak? Apakah amalan

yang baik adalah baik dan akan menyebabkan kebahagiaan, sekalipun

seseorang tidak diterangi oleh cahaya Ilahi, dan amalan yang

buruk adalah buruk sekalipun ia adalah orang yang beriman dan

mendapatkan cahaya Ilahi? Ini adalah sebuah permasalahan yang

sering dipaparkan, khususnya para pemuda pada masa sekarang ini.

Bentuk pertanyaan mereka adalah sebagai berikut, “Apakah

merupakan suatu keharusan agar amalan se seorang itu dapat

diterima di sisi Allah ia mesti memi liki keyakinan terhadap Allah,

Muslim, dan mukmin?—atau menurut ungkapan ayat-ayat itu

“mendapatkan cahaya Ilahi”—Alhasil amalan baik adalah baik, dan

Allah adalah Maha Kaya. Jika demikian apakah bedanya menurut

pandangan Allah mengenai perbuatan baik atau perbuatan buruk

yang dilakukan oleh sese orang yang mengenal-Nya dengan seseorang

yang ti dak mengenal-Nya? Allah adalah Zat Yang Maha

Besar, Maha Agung dan Maha Kaya dan tidak butuh pada suatu apa

pun, maka Ia boleh membuat perbedaan di antara hamba-hamba-

Nya—seorang hamba yang me ngenal-Nya dan tunduk dihadapan-

Nya, mengagungkan-Nya, melakukan salat, menjalankan puasa,

dengan seorang hamba yang tidak mengenal-Nya bahkan ia mengadakan

penentangan kepada-Nya dan keduanya itu melakukan

amalan baik.

Jika demikian pada hari kiamat masalah iman tidak harus dijadikan

sebagai tolok ukur perhitungan amal. Yang mesti dijadikan

perhitungan adalah hanya amal perbuatan. Oleh karena itu, jika

seorang manusia yang memiliki keyakinan materialis dan mengingkari

keberadaan Allah, mengingkari keberadaan para nabi, lalu

melakukan suatu amal kebajikan, misalnya saja berbuat baik kepada

sesama manusia, maka Allah mes ti memasukkannya ke dalam

p:134

surga. Demikian pula jika ada seorang hamba yang mengenal-Nya,

mengakui keberadaan-Nya kemudian melakukan suatu kebajikan,

Allah juga mesti memasukkan hamba tersebut ke dalam surga

dan Dia tidak memiliki pilihan yang lain. Jika tidak demikian maka

kita harus mengatakan—al-’iyyadzubillah—Allah seperti para pemimpin

yang membeda-bedakan antara mereka yang datang menemuinya

dan mengagungkannya dengan mereka yang tidak datang

menemuinya dan mengagungkannya. Sedangkan kita mengatakan

bahwa pemimpin yang baik ialah pemimpin yang tidak membedabedakan

berbagai individu berdasarkan pada sikap tersebut. Ia

mesti hanya memperhatikan pada amal kebajikan setiap individu;

jika ia melihat ada orang yang berbuat kebajikan maka ia mesti

memberikan imbalan baik pula.

Berkenaan dengan masalah itu, banyak orang yang menanyakannya,

serta melontarkan berbagai sanggahan dan kritikan.

Dan berkaitan dengan masalah itu saya telah memaparkannya

dalam bab terakhir dari buku al-adlul ilahi (telah terbit edisi Bahasa

Indonesianya berjudul: Keadilan Ilahi—pen.) secara rinci dan

detail. Dan sekarang ini berkenaan dengan tiga ayat ini, saya akan

memaparkan sebagian dari permasalahan tersebut.

Kita melihat bahwa Al-Quran tidak hanya bersandar pada

amal semata, tetapi bersandar pada iman dan amal. Kalian dapat

membuktikan bahwa Al-Quran senantiasa menyatakan, “orangorang

yang beriman dan mengerjakan amal saleh,” mereka yang

memiliki keimanan dan beramal baik. Al-Quran dalam rangka

memberikan kebahagian kepada umat manusia tidak hanya bersandar

keimanan saja, sehingga kemudian menyatakan, “Jika kalian

beriman maka kalian akan memperoleh kebahagiaan, apa pun

bentuk amal perbuatanmu tidak jadi masalah, dan juga tidak hanya

bersandar pada amal perbuatan saja yang kemudian menyatakan,

“Orang-orang yang mengerjakan amal saleh baik dia beriman atau

tidak beriman.” Akan te tapi Al-Quran menyatakan iman dan amal

saleh: keduanya yang dijadikan perhitungan.

Alhasil ada sebagian kelompok yang menyatakan bahwa amal

perbuatan tidak memiliki nilai sama sekali dan yang memiliki

nilai hanyalah keimanan. Di antara kita sendiri pun ada orang

p:135

orang yang meremehkan amal perbuatan dan mereka mengatakan

bahwa amal perbuatan tidak memberikan pengaruh pada kebahagiaan

seseorang, dan hanya keimanan saja yang dapat memberikan

pengaruh. Sedangkan sebagian yang lain menyatakan bahwa amal

perbuatan saja yang mem berikan pengaruh, bukannya keimanan.

Yang lebih mengherankan adalah mereka mengatakan bahwa

Al-Quran juga mendukung pendapat semacam itu. Me reka mengatakan,

“Bukankah Al-Quran sendiri me nyatakan bahwa, “Ses-

sungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang

berbuat baik.” (QS at-Taubah: 120). Allah tidak melalaikan pahala

bagi orang-orang yang berbuat baik. Di sini tidak disebutkan yang

berbaut baik itu mukmin atau kafir dan pada ayat lain dise-

butkan, “tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-

orang yang mengerjakan amalan-nya dengan baik (al-kahfi:

30). “Setiap orang yang melakukan suatu amal kebajikan, Kami tidak

akan melalaikan pahalanya.”

Sanggahan tersebut sebagian besar bersumber dari kenyataan

yang mereka saksikan, yang kemudian mereka mengatakan, “Kita

banyak menjumpai orang-orang yang memiliki jasa yang cukup

banyak terhadap umat manusia, dan mereka bukan Muslim. Mereka-

mereka itu tidak hanya non-Muslim dan tidak beriman kepada

para nabi, tetapi bahkan tidak mengenal Tuhan (atheis); misalnya

saja orang yang menemukan “penicillin” betapa besar jasa yang ia

berikan kepada umat manusia, betapa banyak penyakit yang sebelum

itu tidak dapat disembuhkan, betapa banyak anak-anak

yang tertimpa penyakit disentri yang tak sempat terobati dan akhirnya

meninggal dunia, namun setelah ditemukannya penicillin

semua itu dapat disem buhkan. Demikian pula orang yang berhasil

menemu kan vaksin anti tetanus, dan lain-lainnya. Apakah dapat

dikatakan bahwa Allah tidak menghiraukan amal baik mereka itu

disebabkan mereka tidak beriman?

Sekarang marilah kita teliti bagaimanakah duduk persoalannya.

Dalam Al-Quran Allah menentukan sebuah tolok ukur,

yang dengan itu kita dapat mengetahui dengan jelas duduk per-

soalan yang sebenarnya. dalam surah bani israil Allah berfirman

p:136

"Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi)

maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki

bagi orang-orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya

neraka Jahanam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela

dan terusir. (QS al-Isra’: 18)

Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan

berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah

mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya

dibalasi dengan baik. (QS al-Isra’: 19)

Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun

golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu.

Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. (QS al-Isra’: 20)

Ringkasan isi ayat ini ialah setiap orang yang ber usaha untuk

mencapai suatu tujuan, maka Allah tidak akan melalaikan pahala

usahanya itu. Allah menciptakan alam semesta ini laksana lahan

untuk bercocok tanam dan menuai hasil. Apakah yang kalian nantikan

dari sebuah ladang? Kalian akan menantikan dari apa yang

kalian tanam dan akan memperoleh hasil. Merupakan suatu penantian

yang salah jika seseorang berharap dari sebuah ladang—

sekalipun kondisi ladang tersebut sangat bagus—akan menghasilkan

sesuatu yang lain dari yang ia tanam, ini benar-benar tidak

mungkin. Jika kalian taburkan benih gandum di tanah yang telah

diolah dengan bagus, maka kalian juga akan menuai gandum; jika

kalian menanam padi maka ka lian akan menuai padi; jika kalian

menanam buah pir maka kalian akan memetik buah pir; jika kalian

mena nam handhal (sejenis buah yang pahit dan beracun— pen.)

maka kalian akan memetik handhal; jika kalian menanam duri

maka kalian akan memetik duri pula; dan jika kalian menanam

bunga maka kalian akan me metik bunga. Lahan yang bagus bukan

berarti: saya akan meme tik bunga sekalipun yang saya tanam

adalah duri atau selainnya. Ataupun menghasilkan beras dan gandum

dari jenis yang berkualitas tinggi, sekalipun yang saya tanam

benih beras dan gandum yang berkualitas rendah, semua itu tidak

benar.

Seluruh manusia dalam melakukan aktivitas pasti memiliki

suatu tujuan tertentu. Benar semuanya menginginkan kebaha

p:137

giaan, namun dengan cara yang bagaimana mereka mencari kebahagiaan

itu? Ada orang yang hidup di dunia ini yang senantiasa

melaku kan kerja keras, usaha, guna mendapatkan suatu hasil

yang dapat ia nikmati di dunia ini pula, dan ia sama sekali tidak

ada urusan dengan Allah dan hari akhirat nanti; yakni benih yang

mereka tanam adalah benih duniawi. Mereka melakukan berbagai

amal dan usaha demi mendapatkan hasil di dunia ini. Namun ada

juga seorang manusia melakukan sebuah pekerjaan bukan untuk

mendapatkan hasil di dunia ini yang sifatnya hanya materi, tetapi

demi mendekatkan diri kepada Yang Hak, kepada Allah Swt, dan

ia akan memetik hasilnya di dunia yang lain.

Kaidahnya ialah, jika seseorang menanam benih untuk dunia

itu (akhirat) maka ia akan diberi hasilnya di dunia itu pula dan jika

seseorang menanam benih untuk dunia ini maka ia akan diberi

hasilnya di dunia ini. Al-Quran mengatakan, “Kullan numiddu”

(Kepada masing-masing Kami berikan pertolongan). Kami memberikan

pertolongan Kami kepada mereka yang menginginkan Allah

dan akhirat sehingga Kami akan mengantar mereka agar dapat

mencapai tujuan yang jauh lebih tinggi dari materi itu. Dan juga

Kami akan mengantar mereka yang berkeinginan untuk menikmati

hasil usahanya itu di dunia ini, agar sampai pada tujuan yang

mereka harapkan. Akan tetapi karena dalam dunia ini berlaku

hukum sebab-akibat dan juga saling berebut kepentingan, maka

Allah tidak memberikan jaminan bahwa setiap yang berusaha

keras dalam urusan dunia ia akan memperoleh hasil secara seratus

persen. Karena mungkin saja mereka akan menghadapi berbagai

rintangan: ia menyebarkan benih di dunia ini demi untuk meraih

hasilnya di dunia ini pula, namun di sini pula benih-benih itu rusak

dan busuk terkena hama. Kami tidak memberikan jaminan kepada

mereka sehingga ke mudian Kami mesti memberikan bantuan

secara seratus persen kepada mereka dan juga Kami tidak memberikan

jaminan pada seluruh amal perbuatan mereka, sehingga

kemudian Kami mesti memberikan hasilnya secara seratus persen.

Benih yang ditanam untuk kepentingan duniawi sering kali menghadapi

berbagai bencana, sedangkan benih yang ditebarkan demi

Allah, demi mendekatkan kepada Yang Hak, demi akhirat, (hasil139

p:138

nya) tidak mungkin gagal. Benih tersebut berjalan sesuai dengan

hukum alam dan tidak mungkin menyimpang, bahkan seseorang

akan memperoleh hasil jauh lebih banyak dari jumlah benih yang

ia tanam.

Saya hendak bertanya kepada Anda, “Apa tolok ukur yang

universal itu? Apakah tolok ukur yang universal itu sebuah tolok

ukur yang rasional atau tidak rasional?” Dalam ayat yang lain permasalahan

ini diungkapkan dalam bentuk yang berbeda. Dalam

surat As-Syura' Allah berfirman "Barangsiapa yang menghendaki

keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya

dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami

berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada

baginya suatu kebahagian pun di akhirat". (QS asy-Syura: 20). Ini

adalah bentuk cocok tanam yang diungkapkan oleh Al-Quran, di

mana setiap orang yang menebarkan benih dengan tujuan akhirat—

benih dengan tujuan akhirat bukan berarti seseorang memiliki

dua jenis benih: benih dunia dan benih akhirat. Benih itu dapat

menjadi berbeda disebabkan niat seseorang itu sendiri: ia menanamnya

untuk akhirat atau untuk dunia—maka Kami akan memberikan

hasilnya yang lebih banyak. Dan jika seseorang menanamnya

demi dunia (Al-Quran tidak mengatakan: “Kami akan

memberikan hasilnya lebih banyak dari itu”) maka Kami tidak

akan mengabaikannya, “nu’thihi minha” (Kami berikan kepadanya

sebagian dari keuntungan dunia).(1)

Menurut pandapat Anda, apakah tolok ukur dan ketentuan

ini merupakan satu pendapat yang rasional atau tidak rasional?

Tampaknya tidak ada sedikit pun sanggahan atas ketentuan itu,

dan sekiranya tidak demikian justru itu yang tidak rasional.

Berdasarkan pada pendapat Al-Quran, amalan siapakah yang

diterima dan amalan siapakah yang tidak diterima? Jika seseorang

berusaha demi dunia maka pasti ia memiliki tujuan tertentu, demi

kemasyhuran, ketenaran, kemajuan negara, kebangkitan bangsa

p:139


1- 32 Kita dapat mengambil sebuah kesimpulan dari ayat-ayat Quran itu sebagai berikut: jika seseorang melakukan suatu usaha demi dunia, maka dia tidak akan mendapatkan akhirat. Namun jik seseorang berusaha demi akhirat, maka ia akan mendapatkan dunia Dan ini merupakan satu bentuk perhitungan yang dapat kita simpulkan dari ayat-ayat Al-Quran.

dan tanah air, ia akan mencapai tujuannya. Akan tetapi jika ia

melakukan berbagai usaha hanya demi meraih semua itu, maka

ia tidak boleh berharap akan dapat meraih tujuan yang lain; yakni

ia melakukan usaha bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah,

tetapi untuk mendekatkan diri kepada masyarakat, maka tidak

dapat dikatakan bahwa ia juga mendekatkan diri kepada Allah.

Mungkinkah seseorang yang mengadakan perjalanan ke suatu tujuan,

misalnya saja ia bertujuan pergi menuju kota Qum, namun ia

berjalan ke arah Utara Teheran (Qum terletak di Selatan Teheran—

pen.) kemudian ia mengatakan, “Saya akan pergi ke utara namun

pada akhirnya saya akan tiba di Qum.” Ini mustahil. Jika seseorang

berjalan ke arah utara, maka ia akan sampai di utara. Dan jika ia

berjalan ke arah selatan, maka ia akan sampai di selatan. Setiap

jalan yang dilalui oleh seseorang ia pasti akan sampai pada akhir

jalan itu.

Dalam hal ini keimanan merupakan syarat bagi diterimanya

amal perbuatan seseorang, dan bukannya—al-iyyadzubillah—Al-

Allah berfirman "Aku hanya menerima amalan mereka yang me-

nyanjung-Ku), sedangkan yang lain (yang tidak menyanjung-Ku)

sekalipun amalan mereka sama, Aku tidak akan menerimanya.”

Tidak, mereka yang tidak beriman dan tidak menginginkan Allah,

maka Allah juga bukan miliknya. Mereka yang tidak meyakini

akhirat, dan tidak meng inginkan akhirat, ketika ia tidak menginginkan

akhirat maka tidak mungkin akan diberikan kepadanya.

Dalam akhirat akan diberikan apa-apa yang pernah diinginkan

oleh manusia sewaktu ia berada di dunia. Sama sekali tidak benar

jika ada seseorang yang tidak menginginkan sesuatu, dan tidak

ada tujuan untuk meraihnya lalu kemudian ia diberi sesuatu itu.

Benar, agar amal perbuatan seseorang dapat diterima syaratnya

ialah bukan berarti ia mesti seorang Muslim dan Syiah. Jika seseorang

beriman kepada Allah dan mengenal Allah serta beriman

kepada akhirat, kemudian melakukan amal perbuatan demi Allah

dan akhirat, amal perbuatan itu pada dasarnya diterima oleh Allah

Swt, kecuali jika terdapat faktor perusak yang akan melenyapkan

amal perbuatan itu, di mana faktor perusak itu ialah “penentangan”

dan “kekufuran” yang hal itu nanti akan saya jelaskan. Orang

p:140

yang menemukan penicillin itu, ia telah berjasa kepada masyarakat

dunia, namun apakah tujuan dari itu? Apa pun bentuk tujuannya

maka Allah juga akan mengantarkan ia agar dapat mencapai tujuannya

itu, dan tentunya usaha tersebut bukan kemudian tanpa

tujuan. Mustahil seseorang dapat mencapai sesuatu yang tidak

dituju dan tidak diharapkan, yakni tidak melintasi sebuah jalan

tertentu namun akhirnya ia sampai pada tujuan yang ada di jalan

tersebut. Jika demikian, sebagaimana yang telah saya ungkapkan

bahwa seseorang yang diterangi oleh cahaya Ilahi—atau beriman

kepada Allah Swt—memberikan nilai pada amal perbuatannya.

Berdasarkan pada standar itulah maka ada amalan manusia di dunia

ini yang menjadi hancur berantakan. Dua orang yang melakukan

perbuatan yang sama, yang satu memperoleh cahaya Ilahi dan

yang lain tanpa memperoleh cahaya Ilahi, secara lahiriah tampaknya

amalan keduanya itu adalah sama, namun dari sisi batinnya

perbedaan antara kedua amalan itu bagaikan langit dan bumi.

“…Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan

amal yang saleh dinaikkan-Nya….” (QS Fathir: 10). Ayat ini dapat

ditafsirkan dalam dua bentuk dan kedua bentuk penafsiran itu

adalah benar. Sebagaimana yang sebelumnya telah saya ingatkan,

kita tidak harus mengartikan ayat Al-Quran itu dengan satu arti

saja. Pada ayat tertentu kita akan menjumpai bahwa ayat tersebut

memiliki dua arti, dan keduanya itu adalah yang dimaksudkan

oleh ayat tersebut. Terkadang ada seorang penyair yang membuat

sebuah syair dan syair tersebut dapat memiliki bermacammacam

arti, bahkan sekiranya Anda menanyakan kepada penyair

itu mengenai bentuk yang sebenarnya dari syairnya, maka ia akan

menjawab: “Bacalah menurut selera Anda, dan semuanya benar.”

Sebuah syair milik Sa’di yang cukup terkenal, syair tersebut dapat

dibaca dalam bentuk yang bermacam-macam.

Dari pintu Pemurah dan Pengasih kepada hamba

Unggas di udara disediakan dan ikan di lautan

Artinya: Tuhan yang Maha Pemurah dan Pengasih kepada

p:141

hamba-Nya, menyediakan unggas yang ada di udara untuk manusia

dan juga ikan yang ada di laut an.

Namun syair ini dapat dibaca menjadi beberapa macam lagi.

Di antaranya:

Dari pintu Pemurah dan Pengasih kepada hamba

Unggas, di udara disediakan, dan ikan di lautan

Yakni, udara disediakan untuk unggas, dan lautan disediakan

untuk ikan.

Dari pintu Pemurah dan Pengasih kepada hamba

Unggas di udara, disediakan ikan di lautan

Yakni, ikan yang ada di lautan disediakan untuk unggas yang

ada di udara.

Jika itu kalian gabung-gabungkan maka kalian akan

mendapatkan arti yang lain. Alhasil dalam hal ini kita membacanya

dengan membuat berbagai perubahan susunannya, namun

pada ayat-ayat Al-Quran kita tidak perlu mengubah-ubah cara

membacanya. Sekalipun kita baca dalam satu bentuk saja, maka

kita akan memperoleh bermacam-macam makna.

“…Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan

amal yang saleh dinaikkan-Nya….” Keadilan ialah terciptanya

hubungan baik dalam bidang sosial, dan kezaliman ialah lenyapnya

hubungan baik dalam bidang sosial. Jika ada sekelompok masyarakat

Muslim, beriman, mengenal Allah, mereka merasa sebagai

umat Al-Quran, mereka meneriakkan “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah ,” dan

juga “Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah” serta mengungkapkan

“Aku bersaksi bahwa Ali adalah pemimpin Allah”, namun mereka tidak mengamalkan

p:142

dasar Al-Quran yang menyebutkan, “supaya manusia dapat melaksanakan

keadilan.” (QS al-Hadid: 25). Ketika sebuah masyarakat

isinya adalah caci-maki, tuduh-menuduh, kebohongan, dan kezaliman;

dalam hal ini Al-Quran bukannya menyatakan bahwa masyarakat

semacam itu dapat bertahan lama, namun menyatakan

bahwa masyarakat semacam itu mustahil akan mampu bertahan.

Munculnya berbagai tindakan tercela ini adalah akibat dari

tidak ditegakkannya keadilan. Setiap individu atau masyarakat jika

berjalan pada suatu jalan, maka ia akan sampai pada tujuan yang

ada di ujung jalan itu. Namun jika ia tidak berjalan pada suatu jalan

yang ia harapkan ujungnya, maka ia tidak boleh berangan-angan

akan sampai pada tujuan yang ada di jalan tersebut. Seorang atau

sekelompok masyarakat meterialis jika mereka melintasi jalan duniawinya

secara benar, Al-Quran mengatakan bahwa mereka itu

akan mencapai tujuan duniawinya. Namun sebuah masyarakat

yang mengenal Tuhan, jika mereka melintasi jalan duniawi itu dengan

cara tidak benar maka mustahil mereka akan mencapai tujuan.

Berdasarkan hal inilah, maka ketika mereka, orang-orang

materialis, tidak berjalan di jalan menuju Allah, di jalan yang

mendekatkan diri kepada Al-Hak, di jalan menuju surga, di jalan

yang akan menghasilkan kebahagiaan di dunia sana, adakah

sesuatu yang me reka nantikan? Sebagaimana kehidupan di dunia

ini, jika kita tidak melintasi jalan yang semestinya kita tidak boleh

menantikan kebahagiaan duniawi, begitu juga dengan kehidupan

akhirat kita tidak boleh berangan-angan akan mendapatkan

kebahagiaan di sana. Hal itulah yang menyebabkan setelah ayat

Nur, ayat-ayat berikutnya banyak terfokus—sesuai dengan riwayat

dan yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat tersebut—pada

masalah "petunjuk ilahi" dan selain Allah berfirman "Allah mem-

bimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki,” Allah juga

berfirman, (mereka melakukan yang demikian itu) supaya Allah memberi

balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan

dan supaya Allah menambah karurunia-Nya kepada mereka.”

Ungkapan-ungkapan Al-Quran sangat

menakjubkan! Tidak ada bedanya kalimat “supaya Allah memberi

balasan kepada mereka,” kembali pada “Allah membimbing” atau

p:143

kembali pada “Di rumah-rumah yang telah diizinkan Allah

untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, bertasbih

kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.”

Kita dapat mengatakan bahwa Allah membimbing mereka

dengan tujuan itu, ataupun kita mengatakan bahwa orang-orang

yang mendapat petunjuk melakukan amal perbuatan dengan

benar dan mereka tidak melupakan Allah dengan tujuan “supaya

Allah memberi balasan kepada mereka,” cahaya Allah ini adalah

supaya Allah dapat membalas amal perbuatan mereka dengan

sebaik-baik balasan. Ini adalah sebagaimana yang sebelumnya

telah saya jelaskan; yaitu iman memberikan suatu nilai terhadap

perbuatan seseorang, ia layak untuk mendapatkan balasan yang

semestinya ia terima. Bagaimanakah cara menerimanya? Dari sisi

akhirat tentunya sudah jelas, yaitu dekat dengan Allah, kehidupan

yang kekal dan abadi, kenikmatan surga, ampunan atas dosa-dosa.

Bagaimanakah dari sisi dunia? Al-Quran tidak beranggapan adanya

kontradiksi antara dunia dan akhirat. Apakah antara dunia dan

akhi rat terdapat pertentangan dan kontradiksi?

Saya akan membuat sebuah perumpamaan bagi kalian, kemudian

kalian sendirilah yang menyimpulkan apakah ada kontradiksi

atau tidak. Kita memiliki sebuah perumpamaan “karena telah sampai

seratus maka sembilan puluh adalah milik kita”. Maulawi menyebutkan

suatu perumpamaan yang lain, ia membuat perumpamaan

dengan bulu dan kotoran unta. Ia menyebutkan bahwa, terkadang

Anda memerlukan dan hendak membeli unta dan terkadang Anda

memer lukan dan hendak membeli bulu dan kotoran unta. Jika

Anda menginginkan bulu dan kotoran unta saja, maka Anda akan

mendapatkannya namun Anda tidak akan mendapatkan untanya.

Namun jika seseorang berangkat dan membeli unta maka ia juga

akan memperoleh bulu dan kotorannya. Ia mengatakan: “Akhirat

ibarat serombongan unta, dunia ibarat bulu dan kotorannya.”

Hendaklah kalian menginginkan akhirat—meng inginkan

akhirat bukan berarti agar kalian tidak memperoleh dunia—

dan juga dunia. Namun jika kalian mengejar dunia semata,

maka kalian tidak akan men dapatkan akhirat. Jika ka

p:144

lian menginginkan serom bongan unta maka kalian akan

memperoleh bulu dan kotorannya dalam jumlah yang cukup

banyak. Sebaliknya jika kalian hanya menginginkan bulu dan

kotorannya saja, maka kalian tidak akan mendapatkan rombongan

unta itu. Rombongan unta itu menjadi milik orang lain.

Kapan seseorang akan memperoleh hasil yang cukup banyak

dari amal perbuatannya, mendapatkan kebahagiaan yang abadi,

dekat dengan zat Al-Hak, dijauhkan dari siksaan Ilahi, serta meraih

kebahagiaan dunia? Ketika mereka disinari oleh cahaya Ilahi dan

melakukan berbagai amal perbuatan semata-mata untuk Allah, sehingga

kemudian “Supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan)

yang lebih baik dari apa yang telah mereka ker-

jakan”, yakni mereka akan mendapatkan balasan (pahala) dengan

balasan yang berlipat ganda. Mereka akan diberi pahala sehingga

lebih-lebih, di dunia dan juga di akhirat.

"Dan supaya Allah menambah ka-

runia-Nya kepada mereka”, karena kemurahan-Nyalah, maka Dia

menambah berbagai karunia-Nya; yaitu selain diberi tambahan

pahala, juga diberi tambahan dari karunia-Nya. Merupakan suatu

yang rasional di mana dalam Al-Quran terdapat banyak ungkapan

semacam itu, yaitu jika seseorang berada di jalan Allah, maka ia

akan memperoleh balasan yang lebih banyak, akan mendapatkan

apa yang ia inginkan, “Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan

akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang

ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang

usahanya dibalasi dengan baik.” (QS al-Isra’: 19). Selain itu, “dan

pada sisi Kami ada tambahannya.” (QS- Qaf: 35). Di sini karena

mereka berada di jalan yang suci dan manusiawi, maka mereka

akan diberi berbagai kenikmatan yang sebelumnya tidak mereka

minta dan itu adalah sebagai tambahan. Ayat yang lain menyebutkan:

“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat

akan Kami tambah keuntungan itu baginya.” (QS asy-Syura: 20)

Ada beberapa bentuk ungkapan lain di dalam Al-Quran

yang sangat menakjubkan. Pada sebagian ayat disebutkan,

jika seseorang berbuat jahat maka ia tidak diberi bala

p:145

san melainkan sebanding dengan perbuatan jahat itu dan

jika ia berbuat baik maka ia akan diberi balasan yang berlipat

ganda, “Barangsiapa membawa amal yang baik maka bag-

inya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.” (QS al-An’am: 160).

Ada sebuah logika lain yang terdapat dalam Al-Quran dan itu

ialah “Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan

baginya kebaikan pada kebaikannya itu.” (QS asy-Syura: 23). Ini

sangat menakjubkan! Jika seseorang melakukan perbuatan yang

baik dan bagus, maka Kami akan membuat lebih baik dan lebih

bagus amal perbuatannya itu. Ketika suatu perbuatan berada di

jalan yang diridhai Ilahi maka begitulah adanya. Lakukanlah pekerjaan

di jalan yang diridhai Allah, sekalipun pekerjaan kalian itu

terdapat berbagai kekurangan, namun Allah dengan kemurahan-

Nya akan menghilangkan segala kekurangan, serta melenyapkan

berbagai keburukan amal perbuatan kalian itu, dan menggantinya

dengan keindahan. Allah sangat menyukai perbuatan baik, menutupi

berbagai perbuatan jahat dan kemudian menggantinya dengan

berbagai kebaikan.

Jika demikian ada dua bentuk pembahasan. Pertama, perbuatan

baik yang dikerjakan oleh seseorang, Allah menghitungnya

dengan sepuluh perbuatan baik. Itu dari sisi kuantitas suatu amal

perbuatan, yakni kemurahan Allah menambah kuantitas amal perbuatan

itu. Kedua, dari sisi kualitas amal perbuatan, ialah tatkala

seseorang melakukan suatu amal perbuat an yang kurang begitu

sempurna, maka Allah akan merubah amal perbuatan tersebut nenjadi

bagus dan indah. Semuanya itu merupakan suatu cara agar

manusia menjadi cerah disebabkan cahaya petunjuk Ilahi yang

meliputi semesta alam, juga agar manusia tidak menjadi gelap,

buta dan tersesat. Seluruh kebaikan itu bersumber dari cahaya

iman dan kesadaran akan tujuan utama dari penciptaan, “supaya

Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih

baik dari apa yang mereka kerjakan.”

Allah akan memberi balasan kepada mereka jauh lebih baik

dari yang mereka kerjakan. Maksudnya ialah amal perbuatan yang

mereka kerjakan yang semestinya dapat dikerjakan dengan lebih

p:146

baik, maka dengan cara yang lebih baik itulah mereka akan menerima

balasannya. Semua itu merupakan hasil dari amalan yang

mereka kerjakan dan yang mereka inginkan “dan pada sisi Kami

ada tambahannya,” berkat kemurahan-Nya maka diberi tambahan.

"Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-

Nya tanpa batas,” Allah memberi rezeki kepada mereka yang Dia

kehendaki dengan tanpa perhitungan dan tanpa batasan. Rezeki

bukan berarti berupa roti dan air saja; kasih sayang, rahmat dan

karunia Ilahi adalah juga merupa kan rezeki. Allah memberikan

rezeki yang tanpa batas kepada yang Dia kehendaki. Jelas, kehendak

Ilahi bukan berdasarkan pada undian dan asal-asalan saja. Siapa

saja yang dikehendaki oleh Allah? Dia sendiri telah menjelaskan

mengenai bagaimanakah kehendak-Nya itu dapat terwujud.

Saya akan menyinggung sedikit tentang dua ayat berikutnya,

dan penjabarannya akan saya sampaikan pada pertemuan berikutnya.

Ayat-ayat itu berkenaan dengan amal perbuatan orang-orang

yang beriman. Adapun berkenaan de ngan amal perbuatan orang-

orang-orang kafir, mereka yang tidak beriman, dan bukan saja tidak

beriman tetapi bahkan mereka menunjukkan sikap pertentangan.

Al-Quran mengumpamakan mereka itu dengan tiga bentuk

perumpamaan. Dua perumpamaan itu disebutkan di surah ini.

Dan setiap perumpamaan menjelaskan suatu pembahasan yang

sangat mendasar. Terkadang Al-Quran mengatakan bahwa amal

perbuatan mereka itu laksana butiran-butiran debu yang ditiup

oleh angin yang sangat kencang—pada hari di mana angin bertiup

sangat kencang—setiap satu dari butiran-butiran itu diterbangkan

ke suatu tempat tertentu. Ada pula ayat-ayat yang lain yang isinya

semacam itu, namun bukan berbentuk perumpamaan. “Dan Kami

hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lain Kami jadikan amal

perbuatan itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS al-Furqan: 23).

Jika demikian, terkadang Al-Quran menyatakan bahwa ama-

lan orang kafir adalah sebagai sesuatu yang ada bentuknya

dan bukannya tidak berbentuk, namun begitu angin datang maka

diterbang kan dan disebarkannya dan setiap butir berada di sua tu

tempat tertentu.

p:147

perumpamaan lainnya atas amal perbuatan orang kafir

ialah sebagaimana fatamorgana. Ketika sebuah padang pasir berada

di bawah terik matahari, maka seseorang yang memandangnya

dari kejauhan akan menyaksikan padang pasir tersebut bagaikan

lautan dengan ombak yang airnya bergerak-gerak. Sese orang

yang kehausan akan pergi menuju air tersebut, namun ketika telah

dekat ternyata air itu semakin menjauh darinya sampai akhirnya ia

menyadari bahwa semua itu hanya bayangan belaka; yang ada di

hadapannya adalah hanya pantulan sinar matahari dan sama sekali

tidak terdapat air. Seakan-akan tampaknya terdapat air, namun

hakikatnya sama sekali tidak ter dapat air.

Al-Quran juga mengumpamakan amal perbuatan orang-

orang kafir dengan kegelapan yang dihadapi oleh seseorang pada

malam buta dan berada di tengah lautan yang berombak besar,

ombak datang silih berganti dan langit diselimuti awan gelap, serta

tidak ada secercah cahaya pun, demikian gelapnya sehingga ia tidak

dapat melihat tangannya sendiri, sekalipun tangannya itu di

dekatkan pada kedua matanya. Ia tetap tidak dapat melihat tangannya

sendiri.

Tiga perumpamaan ini masing-masing menyinggung satu

poin khusus. Pertama perumpamaan amal perbuatan orang-orang

kafir itu seperti, "gelap gulita yang tindih bertindih” (QS an-Nur:

40). Sebuah per umpamaan berkenaan dengan amal perbuatan

baik yang mereka kerjakan, di mana mereka mengira bahwa itu

adalah perbuatan baik, namun kemudian mereka menyaksikan

bahwa semua itu hanyalah fatamorgana belaka dan bukannya air.

Dan perumpamaan yang lain ialah, pertama memang sebuah amal

perbuatan yang baik namun akhirnya ia melakukan suatu amal

per buatan yang menyebabkan lenyap dan musnahnya seluruh

amal perbuatan baik yang telah ia kerjakan itu.

Dengan menyebut nama-Mu yang agung, yang Maha Agung,

yang Maha Tinggi, yang Maha Mulia.

p:148

p:149

Bagian 9

150

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang

terkutuk.

«وَالَّذِینَ کَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ کَسَرَابٍ بِقِیعَةٍ یَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّی إِذَا جَاءَهُ لَمْ یَجِدْهُ شَیْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِیعُ الْحِسَابِ (39)»

Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana

di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang

yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya

sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya,

lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan

cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. (QS an-

Nur: 39)

«أَوْ کَظُلُمَاتٍ فِی بَحْرٍ لُجِّیٍّ یَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ یَدَهُ لَمْ یَکَدْ یَرَاهَا وَمَنْ لَمْ یَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ (40)»

Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh

ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan;

gelap gulita yang tindih bertindih, apabila dia mengeluarkan

tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang

tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai

cahaya sedikit pun. (QS an-Nur: 40)

p:150

Ayat-ayat ini membahas mengenai nasib amal perbuatan

orang-orang kafir jika mereka melakukan amal kebai-

kan menurut keyakinan mereka ataupun mereka melakukan perbuatan

jahat, bagaimanakah nasib mereka. Saya akan memaparkan

satu atau dua pembahasan sebagai mukadimah. Pertama, ketika

Al-Qur'an menyebutkan kata "kafir" apa yang dimaksud dengan kafir itu?

apakah yang dimaksud kafir itu setiap orang yang bu-

kan mukmin, setiap yang bukan Muslim dapat kita sebut dengan

"kafir"? dan yang disebut "kafir" oleh Al-Qur'an disini mencakup seluruh

yang non Muslim ataukah kafir dalam arti khusus yakni

yang mencakup non-Muslim yang secara sengaja dan tidak mencakup

non-Muslim yang tidak dengan sengaja?

Para ulama memiliki suatu istilah, yang istilah tersebut bersumber

dari Al-Quran. Orang yang bodoh (jahil) itu ada dua macam

qashir dan muqashshir. Jelas setiap terjadinya suatu pelanggaran

selalu didasari terhadap salah satu dari keduanya itu. Seseorang

yang melakukan suatu pelanggaran bisa jadi ia adalah qash atau

muqashshir. Qashir ialah seorang yang tidak menyadari akan kebodohannya

dan muqashshir ialah seorang yang menyadari akan

kebodohannya, namun sengaja tidak berusaha menghilangkan kebodohannya

itu.

Jika ada seseorang yang tidak mengetahui tentang suatu masalah

atau ia telah melakukan suatu tindak kejahatan, terkadang

itu disebabkan oleh keterbatasan atau ketidaktahuan, yakni karena

keterbatasan sarana, semua itu bukan berdasarkan kesengajaan,

ia tidak memiliki cara lain selain cara itu.(1) Dan terkadang ia

p:151


1- 33 Misalnya saja Anda datang di suatu desa yang ada di kaki gunung yang jarang sekali ada orang yang datang ke sana. Jika di sana Anda menemui seorang pemuda, misalnya saja pemuda tersebut telah berumur dua puluh tahun, kemudian Anda bertanya kepadanya mengenai masalah syak (ragu-ragu) dalam rakaat salat atau berbagai masalah yang berkenaan dengan puasa, maka ia akan memandangi Anda sambil berguman, “Apa yang ia katakan?” Betapa banyak orang yang seumur hidupnya permasalahan itu sama sekali tidak pernah ia dengar bahkan ia tidak mengetahui bahwa ada permasa lahan semacam itu. Orang semacam itu disebut dengan qashir, ia tidak bersalah dan tidak mengetahui, sejak dilahirkan ia hanya me ngetahui lingkungan sekitarnya saja. Ia berada dalam sebuah keluarga yang di dalamnya tidak terdapat salat dan puasa. Dan ketika ia telah beranjak dewasa serta disibukkan dengan pekerjaan seharihari, lalu kedua orangtuanya meninggal dunia. Dan masalah-masalah semacam itu sama sekali tidak terlintas dalam benaknya dan tidak ada seorang pun yang menjelaskan kepadanya mengenai masalah-masalah itu. Secara undang-undang, pemerintah tidak berhak untuk menjatuhkan sanksi hukuman kepada orang semacam ini, disebabkan ia tidak mengetahui dan sepanjang hidupnya ia tidak pernah mendengar yang dinamakan “undang-undang”.

memang sengaja melakukan perbuatan itu; yakni seseorang memahami

dan mengetahui dengan jelas bahwa itu adalah sebuah

tindak kejahatan, namun disebabkan dorongan hawa nafsunya

maka ia melakukan perbuatan itu, yang hal itu bertentangan dengan

yang ia ketahui dan pahami.

Dalam hal ini Al-Quran juga memiliki istilah semacam itu

tetapi bukan dengan sebutan qashir atau muqashshir. Ungkapan

Al-Quran lain dari yang lain, yaitu dengan mengunakan ungkapan

“Al-Musthad'afin” maksudnya ialah orang-orang yang lemah dan

tidak mampu. Sedangan pada ayat-ayat yang lain disebut dengan

“murjauna li amrillah” yaitu “orang-orang yang ditangguhkan sampai

ada keputusan Allah” (QS at-Taubah: 106). Berkenaan dengan

sekelompok masyarakat, kalian jangan menghukumi mereka dengan:

bagaimanakah nasib mereka? Serahkanlah urusan itu kepada

Allah, Allah mengetahui apa yang mesti Dia lakukan terhadap

orang-orang tersebut. Tampaknya ini adalah sebuah kabar gembira

atas adanya rahmat Ilahi.

Mereka itu bisa jadi adalah bukan orang-orang Mus lim. Sekarang

ini di berbagai penjuru dunia—di Afrika, Amerika, Eropa,

dunia bagian timur dan belahan dunia lainnya—terdapat banyak

orang yang sama sekali tidak mendengar nama Islam, dan betapa

banyak wilayah yang dikuasai oleh sistem politik pemerintahan

yang tidak memberi kesempatan masyarakatnya untuk mendengar

nama agama dan nama Tuhan. Mereka itu dari satu sisi dapat

dikatakan sebagai orang kafir, yaitu mereka bukan orang-orang

Muslim. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang menyebut mereka

sebagai kafir yang menentang atau kafir yang membangkang.

Kafir yang menentang adalah kafir yang telah dijelanskan kepadanya

tentang Islam, kemudian ia mengetahui dan memahami, namun

disebabkan bertolak belakang dengan kepentingan, cinta kedudukan,

atau kefanatikan yang ada pada dirinya, tatkala ia menyadari

bahwa langkah-langkah yang sedang ia kerjakan itu bertentangan

p:152

dengan kebenaran, maka ia melawan dan menentang hakikat dan

kebenaran itu. itulah arti kekafiran yang sebenarnya. setiap orang

yang bukan Muslim, sekalipun ia belum mendapatkan penjelasan

tentang Islam—sehingga dengan itu ia menunjukkan sikap

penentangannya terhadap Islam—dari satu arti dapat disebut se-

bagai orang kafir. sedangkan dari arti yang lain kita tidak dapat

mengatakan bahwa pada saat Al-Quran mengatakan “orang-orang

yang kafir”, yang dituju bukanlah kelompok itu (kelompok yang

belum mendapatkan penjelasan tentang Islam—pen.) tetapi yang

dituju hanyalah kelompok yang telah men dapatkan penjelasan

mengenai hakikat dan kebenaran, tetapi mereka bahkan melawan

dan menentangnya. Kata “kufr” artinya ialah “menutupi”. Mereka

berkeinginan untuk menutupi kebenaran, mereka adalah muqashshir,

mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja melakukan

perbuatan itu. Berkenaan dengan mereka itulah Al-Quran mengatakan,

“Dan mereka mengingkari karena kezaliman dan kesom-

bongan mereka padahal hati mereka meyakini kebenarannya.”

(QS an-Naml: 14). Hal ini berarti di dalam jiwa mereka terdapat

keyakinan, namun mereka mengadakan penentangan.

Islam adalah penyerahan dan bukannya mengetahui atau tidak

mengetahui. Mengetahui, dan berhasil menyingkap sebuah

kebenaran masih belum mencukupi bagi seseorang untuk dapat

dikatakan se bagai seorang Muslim. Ketika seseorang berhasil menyingkap

sebuah kebenaran, maka dalam menghadapi kebenaran

itu ia mesti bersikap “kami beriman, kami menyerahkan diri, kami

membenarkan”; yang demikian itu adalah Islam. Dan sekiranya tidak

demikian maka saya akan bertanya kepada Anda apakah setan

itu kafir atau bukan? tidak diragukan lagi setan adalah kafir. Al-

Quran juga menyatakan, “..dan adalah dia termasuk orang-orang

yang kafir.” (QS Shaad: 74). Akan tetapi saya akan bertanya kepada

Anda apakah setan itu—yang oleh Al-Quran disebut sebagai

kafir, mengenal Allah atau tidak mengenal Allah? mengetahui

keberadaan Allah atau tidak mengetahui? Ia lebih mengetahui

dari yang lain. Ia begitu mengenal Allah sampai-sampai ia mengatakan,

“Demi kekuasaan Engkau.” (QS Shaad: 82). Apakah setan

itu mengenal para nabi dan hamba-hamba Allah yang disucikan

p:153

atau tidak mengenal? Setan sangat mengenal mereka dengan baik

karena ia sendiri mengatakan, “kecuali hamba-hamba Allah yang

dibersihkan.” (Qs As-shaffaat:74)

Ada sekelompok hamba Allah yang mereka itu disebut dengan

“hamba-hamba yang disucikan” dan terhadap kelompok itu

setan mengatakan, “Aku tidak dapat mencapai mereka.” Sebegitu

ia mengenal ham ba-hamba Allah yang suci sampai akhirnya ia

menga takan: “Aku tidak dapat mencapai mereka, aku tidak menemukan

titik kelemahan sehingga aku mampu mempengaruhi

mereka.” Bagaimana pula dengan para imam? Ia mengenal para

imam sebagaimana mengenal para nabi. Apakah ia meyakini hari

kebangkitan (ma’ad)? Apakah ia memiliki pengetahuan bahwa

hari kiamat itu ada atau tidak ada? Terhadap semua itu ia memiliki

ilmu dan keyakinan dan mengatakan “beri tangguhlah aku sampai

hari mereka dibangkitkan.” (QS Shaad: 79). Wahai Tuhanku berilah

aku kesempatan sampai hari kiamat.

Meskipun mengenal Allah, para nabi dan juga setan yakin

akan adanya hari kebangkitan—tiga sendi itu merupakan syarat

utama dalam keIslaman—namun Al-Quran tetap mengatakan

bahwa setan adalah kafir. karena tolok uku kekufuran adalah bu-

kan dengan mengetahui atau tidak mengetahui dan tolok ukur

keIslaman juga bukannya seseorang mengetahui atau tidak mengetahui.

Tolok ukur keIslaman ialah seseorang mengetahui dan ia

tunduk serta menyerah pada kebenaran itu. dan tolok ukur kekafi

ran ialah seseorang yang telah dijelaskan kepadanya tentang kebenaran,

namun ia tetap mengadakan perlawanan dan penentangan

terhadap kebenaran itu.

Jika demikian, tatkala Al-Quran mengatakan bahwa amal

perbuatan orang kafir laksana sekumpulan debu yang ter

tiup angin yang kencang dan di tempat lain disebutkan bagaikan

fatamorgana, yang oleh orang-orang kehausan disangka air, dan di

tempat lain diumpamakan dengan kegelapan yang ada di lautan;

kesemuanya itu berkenaan dengan orang-orang yang telah dijelaskan

kepadanya kebenaran, lalu mereka menentang dan melawan

kebenaran itu. Al-Quran mengabadikan sikap mereka itu dalam

p:154

sebuah ayat: “(dan ingatlah) ketika mereka orang-orang musyrik berkata

Ya Allah, jika betul ini adalah kebenaran dari sisi Engkau,

maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah

kepada kami azab yang pedih.” (QS al-Anfal: 32). Al-Quran menyatakan

dan ingatlah tatkala kalian mengangkat tangan ke langit

dan seraya mengatakan, “Wahai Tuhan kami, jika ucapan Muhammad

yang mengaku sebagai nabi ini adalah kebenaran dan ia

benar-benar seorang nabi dan yang ia ucapkan adalah kebenaran

yang datangnya dari Engkau,(1) maka hujanilah kami dengan batu kerikil. Binasakanlah kami, sehingga kami tidak menyaksikannya.”

Inilah arti kekufuran. Dengan mengatakan, “Jika ini adalah sebuah

kebenaran maka binasakanlah kami sehingga kami tidak menyaksikannya.”

Inilah arti kekufuran. Dengan mengatakan "jika ini adalah sebuah kebenaran

maka binasakanlah kami sehingga kami tidak menyaksikannya".

orang non- Muslim yang mana mereka adalah qhashir, dan menurut

istilah Al-Quran disebut dengan al-Musthad'afin yaitu: orang-orang

yang lemah, “mur-jauna li amrillaah” (orang-orang yang

ditangguhkan sampai ada keputusan Allah)—yang mungkin seba-

gian besar orang-orang kafir dan non Muslim adalah karena hal

itu, Allah yang lebih Mengetahui—tidak ada pembahasan terhadap

diri mereka itu. Seorang perempuan, anak-anak, dan seorang

laki-laki desa yang buta huruf serta bertempat tinggal di suatu

daerah terpencil, yang kebenaran sama sekali masih belum sampai

kepadanya, dan bahkan terkadang para cendekiawan pun mereka

mengalami hal semacam itu.

Dalam buku Al-adlul Ilahi saya menukil sebuah cerita yang

mereka tulis berkenaan dengan “Descartes”. Descartes adalah

seorang filosof terkenal, yang filsafatnya adalah dimulai dari "keragu-

raguan" yakni jalur filsafat yang ia tempuh, lama kelamaan ia

merasakan bahwa dirinya tengah menemui jalan buntu. Kemudian

ia mengesampingkan semua jalur yang telah ia tempuh dan

mengatakan, “Aku akan mengulangi lagi dari awal.” Kemudian

mulailah ia ragu-ragu dan mengata kan, “Aku akan ragukan segala

p:155


1- 34 Di sini ketika seseorang mengangkat kedua tangannya semestinya ia mengatakan, “Wahai Allah jika sekiranya nabi ini datangnya dari sisi Engkau, maka sinarilah hati kami ini dengan cahaya-Mu, dan beri kami petunjuk sehingga kami dapat senantiasa mengikutinya.”

sesuatu, sehingga aku mengetahui dari manakah datangnya keyakinan

itu.” Ia tidak hanya meragukan hal-hal yang agamis, bahkan

ia meragukan berbagai hal lainnya. Ia mengatakan, “Kemungkinan

Tuhan tidak ada, nabi tidak ada, bahkan kemungkinan dunia tidak

ada, warna, berat, panas juga tidak ada, kemungkinan kesemuanya

itu hanyalah khayalan belaka. Mengapa tidak?? Karena seseorang

ketika di alam mimpi melihat sebuah dunia yang sangat besar dan

luas, dan dalam mimpi itu ia benar-benar yakin bahwa yang dilihatnya

itu adalah sesuatu yang nyata, namun tatkala ia terbangun

ternyata semua itu hanyalah khayalan belaka.” Kemudian ia mengatakan,

“Namun sekalipun aku meragukan segala hal, tetapi aku

tetap tidak dapat meragukan satu hal yaitu terhadap bahwa ‘aku

merasa ragu’. Aku tidak dapat me ragukan bahwa ‘aku tengah merasa

ragu’. Jika demikian maka ada suatu keraguan dan orang yang

merasa ragu itu pun ada, yaitu aku sendiri. Jika demikian maka

seandainya di dunia ini tidak terdapat sesuatu apa pun, maka aku

dan keraguanku adalah ada.”

Kemudian ia melanjutkan, “Aku telah menemukan sebuah titik

terang. Sekarang aku akan meletakkan kakiku di titik ini, yang

akan aku jadikan sebagai awal anak tangga untuk kemudian selangkah

demi selangkah aku akan maju ke depan.” Kemudian ia

mu lai meneliti dirinya sendiri dan berkata, “Aku ada, keraguanku

juga ada. Apakah jika tidak ada sesuatupun yang ada, aku dan

keraguanku dapat terwujud, ataukah mesti ada sesuatu yang lain

sehingga aku dan keraguanku itu menjadi ada?” Ya, mesti ada

sesuatu yang lain. Sedikit demi sedikit ia mulai melangkah ke depan—

kisahnya cukup panjang—dan ia melihat bah wa keberadaan

Tuhan tidak mungkin dapat diingkari, Tuhan adalah ada, roh

adalah ada, tubuh dan mated juga ada, kemudian sedikit demi

sedikit ia mulai membenarkan berbagai hal yang sebelumnya telah

ia yakini, dan banyak pula hal yang tidak ia yakini. Kemudian ia

mulai mengadakan kajian terhadap agama.

Di sini orang akan menyaksikan bahwa ia adalah seorang

yang bijaksana, yakni setiap orang akan benar-benar merasakan

bahwa ia adalah seorang yang bijak sana. Ia mulai mengadakan

kajian terhadap agama yang ada di sekitarnya dan kemudian ia

p:156

meyakini bahwa agama Nasrani adalah agama yang terbaik dari

berbagai agama lainnya. Namun kemudian ia berkata, “Aku mengatakan

bahwa agama Nasrani adalah satu-satunya agama yang

terbaik yang ada dimuka bumi ini, karena aku masih belum mengetahui

agama apa saja yang ada di muka bumi ini—telah saya

paparkan bahwa tiga ratus lima puluh tahun yang lalu tidak seperti

masa-masa sekarang ini. Dan pada masa sekarang pun masih

banyak kebenaran yang belum terungkap dengan jelas di seluruh

penjuru dunia, apalagi pada masa itu—kemungkinan di dunia ini

ada agama-agama selain agama Nasrani yang agama-agama itu

lebih baik dari agama Nasrani. “Sekarang aku mengatakan bahwa

agama Nasrani adalah agama terbaik di antara berbagai agama

yang aku ketahui.” Dan yang sangat menakjubkan ialah ketika ia

hendak menyebutkan suatu perumpamaan atas suatu daerah yang

terpencil, yang ia tidak mengetahui apa agama yang ada di daerah

tersebut, ia mengatakan, “Kemungkinan di Iran ada sebuah agama

yang jauh lebih baik dari agama Nasrani.”

Pribadi semacam itu, yang tidak ada rasa kefanatikan dan

hatinya senantiasa terbuka bagi kebenaran, sekalipun ia tidak

menemukan kebenaran, ia termasuk kelompok qashiir dan al-

musthad'afin, dan ia tidak dapat digolongkan kedalam orang kafir

yang dengan artian ia telah mendapatkan kebenaran, kemudian

ia mengadakan penentangan, perlawanan dan penolakan terhadap

kebenaran itu.

Setelah kita mengetahui pembahasan ini, saya akan memaparkan

suatu pembahasan berkenaan dengan diterimanya amal-amal

perbuatan seseorang di sisi Allah, yang menurut istilah Al-Quran

naiknya amalan manusia. Sebenarnya yang dimaksud dengan

diterimanya amal adalah naiknya amal perbuatan itu. Penerimaan

Allah tidak sama dengan penerimaan kita yang merupakan

persetujuan atas sebuah transaksi. Wujud dan bentuk nyata dari

amalan-amalan seseorang itu berhubungan erat dengan keikhlasan,

niat, dan kebersihan jiwanya. Pada suatu saat ada amalan yang

naik ke sisi Allah, “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang

baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS Faathir: 10). Pada

suatu saat ada pula amalan seseorang yang tidak naik namun bah

p:157

kan menurun. “…karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka

tersimpan dalam sijjin.” (Qs Al-Muthaffifiin:7)

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa salat yang kita kerjakan—

kita tidak mengetahui alam gaib, na mun alam gaib itu jauh

lebih luas, lebih teratur dan perhitungannya lebih rinci dari alam

nyata ini—dapat berbentuk sekumpulan cahaya yang naik ke atas

menembus dan merobek tujuh tirai atau tujuh penghalang. Terkadang

ada juga salat kita yang ketika para malaikat yang bertugas

membawa naik salat tersebut, ketika mereka menyerahkan salat

itu kepada yang ada di posisi yang tinggi maka yang ada di posisi

yang tinggi itu akan mengatakan, “Bungkuslah dengan kain”, lipatlah

dengan kain dan lemparkanlah ke kepala orang yang mengerjakannya.

Banyak sekali salat yang semestinya naik tetapi malah turun.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa seseorang terkadang

melakukan suatu perbuatan dengan niat qurbatan ilallah (untuk

mendekatkan diri kepada Allah), yaitu dengan memberikan bantuan

kepada seseorang yang memerlukan. Amal perbuatannya itu

adalah sebuah amal yang penuh dengan cahaya dan berada di posisi

yang tinggi, namun kemudian setan menghembuskan bisikannya,

amal perbuatan yang semula tanpa didasari dengan niatnya,

amal perbuatan itu dikerjakan dengan tulus hati, tetapi setelah itu

ia melakukan riya. Ketika duduk dalam sebuah majelis, ia ingin

sekali mengungkapkannya, seperti kucing yang terkurung dan

berusaha untuk melepaskan diri, kemudian, “Ya, saya mengetahui

hal itu, si fulan sangat memerlukan bantuan dan saya telah

membantunya!” Ketika demikian maka akan muncul perintah

untuk menurunkan amal perbuatan ke derajat yang lebih rendah.

Perintah ini dapat terjadi berulangkali. Dan pada kali ketiga maka

akan muncul perintah untuk menjatuhkan amal perbuatan itu

dan mencampakkannya ke sijjin dan jahannam. Amal baik tersebut

sekarang berada sejajar dengan perbuatan minum-minuman

keras. Amal perbuatan yang semula naik, kemudian diperintahkan

untuk diturunkan.

Jika demikian, maka amal perbuatan seseorang memiliki

sebuah sistem yang benar-benar nyata. Agar amal perbuatan seseorang

dapat naik maka ia mesti memiliki tujuan untuk menai

p:158

kkannya, yaitu dengan mengucapkan, “Demi mendekatkan diri

kepada Allah.” Agar amal perbuatan seseorang dapat naik, maka ia

harus memiliki niat yang tulus dan ikhlas dan juga disertai dengan

niat untuk menaikkan amal perbuatan itu. Jika tidak demikian,

maka mustahil amal perbuatan seseorang itu dapat naik, sedangkan

dia tidak ada niat untuk menaikkannya. Inilah yang saya

katakan bahwa seseorang minimal mesti memiliki keimanan kepada

Allah dan akhirat—yang merupakan syarat dari niat mendekatkan

diri—dan jika seseorang sama sekali tidak beriman kepada Allah

dan akhirat, ia tidak boleh berharap amal perbuatannya akan

dapat naik. Ketika ia sendiri tidak menaikkan amal perbuatannya

itu bagaimana mungkin perbuatan itu dapat naik ke atas? Hal ini

persis seperti seseorang yang melemparkan sebuah batu ke bawah,

lalu ia mengatakan, “Mengapa batu itu tidak naik ke atas?” Ia tidak

melempar batu itu ke atas bagaimana mungkin batu itu dapat ke

atas. Sebatas ini, keimanan kepada Allah dan akhirat merupakan

syarat utama diterima dan naiknya amal perbuatan, namun ada

beberapa hal yang merupakan perusak, yakni amal perbuatan yang

baik itu dirusak dan dimusnahkan.

Di antara faktor perusak itu adalah penentangan dan kekufuran

sebagaimana yang telah saya paparkan. Jika seseorang mengadakan

perlawanan dan penen tangan terhadap kebenaran, reaksi

dari penentangan itu ialah menghapus amal perbuatan yang pernah

ia kerjakan. Seorang Nasrani yang konsisten terhadap ajaran

agamanya mungkin saja ia melakukan suatu amal perbuatan dengan

niat mendekatkan diri kepa da Allah dan jelas amal pebuatannya

itu akan senantiasa ada di sisi Allah, namun jika orang tersebut

pada kesempatan lain ia mengadakan penentangan dan perlawanan,

yakni tatkala ia mendengar sabda Rasulullah Saw lalu seketika

itu pula ia mengeluarkan reaksi penentangan, kekufuran, maka

sikap semacam itu akan merusak dan memusnahkan semua amal

perbuatannya. Demikian pula seorang Ahlusunah bisa jadi ia telah

melakukan suatu amal perbuatan dengan niat mendekatkan diri

kepada Allah dan amal perbuatannya itu bersih dan suci serta naik

ke atas; namun jika masalah kepemimpinan Amirul Mukminin as

dipaparkan kepadanya dan ia tidak menerimanya, atau bahkan ia

p:159

mengadakan penentangan serta perlawanan, maka pasti seluruh

amal perbuatannya akan hilang dan musnah.

Bukan hanya penentangan dan perlawanan saja yang dapat

memusnahkan amal perbuatan, namun banyak hal yang lain yang

dapat merusak dan memusnahkan amal perbuatan. Kita tidak

boleh mengira bahwa musnahnya amal perbuatan itu hanya berhubungan

dengan orang-orang yang menentang kebenaran saja.

Penentangan itu tidak harus pada nubûrwah, imamah ataupun

tauhid, namun ada juga hal yang lain. Bisa saja seseorang melakukan

penentangan dalam bentuk yang lain.

Misalnya saja ada seseorang yang menanyakan kepada saya

suatu persoalan, kemudian saya memberikan jawabannya. Kemudian

orang tersebut menanyakan permasalahan itu kepada orang

lain, kemudian orang itu memberikan jawaban yang berbeda. Lalu

ia mengatakan kepada saya bahwa orang itu memberikan ja waban

demikian. Sekalipun saya mengetahui dengan jelas bahwa jawaban

orang itu adalah yang benar, na mun bukannya saya merendahkan

diri dan mengatakan, “Maaf saya keliru dalam memberikan jawaban,

jawaban dialah yang benar”, tetapi malah saya berusaha untuk

mencari-cari alasan dalam usaha membenarkan jawaban yang saya

berikan, dan berusaha dengan berbagai cara untuk merusak dan

meruntuhkan jawaban orang itu. Ini adalah di antara bentuk dari

penen tangan dan perlawanan itu. Dengan demikian maka salat

saya bukannya salat yang benar, disebabkan saya sangat egois dan

mengadakan penentangan, dan tidak bersedia untuk mengakui

jawaban orang lain yang benar-benar lebih sempurna dari jawaban

yang saya berikan, serta mengakui kesalahan yang telah saya

lakukan.

Iri hati dan dengki juga demikian. Nabi mulia Saw bersabda,

“Dengki itu memakan amal kebajikan sebagaimana api memakan

kayu bakar.”(1)

Dengki itu memakan berbagai amal kebajikan sese orang sebagaimana

api memakan kayu, yakni seseorang telah melakukan

berbagai kebajikan dan dalam catatan amalnya tercantum berbagai

p:160


1- 35 Ushul al-kafi kitab iman dan kufur bab dengki, hadis no.2

kebajikan, kemudian ia dengki pada sesuatu maka seluruh amal

kebajikannya itu akan terhapus. Dalam sebuah hadis Rasulullah

Saw menjelaskan mengenai beberapa amalan dan zikir, beliau bersabda,

“Siapa saja yang menjalankan amalan dan mengucapkan

zikir, maka Allah akan menanamkan baginya pepohonan di surga.”

Salah seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah jika demikian

maka kita akan banyak memiliki pepohonan di dalam surga.” Rasulullah

Saw menjawab, “Ya, asalkan kalian tidak melemparkan api

dari sini, sehingga membakar semuanya.”

dengan demikian maka jika orang kafir(1) tidak beriman kepada

Allah, tidak beriman pada hari kiamat, ia melakukan amal perbuatan

bukan untuk alam yang di atas, maka amal perbuatannya

tidak akan naik ke atas. Dan demikian juga jika seseorang melakukan

berbagai amal kebajikan, kemudian ia melakukan kekufuran

dan penentangan, maka amal perbuatan yang semula mendapatkan

pahala, akan menjadi musnah dan lenyap sebagaimana

amal kebajikan kita yang lenyap disebabkan dengki. Amal kebajikan

yang kalian kerjakan yang tanpa didasari demi Allah, demi

mendekatkan diri, maka semua itu kosong, sia-sia dan hanya fatamorgana

belaka. Kalian mengira telah melakukan amal kebajikan,

tetapi ketika kalian membuka mata di alam sana, kalian akan

menyaksikan bahwa amal ke bajikan yang telah kalian lakukan itu

sama sekali tidak memiliki arti dan mati. Semua amal kebajikan

itu hanya berupa fatamorgana yang ia sangka air.

celakalah mereka yang kafir, yang kekafirannya adalah kafir yang menentang

dan kafir yang melawan, lalu kemudian melakukan perbuatan dosa.

orang kafir yang melakukan perbuatan dosa disaat kekafirannya itu adalah

"Gelap gulita yang tindih bertindih.”

Bagi kelompok ini Al-Quran membuat satu perumpamaan yang

sangat menakjubkan tentang keadaan mereka, bahwa mereka itu

kegelapan di dalam kegelapan, dan mengatakan: “atau seperti gelap

gulita di lautan yang dalam.” Al-Quran membuat perumpamaan

dengan lautan dan lautan itu adalah lautan lujji (yang dalam), yakni

sebagian dari lautan itu atau seluruhnya adalah cukup dalam.

p:161


1- 36 Yang berarti non-Muslim dan mencakup orang-orang ahlul kitab dan lain sebagainya.

Mengapa Al-Quran membuat perumpa maan dengan lautan dan

menyebutkan dengan kege lapan yang ada di lautan yang dalam,

yakni di kedalaman lautan itu? Supaya jika kita menginginkan untuk

membuat sebuah perumpamaan bagi suatu tempat yang sama

sekali tidak terdapat cahaya dan seseorang berada pada tempat

yang seperti itu, maka ibarat seorang yang ditenggelamkan sampai

ke dasar lautan yang sangat dalam.

Pada masa sekarang ini telah dibuktikan dengan lebih sempurna

bahwa cahaya dapat menembus ke kedalaman air. Sebagaimana

cahaya dapat menerangi udara, ia juga dapat menerangi

air. Jika Anda menyaksikan dasar kolam yang berisi air yang jernih,

karena cahaya menembus air maka ia menerangi dasar kolam itu.

Namun di lautan yang sangat dalam yang kedalamannya lebih dari

beberapa ribu meter, di sana sama sekali tidak dapat ditembus oleh

cahaya, yang ada hanyalah kegelapan total.

Pada masa lalu mereka mengira bahwa di dasar samudra Pa-

sifik tidak terdapat kehidupan- karena cahaya tidak dapat menem-

bus sampai ke sana, selain itu tekanan air juga sangat kuat, namun

pada masa sekarang ini berhasil diketahui bahwa sekalipun cahaya

matahari tidak mampu menembus sampai ke dasar samudra itu,

tetapi di sana ada kehidupan. Allah menciptakan berbagai binatang

yang ada di dasar samudra itu dengan cara binatang itu sendirilah

yang menghasilkan cahaya dari tubuhnya, dan ia memanfaatkan

cahaya yang dihasilkan dari dalam tubuhnya itu.

Oleh karena itu, untuk suatu tempat yang di sana sama sekali

tidak terdapat cahaya, dapat dibuat sebuah perumpamaan, ibarat

seseorang dibawa ke kedalaman bahrun lujjiyun (lautan yang

sangat dalam). Al-Quran tidak hanya mengatakan “bahrun” (lautan)—

yang mencakup seluruh lautan sehingga kemudian ada yang

mengatakan bahwa ada juga dasar lautan yang mendapatkan cahaya—

namun mengatakan, “Bahrun lujji yun”, atau “lautan yang

sangat dalam”, menunjukkan adanya lautan yang kedalamannya

tidak dapat ditembus oleh cahaya.

Namun Al-Quran hendak mengatakan bahwa faktor-faktor

penyebab kegelapan telah menguasai seluruh diri orang-orang

p:162

kafir, yang masing-masing menenggelamkan mereka ke dalam

kegelapan. Bukan hanya mereka tenggelam dalam satu kegelapan,

na mun mereka berada dalam berbagai kegelapan. Banyak faktor

penyebab kegelapan yang saling tindih menindih, yang masingmasing

menghalangi sampai nya cahaya ke kedalaman itu. Di dasar

laut yang sangat dalam, yang di sana tidak terdapat cahaya, selain

bagian atas laut senantiasa dipenuhi oleh berbagai gelombang

yang tinggi sampai setinggi gunung—yang ini juga merupakan

satu penghalang bagi cahaya. Lebih dari itu, angkasa juga dipenuhi

dengan awan, yang awan itu juga menghalangi sampainya cahaya

dari matahari, bulan, bintang dan lain sebagainya. Betapa kegelapan

di bawah kegelapan, “gelap gulita yang tindih bertindih.” Sebuah

perumpamaan yang mereka itu ditutupi oleh berbagai kegelapan,

seakan-akan seperti seorang yang berada di dasar laut yang

sangat dalam itu yang terdapat berbagai faktor yang menghalangi

sampainya cahaya ke dasar laut tersebut. Persis kebalikan dari perumpamaan

yang kita baca ayat an-Nur, yang telah saya sebutkan

bahwa perumpamaan itu dapat disimpulkan ke berbagai bentuk

dan di antaranya, sebagaimana yang terdapat dalam riwayat,

adalah merupakan sebuah perumpamaan bagi orang-orang yang

beriman.

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS an-Nur: 35)

Di sana dibuat sebuah perumpamaan berkenaan dengan

manusia yang berada di sebuah cahaya yang di atasnya terdapat

cahaya. cahaya fitrah mereka, cahaya kenabian, cahaya diatas

cahaya. Ada juga orang yang lain yang berada dalam kegelapan

dan diatasnya ada kegelapan. cahaya fitrahnya telah padam, ini

p:163

merupakan suatu bentuk kegelapan. Kemudian ditambah dengan

kegelapan penentangan dan penolakan. Dan kegelapan yang lain

adalah kegelapan yang muncul dari perbuatan dosa dan maksiat

yang berulang-ulang kali, yang semacam ombak dan juga berbagai

kesombongan yang ada pada jiwa seseorang “yang diliputi

oleh ombak, yang diatasnya ombak (pula) ” juga merupakan suatu

kegelapan. Karena setiap kegelapan merupakan lawan dari setiap

cahaya; cahaya kenabian, cahaya imamah, cahaya wahyu. Ketika tidak

terdapat cahaya wahyu, maka di situ akan terdapat kegelapan.

Cahaya amal yang saleh (sebagaimana yang pernah saya paparkan

“dan amal yang saleh dinaikkan-Nya,” pengaruh dari amal saleh ialah

menerangi hati seseorang). Ketika seseorang tidak melakukan

amal saleh, lawannya adalah kegelapan. Pada saat satu kelompok

yang diliputi oleh cahaya yang di atasnya ada cahaya, dan kelompok

yang lain diliputi oleh kegelapan yang di atasnya ada kegelapan.

Jika demikan maka dua perumpamaan yang disebutkan oleh

Al-Quran ialah pertama, perumpamaan amal perbuatan orang

kafir laksana fatamorgana. yang dimaksud di sini adalah amal

perbuatan baik yang senantiasa mereka nanti-nantikan (balasannya—

pen.). Kasihan! Dugaan kalian salah, yaitu ketika kalian tidak

memiliki keimanan kepada Allah secara benar, ketika kalian

tidak mendapatkan cahaya Ilahi maka amal perbuatan kalian tidak

akan berupa air yang akan menghilangkan rasa haus kalian.

Perumpamaan yang kedua ialah sebuah perumpamaan atas dosadosa

yang telah mereka kerjakan. Berkenaan dengan mengapa

Al-Quran menyebutkan dua bentuk perumpamaan, para mufasir

memberikan berbagai pendapat dan sebagian besar pendapat mereka

adalah—dan ini adalah yang terbaik—mereka mengatakan

bahwa perumpamaan pertama adalah untuk perbuatan baik mereka

dan perumpamaan kedua adalah untuk perbuatan buruk mereka

yaitu kegelapan di dalam kegelapan.

Telah saya jelaskan bahwa di dalam Al-Quran ada sebuah pe-

rumpamaan yang lain bagi amal perbuatan orang kafir Al-

Quran mengumpamakan amal perbuatan mereka itu dengan se

p:164

kumpulan debu yang ditiup angin yang kencang kemudian hilang

beterbangan. Pada pertemuan yang lalu telah saya singgung bahwa

perumpamaan ini berhubungan dengan per buatan baik yang telah

mereka kerjakan dengan niat untuk mendekatkan diri, dan mereka

benar-benar telah mengerjakannya namun kemudian disebabkan

penentangan, kekufuran dan berbagai hal lainnya, maka semua

itu menyebabkan lenyapnya amal per buatan mereka. Alhasil Al-

Quran memiliki sebuah ketentuan, baik bagi orang-orang Muslim

maupun orang-orang kafir yaitu, "Dan Kami hadapi segala amal

yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu

yang berterbangan.” (QS al-Furqan: 23). Al-Quran menyatakan

bahwa betapa banyak kumpulan amal kebajikan yang kalian miliki

namun kemudian Kami datang dan menyebarkan semua itu

bagaikan debu.

Jelas Allah sama sekali tidak akan melenyapkan perbuatan

baik yang senantiasa diiringi dengan per buatan baik; yakni sistem

penciptaan-Nya ialah ketika mereka melakukan perbuatan dosa,

maka pengaruh dari dosa itulah yang akan melenyapkan dan memusnahkan

seluruh amal kebajikan yang telah mereka kerjakan.

Ini adalah tiga bentuk perumpamaan yang disebutkan oleh Al-

Quran berkenaan dengan amal perbuatan orang-orang kafir seb-

agaimana yang telah saya jelaskan, bahwa maksud dari orang-orang

kafir adalah bukan setiap orang yang non-muslim, tapi mereka yang

yang menentang, melawan, menolak dan memerangi kebenaran.

Ayat berikutnya juga menjelaskan mengenai adanya cahaya

yang merupakan kebalikan dari dua ayat yang sebelumnya, yang

menjelaskan mengenai ketiadaan cahaya, ketiadaan cahaya wahyu,

ketiadaan cahaya fitrah, yang disebut dengan kegelapan. Namun

semua itu bukan hanya berhubungan dengan manusia, atau bahkan

berhubungan dengan manusia yang menentang kebenaran,

akan tetapi berhubungan dengan seluruh benda yang ada di alam

ini yang keseluruhan itu menjadi terang karena cahaya Allah. Setiap

benda yang ada di alam ini mengenai dan memuji Tuhannya.

Dan untuk pertama kalinya Al-Quran menyebutkan, bahwa jika

kalian memiliki hati dan pendengaran yang peka, kalian akan me

p:165

nyaksikan bahwa seluruh benda yang ada di alam ini mengenai,

menyebut dan memuji Allah. Insya Allah penafsirannya akan saya

jelaskan pada pertemuan yang akan datang.

Salawat dan salam atas Muhammad dan keluarganya yang suci.

p:166

p:167

Bagian 10

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang

terkutuk.

«أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ یُسَبِّحُ لَهُ مَنْ فِی السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالطَّیْرُ صَافَّاتٍ کُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِیحَهُ وَاللَّهُ عَلِیمٌ بِمَا یَفْعَلُونَ (41)»

Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepadanya-Nya bertasbih

apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan

mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara)

salat dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka

kerjakan. (QS an-Nur: 41)

p:168

Ayat ini berbicara kepada Rasul yang mulia Saw. Allah

berfirman, "Tidaklah kau lihat-yakni engkau melihat

dan menyaksikannya—segala yang ada di langit dan yang ada di

bumi, dan juga unggas yang tengah mengepak-ngepakkan sayapnya,

semuanya itu adalah merupakan tasbih terhadap Ilahi Yang

Maha Suci. “Masing-masing telah mengetahui (cara) salat dan tasbihnya,

dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan,”

masing-masing mengetahui cara melaksanakan salat dan bertasbih,

dan Allah juga mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Ayat-ayat yang telah saya tafsirkan pada beberapa pertemuan

kita ini, sejak ayat pertama dari surah an-Nur sampai pada

ayat yang sekarang tengah kita baca ini, kita menyaksikan bahwa

keseluruhannya berkenaan dengan cahaya dan kegelapan. Jelas

maksud dari kegelapan adalah tidak memanfaatkan cahaya yang

ada dan hanya berkenaan dengan manusia, yang mana Allah telah

mengutus salah satu cahaya-Nya dan manusia berkewajiban untuk

menerangi dirinya de ngan cahaya itu—namun mereka tidak

menggunakannya. Dari situlah menculnya kegelapan, yakni manusia

berkewajiban untuk menggunakan cahaya wahyu dan kena-

bian, dengan bantuan cahaya fitrahnya, dan ketika manusia tidak

menggunakan cahaya itu, maka ia akan berada dalam kegelapan.

Cahaya Allah meliputi semesta alam, “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”,

seluruh alam menjadi terang disebabkan

cahaya Allah dan seluruh alam mengetahui keberadaan Allah,

karena dalam suasana yang terang benderang dan bukan

dalam kegelapan dapat diketahui Pencipta dan Pemeliharanya.

Dalam ayat ini disebutkan sebuah pembahasan yang pembahasan

itu banyak disebutkan pada berbagai ayat yang ada dalam

Al-Quran, dalam bentuk ungkapan yang bi¥ADi antara masalah

yang dititikberatkan oleh Al-Quran adalah masalah tasbih dan

pujian berbagai makhluk kepada Allah. Al-Quran, di sebagian

ayatnya menjelaskan bahwa seluruh ciptaan yang ada di alam ini

senantiasa bertasbih dan memuji nama Allah; yakni menurut

logika Al-Quran. Besi dan kayu bertasbih kepada Allah. Berbagai

ciptaan yang ada di langit juga bertasbih ke pada Allah. Setiap

p:169

molekul dari molekul-molekul air, setiap atom dan setiap ciptaan

yang lebih kecil dari atom senantiasa bertasbih kepada Allah.

Sekarang kita mesti membuktikan apakah Al-Quran mengatakan

semacam itu atau tidak? Kita akan baca terlebih dahulu

ayat-ayat itu; kemudian bagaimanakah manusia berdasarkan pada

akal dan pemahamannya mampu untuk mendekatkan diri dengan

logika Al-Quran? Dengan demikian kita memiliki dua bentuk

pembahasan. Pertama, apakah Al-Quran menjelaskan permasalahan

ini atau tidak? Kedua, manusia dengan berbagai usaha yang

telah mereka lakukan, sejauh manakah kedekatan mereka pada

hakikat?

Al-Quran menjelaskan permasalahan ini dalam berbagai

ayatnya, dengan bentuk yang berbeda-beda. Saya akan paparkan

sebagian dari ayat-ayat itu yang saya ingat. Pertama, dalam surah

Bani Israil—kemungkinan ini merupakan ayat yang paling jelas

dan paling terang dalam memberikan penjelasan. Ayat itu ialah,

“Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya,

tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih me reka.” (QS al-Isra’:

44). Tidak ada suatu pun “in min syaz’in” sama dengan “ma min

syai’in” melainkan ber tasbih kepada Allah, tasbih yang diiringi

dengan pujian, namun kalian tidak mengetahui tasbih mereka.

Kalian jangan mengatakan, “Saya telah meletakkan telinga kita

pada kayu dan pohon ini, namun saya tidak mendengar suara tasbihnya.”

Demikian juga dengan tasbihnya anggota tubuh. Menurut

pendapat Al-Quran setiap sel dari berbagai sel kulit, daging dan

tulang dan setiap rambut dari seluruh rambut yang ada pada seluruh

tubuh saya ini, senantiasa bertasbih kepada Allah, namun

saya tidak mendengar semua itu. Al-Quran mengatakan bahwa

kalian tidak akan dapat mendengarnya, bahkan dengan menggunakan

ungkapan “kalian tidak dapat memahaminya”. Al-Quran bukan

mengatakan, “kalian tidak mendengar” namun mengatakan,

“kamu sekalian tidak mengerti” tentu terdapat perbedaan antara

dua kalimat ini. Jika “kalian tidak dapat mendengar” maka kemungkinan

kita dapat memahami bahwa tasbih itu ada, sedangkan

kita tidak dapat mendengarnya. Sebagaimana halnya kita sekarang

ini mengetahui bahwa di udara ini ter dapat berbagai gelombang

p:170

radio yang dipancarkan dari berbagai stasiun pemancar yang ada

di seluruh penjuru dunia, namun kita tidak dapat mendengar nya.

Namun Al-Quran mengatakan, “Kalian tidak dapat memahami hal

itu”, bukan saja kalian tidak dapat mendengarnya, tetapi kalian tidak

dapat me mahaminya, pemahaman kalian sekarang ini sangat

dangkal.

Sebelum kita mengadakan pembahasan pada ayat-ayat yang

lain, saya akan menjelaskan mengenai per bedaan antara kata “tasbih”

(bertasbih) dan “tahmid” (memuji). Al-Quran mengatakan,

“melainkan bertasbih dengan memuji-Nya,” karena tasbih dan tahmid

merupakan pekerjaan kita sehari-hari, maka minimal kita

mesti mengetahui bacaan yang biasa kita baca dalam salat yaitu:

“Subhana rabbi al-ala wa bi hamdihi”, yang arti ringkasnya adalah

sebagai berikut: “Aku bertasbih kepada Tuhanku Yang Maha

Agung dan aku memuji-Nya”, atau kita mengucapkan: “Subhana

rabbi al-’adhimi wa bi hamdihi”, yakni: “Aku bertasbih kepada Tuhanku

Yang Maha Tinggi dan aku memuji-Nya.” Apakah arti dari

“aku bertasbih kepadanya”? Apakah arti dari “aku memuji-Nya”?

Pujian kepada Allah itu terdiri dari dua macam. Pertama,

tasbih dan yang lainnya adalah tahmid. Tasbih ialah mensucikan;

yakni zat Allah suci dari berbagai hal yang tidak layak bagi-Nya,

menganggap-Nya lebih tinggi dan lebih mulia dari berbagai hal

yang ada pada makhluk-Nya, suci dari segala bentuk kekurangan,

ketidaksempurnaan dan kelemahan. Pada dasarnya arti dari kata

subhana ialah saya bertasbih dan menyucikan-Nya dari dapat dilihat

oleh mata, dapat disentuh dengan tangan, dari menganggapnya

bermateri, sehingga kemudian saya mengatakan bahwa ia berada

dalam tempat tertentu, dari menganggap-Nya memerlukan

pada sesuatu seperti misalnya: perlu pada ibadah saya.

Tidak! Aku mensucikan dan membersihkan Dia dari memerlukan

dan membutuhkan; dari menyifati Dia dengan zalim dan

lalim, dari menyifati Dia dengan memiliki sekutu; dari mengakui

bahwa Dia tersusun dari beberapa bagian, dan Dia memerlukan

pada tiap-tiap bagian itu; dari mempertanyakan tentang Dia; dari

apa Dia diciptakan dan dari mana Dia datang. Jika demikian maka

p:171

tasbih artinya ialah Allah Maha Suci dari segala sesuatu yang aku

ketahui dan Allah jauh lebih tinggi dan lebih utama dari semua

itu. Dengan kata subhana semua kekurangan itu saya nafikan

zat-Nya.

Pujian kepada Allah adalah sama dengan kesaksian atas ke-

Esaan Allah yang merupakan kumpulan dari penafian dan peneta-

pan. Ketika kita mengucapkan, Tidak ada Tuhan selain Allah,” kita

menafikan penyembahan selain Dia, dan menetapkan keberadaan Zat-Nya

pujian kepada Ilahi juga senantiasa penafian dan penetapan. penafianNya adalah, Maha Suci

dari...sedangkan Tahmid adalah menyifati Allah dengan

sifat yang tetap (yang ada pada zat-Nya).

Aku memuji-Nya, segala kenikmatan datangnya hanya dari sisi-

Nya, semua kesempurnaan dari-Nya dan akan kembali kepada-

Nya, Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, “Dan Allah Maha Men-

getahui segala sesuatu,” (QS an-Nur: 35). Dia Mahakuasa atas segala

sesuatu “dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS al-Mulk:l).

“Dia Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan

keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa, Yang

Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan,” (QS al-Hasyr:23).

Semua itu adalah berbagai sifat tsubutiah yakni “te tap” atau

“yang mesti ada pada zat-Nya”. Jika demikian maka ketika kita

mengucapkan kalimat, “Subhana rabbi al-’adhimi wa bi hamdihi,”

atau mengucapkan kalimat “Subhana rabbi al-‘ala wa bi hamdihi,”

kita bayangkan semua kekurangan dan ketidaksempurnaan yang

ada di dunia ini, kemudian kita ucapkan bahwa Tuhanku suci dan

bersih dari semua itu. Kemudian kita bayang kan berbagai kesempurnaan

lalu kita katakan, “Tuhan ku memiliki berbagai sifat itu.”

Dalam salat ketika kita membaca surah al-Ikhlash, “Katakanlah,

Dia-lah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergan-

tung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan,

dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”

Dalam surah itu terdapat sifat tsubutiah dan juga sifat salbiah atau

“yang mesti tidak ada pada zat-Nya”. Kemudian kita mengucapkan,

“Kadzalika Allahu Rabbi”, demikianlah Tuhanku.

p:172

Dia memiliki berbagai sifat yang sempurna itu dan saya

memuji-Nya dengan berbagai sifat itu. Tidak ada kekurangan pada

zat-Nya, memiliki anak atau anak dari sesuatu, memiliki sekutu,

semua itu tidak ada pada zat-Nya, “Kadzalika Allahu Rabbi" demikianlah

Tuhanku. Al-Quran mengatakan bahwa tasbih dan tahmid

yang sesuai dengan perasaan dan rasa kemanusiaan ini, kalian

mesti mempelajarinya dari para nabi kemudian kumandangkanlah

tasbih dan tahmid itu berdasarkan atas kehendak diri kalian

sendiri, maka seluruh ciptaan yang ada di alam ini akan bersamasama

bertasbih dan memuji Tuhan-Nya. Ini adalah satu di antara

ayat Al-Quran yang menjelaskan mengenai tasbih dan tahmid berbagai

makhluk.

Demikian juga kita memiliki lima ayat dalam Al-Quran, bahkan

dengan surah al-A’la, kita memiliki enam surah yang diawali

dengan tasbih dan semua itu disebut dengan musabbahat. Surah

al-Hadid diawali demikian, “Sabbaha Lillahi Maa Fis Samawati wa ma fil Ardhi”, (Semua yang berada di langit dan yang di bumi bertasbih

kepada Allah).

Surah al-Hasyr dan surah ash-Shaf keduanya di awali semacam

ini, “sabbaha Lillahi Maa Fis Samawati wa ma fil Ardhi”, di sini kata

“ma” diulang lagi. Pengulangan tersebut memiliki arti yang sama,

yaitu segala yang ada di langit dan segala yang—bukan hanya—di

bumi senantiasa bertasbih kepada Allah.

Surah al-Jumu’ah dan surah at-Taghabun diawali demikian

“Yusabbihu Lillahi Maa Fis Samawati wa ma fil Ardhi” (Senantiasa

bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di

bumi). “Sabbihisma” (Sucikanlah nama Tuhanmu) dalam surah al-

A’la juga merupakan sebuah perintah untuk bertasbih.

Pada lima surah tersebut, Fi'il (kata kerja—pen.) “tasbih” di

tiga surah berbentuk Fi'il madhi, yakni “kata kerja bentuk lampau”;

dan pada dua surah lainnya berbentuk fi'il Mudhari' yakni

“kata kerja yang memiliki arti sedang atau akan dikerjakan” namun

menggunakan kata “wa”, yakni “apa yang” ada di langit dan

di bumi bertasbih kepada Allah. Al-Quran juga mengatakan bahwa

seluruh ciptaan Allah bersujud kepada-Nya, itu adalah sujud

p:173

dalam arti yang sebenarnya, yang mana sujud kalian merupakan

suatu bentuk dari berbagai bentuk sujud itu. Ketika kita bersujud,

hal ini menunjukkan kerendahan dan ketundukkan kita. Al-

Quran mengatakan bahwa seluruh ciptaan bersujud kepada Allah,

matahari, bulan, bintang, semuanya bersujud kepada Allah,

namun jelas bahwa maksud dari bersujud itu bukan berarti kemudian

matahari juga memiliki dahi dan kemudian dahinya itu

diletakkan di atas tanah. Tidak! Yang demikian itu adalah bentuk

sujud kalian, yang merupakan pernyataan puncak kerendahan dan

ketundukan,(1) sehingga dengan itu jiwa kalian juga akan merasa

rendah dan tunduk. Jika demikian maka dalam Al-Quran terdapat

berbagai ayat yang menggunakan kata sabbaha atau yusabbihu.

Pada ayat-ayat yang lain kita dapat temukan bahwa ayat-ayat

itu menjelaskan permasalahan yang ada ini dalam bentuk yang

berbeda. Misalnya saja menjelaskan bahwa benda-benda mati,

tumbuh-tumbuhan atau binatang bertasbih dan memuji Allah

bersama-sama de ngan mereka yang memiliki peringkat maknawiah

yang tinggi. Dalam surah Shaad, berkenaan dengan Nabi Daud

as, Al-Quran mengatakan, “dan ingatlah hamba Kami Daud yang

mempunyai kekuatan; sesungguhnya ia sangat taat (kepada Tu-

han.” (QS Shaad: 17). Ingatlah hamba Kami Daud yang sangat perkasa

itu, dia sangat patuh kepada Allah, yakni ia memutus ketergantungan

terhadap selain Allah dan hanya bergantung ke pada Allah.(2)

Kemudian Al-Quran mengatakan, “Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi

dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul. Masing-masingnya amat taat kepada Allah

.” (QS Shaad: 18-19). Gunung-gunung telah di tundukkan agar

di waktu petang dan pagi bersama-sama Daud bertasbih kepada

p:174


1- 37 Jelas ini sangat berbentuk lahiriah saja; seorang yang melakukan salat sementara pikirannya melayang-layang ke tempat lain, sekalipun ia meletakkan kepalanya ke atas tanah, secara lahiriah tubuhnya menunjukkan suatu ketundukan dan kerendahan yang benar-benar, namun jiwanya tidak tunduk dan tidak merendah.
2- 38 Daud as adalah salah seorang nabi dari Bani Israil. Orang-orang Yahudi mewarnai Daud dan Sulaiman as dengan warna pemikiran Yahudi, yakni mereka menganggap keduanya adalah raja yang sifatnya hanya mementingkan dunia saja, bahkan—al-’iyyadzubillah—mereka menyebarkan berita bahwa keduanya itu senang melampiaskan nafsu seksual. Namun Al-Quran menyifati mereka memiliki posisi yang tinggi di sisi Allah.

Tuhannya. Gunung-gunung, unggas, satu suara satu irama dengan

Daud dalam bertasbih kepada Allah. Ini adalah di antara ayat yang

memiliki isi semacam itu (bertasbihnya seluruh isi alam). Di antara

ayat-ayat yang semacam itu ialah ayat (dalam surah an-Nur

ini) yang mana ada juga dalam Al-Quran ayat-ayat yang semacam

itu. Di sini yang diajak bicara oleh Al-Quran adalah pribadi Rasul

yang mulia Saw, dengan menga takan, “Tidakkah kamu tahu

bahwasannya Allah; kepadaNya bertasbih apa yang di langit dan di

bumi”, Tidakkah kau melihat?(1) Kalimat “segala yang ada di bumi”

bukan berarti khusus orang-orang mukmin saja. Wahai Nabi,

apakah kau tidak melihat adanya tasbih dari berbagai burung saat

mereka terbang secara beriring-iringan di udara? Lebih dari itu Al-

Quran mengatakan, “masing-masing telah mengetahui (cara) salat

dan tasbihnya”. Masing-masing dari semua itu—gunung-gunung,

pohon-pohon, burung-burung, manusia, dan seluruh ciptaan yang

ada di alam ini yang bertasbih—mengetahui cara bertasbihnya,

semuanya mengetahui cara salatnya. Yang sangat menakjubkan

ialah masalah tasbih diungkapkan dengan kata “salat”. Kita telah

mengetahui bahwa di satu ayat diungkapkan dengan kata “tasbih”

dan “tahmid” dan dalam ayat lain diungkapkan dengan menggunakan

kata “sujud”, sedangkan dalam ayat ini de ngan menggunakan

kata “salat”. Sebagian para mufasir berpendapat bahwa maksud

dari “salat” itu adalah doa yang juga merupakan salat, karena isi

dari salat adalah doa. Al-Quran sendiri mengungkapkan de ngan

menggunakan kata “salat” mereka memiliki cara salat tersendiri,

dan mereka mengetahui cara salat masing-masing, dan Tuhan

mereka Mengetahui apa yang mereka kerjakan. Oleh karena itu

dalam Al-Quran banyak terdapat ayat-ayat yang semacam ini, dan

kita tidak boleh kemudian langsung mengatakan, “Dapatkah kita

mengetahui arti yang sebenarnya dari ayat-ayat itu?”, “Dapatkah

kita mengetahui maksud dari bertasbih itu?” Tidak! Al-Quran

mengungkapkan bahwa seluruh ciptaan yang ada di alam ini ber-

p:175


1- 39 Sebagian para mufasir mengartikan, alam tara (tidakkah kau melihat) dengan alam ta’lam (tidakkah kau mengetahui). Mereka ingin mengartikan bahwa yang diajak bicara oleh ayat itu bukan Nabi Saw saja, namun yang diajak bicara adalah masyarakat umum dan sebagian mufasir lainnya mengatakan bahwa alam tara itu adalah alam tara itu sendiri, dan yang diajak bicara adalah pribadi Rasul Saw.

tasbih kepada Allah, dan memuji-Nya. Dan kepada kita Al-Quran

mengatakan, wahai manusia kalian tidak mengetahui tetapi yang

demikian itu ada, “tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.”

Alhasil, Ketika Allah menjelaskan adanya kejadian ini, Dia

tidak bermaksud membuat semacam teka-teki yang mana tidak

akan ada satupun dari manusia yang dapat menjawab dan mengetahuinya.

Namun tujuan Al-Quran ialah agar kita semakin kuat

dalam berusaha mencapai hakikat ini, dan akhirnya kita mampu

menyingkap hakikat tersebut sesuai dengan kemampuan kita.

Sebelumnya telah saya katakan bahwa kita memilki dua bentuk

pembahasan, dan pada pembahasan yang kedua ini marilah

kita melihat bagaimanakah usaha manusia setelah mendapatkan

bimbingan Al-Quran ini. Bagaimanakah mereka melintasi jalan

ini, dan bagaimanakah mereka menafsirkan ayat-ayat ini? Sekumpulan

ayat yang ada dalam Al-Quran ini ditafsirkan dalam

dua bentuk penafsiran. Dan kedua bentuk penafsiran itu dapat

kita sebut dengan penafsiran secara filosofis dan irfani (tasawuf).

sebagian dari ayat-ayat itu ditafsirkan secara filosofis yang mana

mereka mengatakan bahwa maksud dari Al-Quran tatkala mengatakan

bahwa segala sesuatu bertasbih kepada Allah dan memuji-

Nya, adalah tasbih secara “penciptaan” dan “bahasa keadaan”.

Kita memiliki lisanul hal “bahasa keadaan” dan lisanul qal “bahasa

ucapan”. “Bahasa keadaan” ialah seseorang dengan menunjukkan

sikap tertentu ia dapat mengungkapkan isi hatinya, sekalipun

mulutnya tertutup rapat namun keadaannya itulah yang tengah

berbicara dengan orang lain. Misalnya saja ketika Anda berdua sedang

asyik mengobrol di tepi jalan raya, tiba-tiba datang seseorang

yang berpakaian lusuh menghampiri Anda kemudian orang itu

mengangkat tangannya, sikap dan keadaan itu me nunjukkan atau

mengatakan: “Saya memerlukan bantuan, maka bantulah saya!”

Dari sisi itulah maka disebut dengan “bahasa keadaan”. Tetapi terkadang

ada seseorang yang datang dan mengatakan dengan lisannya,

“Bantulah saya!” Ini disebut dengan “bahasa ucapan”. Oleh

karena itu seringkali keadaan luar seseorang menjelaskan keadaan

jiwanya, sebagaimana yang ada dalam pepatah, “rona wajah mengungkap

rahasia jiwa”. Bagaimanakah cara mengungkapnya? Tan

p:176

pa berbicara, tetapi dengan memberikan tanda. Manusia seringkali

berbicara tanpa menggunakan lisan. Kemungkinan orang-orang

yang saling bertemu akan lebih banyak berbicara dengan tanpa

lisan melebihi pembicaraannya yang dengan menggunakan lisan;

dan de ngan bahasa tanpa lisan itu, mereka saling mengenalkan

diri mereka masing-masing.

Dalam sebuah buku saya yang berjudul Mas’alah al-Hijab,

di situ saya menulis bahwa sebagian dari jenis dan mode pakaian

memiliki lisan. Seseorang yang ketika berjalan ia menghentakkan

kakinya, membesarkan suaranya, pada dasarnya ialah ia hendak

berbicara pada orang lain, “Menjauhlah dariku, takutlah padaku!”

Demikian pula dengan seorang perempuan ada dua bentuk dalam

berpakaian. Ada seorang perempuan yang mengenakan pakaian

tertentu, dan ketika ia berjalan di jalan raya dengan keadaannya itu

seolah berseru dan mengatakan, “Aku adalah seorang perempuan

yang menjaga kesucian diri, jangan ada yang mengganggu diriku!”

Bentuk pakaiannya itulah yang mengatakan bahwa ‘aku adalah

demikian’. Dan tentu saja orang-orang yang kerjanya memburu

perempuan, ketika mereka mengetahui perempuan yang berpakaian

demikian, mereka tidak akan mengejarnya.(1) Dan terkadang

malah sebaliknya—sebagaimana ada orang yang memakai pakaian

dengan tujuan agar mengatakan “Takutlah kepadaku, menyingkirlah”,—

ada juga perempuan yang memakai jenis pakaian tertentu

sehingga pakaian itu mengatakan, “Kemarilah, kejarlah aku!” la tidak

mengatakan de ngan lisannya tetapi bentuk pakaiannya itulah

yang mengajak mereka dan mengatakan, “Ikutlah denganku, aku

adalah demikian ....” Inilah yang disebut de ngan “bahasa keadaan”.

Kita telah keluar jauh dari pembahasan.

p:177


1- 40 Al-Quran dalam surah al-Ahzab mengatakan, “Hai Nabi katakanlah hepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jubabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (QS al-Ahzab: 59). Yang saya maksud adalah kalimat “supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”. Mereka menyebutkan sebab diturunkannya ayat ini, dan yang dapat saya simpulkan ialah seorang perempuan janganlah memakai pakaian yang orang-orang jahat akan mengira bahwa dia adalah sasaran mereka, yakni perempuan-perempuan jangan berpakaian yang siap untuk diburu.

Alhasil sebagian mengatakan, bahwa ketika Al-Quran mengatakan

bahwa segala sesuatu itu bertasbih kepada Allah dan

memuji-Nya, maksudnya ialah dengan “bahasa keadaan”, karena

semua itu adalah ciptaan Allah. Dan ciri-ciri khusus dari makhluq

“ciptaan” ialah memiliki sisi kekurangan dan juga memiliki sisi

kesem purnaan. Sisi kekurangan adalah berasal dari penciptaan,

sedangkan sisi kesempurnaan adalah berasal dari Sang Pencipta.

Kekurangan apa pun yang ada pada dirinya adalah akibat dari dirinya

sendiri, dan apa pun bentuk kesempurnaan yang ia miliki

adalah berasal dari Penciptanya. Ketahuilah bahwa berbagai kesempurnaan

yang ada di alam ini berasal dari-Nya. Jika demikian,

semua itu bertasbih kepada Pencip tanya dan memuji-Nya dengan

menggunakan bahasa keadaan. Dengan bahasa tanpa lisan

semuanya menga takan, “Maha Suci Engkau yang telah menciptakanku.”

Tasbih mereka adalah dengan menyatakan, “Jika Engkau

melihat dalam diriku terdapat kekurangan, maka sesungguhnya

kekurangan itu merupakan bagian dari diriku, dan Engkau Maha

Suci dari semua itu.”

Tidak diragukan lagi bahwa setiap ciptaan senantiasa bertasbih

dan memuji Penciptanya dengan menggunakan bahasa keadaan.

Itu sebuah pendapat yang benar. Berbagai ciptaan bertasbih

dan memuji Tuhannya dengan menggunakan bahasa penciptaan.

Hasil dari setiap pujian adalah kembali pada yang memuji itu

sendiri. Kumpulan syair-syair Sa’di juga memuji Sa’di itu sendiri,

yakni dengan bahasa keadaan mengatakan, “Betapa hebatnya kau

yang telah menciptakan syair-syair semacam ini, jika ada kekurangan

hal itu disebabkan keterbatasan kata-kata, dan tidak mungkin

dapat lebih sempurna dari ini.” Namun apakah ketika Al-Quran

mengatakan, “Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan

memuji-Nya”, juga dengan tujuan semacam itu?

Penafsiran kedua—yang saya sebut dengan penafsiran irfani

(tasawuf)—pendapat Anda benar bahwa seluruh ciptaan bertasbih

kepada Tuhan dan memuji-Nya dengan menggunakan bahasa

keadaan, namun Al-Quran mengungkapkan yang lebih tinggi dari

itu. Karena sambungan ayat itu menyebutkan, “tetapi kamu seka

p:178

lian tidak mengerti tasbih mereka”,(1) namun kalian tidak dapat memahami

tasbihnya. Tasbih dengan meng gunakan bahasa keadaan

semua orang mengetahui-nya. Selain Al-Quran mengatakan, “Dan

tak ada suatu pun melainkan ....”, yakni seluruh benda dan bukan

hanya terbatas pada yang berakal atau yang memiliki perasaan.

Namun dhamir (kata ganti) yang ada pada ayat tersebut seakanakan

mengambarkan bahwa se luruh yang ada dalam alam ini berakal

dan memiliki perasaan. Karena ayat itu menyebutkan, “tetapi

kamu sekalian tidak mengetahui tasbih mereka.” Kata ganti hum

(mereka laki-laki) dalam bahasa Arab adalah sebuah kata ganti

yang digunakan untuk mereka yang berakal dan bukan untuk

binatang dan benda-benda mati. Al-Quran, sekalipun berbicara

mengenai benda-benda namun menggunakan kata ganti hum,

dengan demikian maka Al-Quran menganggap semua benda-benda

itu memiliki perasaan. Pada ayat yang tengah kita baca ini ada

kata “burung”, seandainya tidak terdapat kata “burung” maka kita

akan mengatakan bahwa ketika Al-Quran mengatakan, “Mereka

yang ada di langit dan di bumi”, maksud dari mereka yang ada di

langit adalah para malaikat, dan maksud dari mereka yang ada di

bumi adalah manusia, dan maksud dari manusia itu adalah orangorang

yang beriman. Dan berkenaan dengan ayat “Masing-masing

telah mengetahui (cara) salat dan tasbihnya”, mereka semua telah

mengetahui bagaimanakah cara salat dan tasbihnya, maka dalam

hal ini kita akan mengatakan: “Hal itu tidak ada masalah, para

malaikat dan manusia menge tahui cara salat dan bertasbihnya.”

Tetapi Al-Quran mengatakan, “... dan burung,” burung juga turut

dimasukkan. Jelas burung tidak memiliki perasaan seperti manusia

ataupun malaikat, jika demikian maka cukup jelas bahwa di

dunia burung, terdapat suatu dunia yang luar biasa yang kita tidak

mengetahui dan mengenalnya.

Saya telah katakan bahwa panafsiran pertama, ialah penafsir-

an secara filosofis. Abu Nasr Al-Farabi adalah seorang ahli filsafat

terkemuka di dunia Islam. Dia memiliki sebuah ungkapan—tampaknya

dalam buku Fushush—yang sangat indah. Dia menjelaskan

masalah ini, yang sebagian besar dijelaskan dengan “bahasa

p:179


1- 41 QS al-Isra: 41.

keadaan” ia mengatakan, “Langit salat dengan perputarannya,

bumi salat dengan guncangannya, dan hujan salat dengan curahan

airnya.” Karena hakikat dan roh salat itu tidak lain adalah penyerahan,

kepatuhan, ketaatan, pada perintah Yang Maha Benar

de ngan penuh keikhlasan. Ia mengatakan bahwa ketika langit

berputar, bumi berguncang, hujan mencurahkan air, kesemuanya

itu adalah mematuhi perintah Sang Pencipta, cara salat mereka

adalah semacam itu.

Namun Maulawi menafsirkan ayat tersebut secara irfani, dan

tidak mengatakan semacam itu. Ia mengata kan, “Manusia-manusia

biasa tidak mengetahui tasbih dan pujian berbagai makhluk.

Seluruh ciptaan yang ada di dunia ini benar-benar mengetahui dan

mengenal Tuhannya, serta bertasbih dan memuji-Nya.” Hal itu ia

katakan berulang kali dan di berbagai syair-syairnya. Ada juga diantara

syairnya yang cukup terkenal yang dinukil oleh Syaikh ‘Abbas

al-Qummi dalam buku doa Mafatih al-Jinan yang menyebutkan:

Berbagai benda tersebar di alam ini

Yang dikatakan padamu siang dan malam

Kami Mahamendengar, Mahamelihat dan sadar

Kami takkan berbicara dengan kalian yang bukan muhrim

Karena kalian tenggelam dalam kebendaan

Kapan kalian akan menjadi muhrim dengan roh Ilahiah

Di tempat lain ia memiliki beberapa syair yang sangat indah

yang sayangnya saya tidak menghafalnya. Antara lain ia mengatakan

bahwa Allah adalah tempat untuk memohon berbagai

keperluan semua ciptaan. Demikian juga tanah, angin, udara, laut,

padang pasir memohon semua keperluannya dari Ilahi:

Bahkan ikan-ikan yang diterpa ombak

Burung-burung yang ada pada ketinggian

p:180

Ringkasnya ia mengatakan bahwa segala yang ada di alam

ini tidak lain adalah seperti itu. Lain jika ada yang berpendapat

bahwa suara tasbih berbagai ciptaan yang ada di alam ini benarbenar

ada, apakah yang mereka maksudkan? Apakah yang mereka

maksud adalah bahwa sekarang ini di udara terdapat berbagai

suara—sebagaimana adanya gelombang radio—tetapi kita tidak

dapat mendengarnya? Tidak! Maksud mereka adalah setiap ciptaan

yang ada di alam ini memiliki dua wajah dan dua sisi. Satu

sisi menghadap ke alam ini, di mana sisi itu adalah mati, sedangkan

satu sisi lainnya menghadap ke alam lain. Memiliki satu wajah

maknawi, yang mana sisi dan wajah itu adalah hidup dan memiliki

perasaan. Mereka menga takan, misalnya saja Anda melihat sepotong

kayu, Anda tidak dapat mengetahui seluruh hakikat dari kayu

itu. Ilmu pengetahuan manusia yang paling dalam telah mampu

mengetahui bahwa atom adalah unsur utama dari berbagai benda

dan itu merupakan “bentuk materi”. Dan pada setiap ciptaan selain

memiliki bentuk"fisika" juga memiliki bentuk "metafisika", yang berada

diluar jangkauan indera manusia dan ilmu fisika. seorang

manusia mesti memiliki kepekaan hati, mengerti makrifat, sehingga

ia mampu untuk menge tahui satu sisi yang lain dari berbagai

ciptaan, serta dapat melihat bagaimanakah berbagai ciptaan

itu mengenal, mengetahui yang kemudian semuanya itu bertasbih

dan menyuarakan puji-pujian. Nabi Daud as, di mana gunung dan

burung-burung bersama-samanya bertasbih dan mengalunkan

pujian, bukan berarti ketika kita berada di sisi Nabi Daud as, lalu

kita akan dapat mendengarkan suara tasbih dan pujian makhluk-makhluk

tersebut, banyak juga orang yang ada di samping Nabi

Daud as, namun mereka tidak dapat mendengar suara itu. Nabi

Daud as memiliki pendengaran yang lain. Ia memiliki kemampuan

untuk mendengar suara batin dari berbagai ciptaan. Jika telinga

batin kita terbuka, maka kita juga akan dapat mendengarnya. Kalian

jangan mengira bahwa hal ini adalah suatu yang sangat tinggi

dan hanya dapat dicapai oleh para nabi saja. Tidak, selain para nabi

pun mampu mencapainya.

p:181

Tentunya kalian pernah mendengar mengenai batu kerikil

yang bertasbih di telapak tangan Nabi mulia Saw. Dan sekarang ini

demi membuktikan hal itu, saya akan memberikan sebuah contoh

dari seseorang yang dapat saya dan kalian percayai dan yakini.

Almarhum Syaikh ‘Abbas al-Qummi ra, beliau ada lah seorang

yang sangat bertakwa.(1) Kisah ini beliau utarakan di Qum dan

dari atas mimbar. Dan saya mendapatkan kisah itu dari dua orang

marja’ taklid (istilah di kalangan Syiah, bagi ulama besar yang dijadikan

rujukan dalam bidang hukum-hukum Islam—peny.) yang

sekarang masih hidup, di mana pada waktu itu mereka berdua

mendengarkan secara langsung di bawah mimbar. Di antara kedua

pribadi itu adalah Ayatullah Gulbaighani, beliau menceritakan

bahwa sewaktu dia ada di bawah mimbar tersebut, Syaikh ‘Abbas

al-Qummi mengatakan, “Sewaktu saya masih muda di mana kondisi

saya saat itu cukup baik—namun sekarang saya tidak demikian—

saya pergi berziarah ke makam Wadi Salam, tiba-tiba ketika

saya telah mendekati Wadi Salam, saya mendengar sebuah pekikan

suara dari kejauhan. Suara itu seperti suara unta yang tengah

dicap dengan besi panas, dan unta itu mengeluarkan suara yang

keras. Sewaktu saya perhatikan sekitar saya, sama sekali tidak saya

temukan adanya unta, namun suara aneh itu terasa semakin dekat.

Pada saat itu Wadi Salam dalam keadaan sepi. Kemudian saya melihat

bahwa di tengah Wadi Salam itu ada beberapa orang yang

sedang berjalan, saya berpikir mungkin mereka itulah yang tengah

mencap tubuh unta dengan besi panas. Kemudian saya ber jalan

perlahan-lahan menghampiri orang-orang itu. Ya, suara itu munculnya

dari situ, akan tetapi ketika saya telah sampai di sana, saya

p:182


1- 42 Saya tidak sempat bertemu dengan beliau, yakni ketika beliau berada di Masyhad waktu itu saya masih kecil. Dan ketika beliau berada di Qum, saya juga tidak ada di Qum. Dan ketika saya berangkat menuju Qum beliau baru saja meninggalkan kota Qum, dan tak lama setelah itu beliau meninggal dunia (dan saya tidak sempat untuk bertemu dengan pribadi yang agung ini). Namun saya men dengar dari mereka yang pernah bersama pribadi yang agung ini bahwa laki-laki ini merupakan simbol dari ketakwaan, takut kepada Allah, mengenai Allah. Orangorang yang senantiasa berprasangka buruk—saya menyaksikan orang-orang semacam itu yang menurut istilah mereka itu belum meraih keimanan. Mereka senantiasa ber prasangka buruk terhadap semua masyarakat. Terhadap seorang yang adil pun mereka tetap berburuk sangka—ketika mereka datang menemui Syaikh ‘Abbas al-Qummi mereka mengatakan, “Dia adalah seorang yang baik.” Beliau adalah pribadi semacam ini.

tidak melihat adanya unta, akan tetapi mereka membawa jenazah

yang akan mereka kuburkan dan suara itu munculnya dari je nazah

tersebut. Saya mendengar suara itu dengan begitu kuat, sementara

mereka sama sekali tidak mendengarnya. Dari kejauhan saya dapat

mendengar suara itu, dan saya mengira itu adalah suara unta yang

te ngah mereka cap dengan besi panas.” Jika demikian jangan kalian

mengira bahwa semua mampu mendengar setiap suara yang

ada di alam ini. Suara itu, adalah suara yang lain, dan telinga itu

ada lah telinga yang lain.

Syaikh Majlisi (pertama)—ayah dari almarhum Syaikh Majlisi

yang terkenal, penulis buku Bihaarul Anwar adalah seorang

yang sangat mulia dan memiliki ketakwaan yang luar biasa. Beliau

adalah murid dari Syaikh Baha’i. Beliau menceritakan bahwa

enam bulan sebelum wafatnya Syaikh Baha’i, beliau datang menemui

Syaikh Baha’i, kemudian berangkat bersama-sama untuk

berziarah ke pemakaman Takhte Fulad—makam Baba Ruknuddin

juga ada di sana—di Isfahan. Tatkala berada di pemakaman itu,

tiba-tiba beliau menoleh ke arah saya dan mengatakan, “Tidakkah

kau mendengar sesuatu?” Saya menjawab, “Tidak!” Setelah

itu Syaikh Baha’i hanya diam dan membisu, kemudian kembali

ke rumah. Sejak saat itu saya melihat kondisinya sangat berubah,

Syaikh Baha’i lebih banyak menyibukkan diri dengan ibadah dan

bertaubat, yang jelas kondisinya tidak seperti sebelum itu. Sebagai

salah seorang dari murid-muridnya, saya menduga bahwa perubahan

ini adalah disebabkan oleh kejadian itu. Syaikh Majlisi (pertama)

mengatakan bahwa beliau adalah murid yang selalu ingin

tahu. Beliau ingin sekali bertanya kepada Syaikh Baha’i apa penyebab

perubahan ini? Beliau pun pergi menemui Syaikh Baha’i dan

menanyakan hal itu. kemudian Syaikh Baha’i menjawab: “Ketika

saya melintasi pemakaman itu, saya mendengar sebuah suara dari

pemakaman itu: “Wahai Syaikh pikirkanlah nasib dirimu, kematianmu

telah dekat, mengapa kau tidak memperhatikan dirimu

sendiri?” Enam bulan setelah itu Syaikh Baha’i meninggal dunia.

Perhatikanlah, mereka bersama-sama, namun yang satu

mendengar suara itu dan yang lain tidak mendengarnya.

p:183

Alam ini sangat dalam, rumit dan rinci. Ketika Al-Quran

mengatakan bahwa seluruh ciptaan yang ada di alam ini bertasbih,

kemudian ada yang mengatakan, “Aku telah menempelkan telingaku

tetapi aku tidak mendengarnya? Mengapa di laboratorium di

saat mereka melakukan berbagai uji coba mereka tetap tidak dapat

mendengar suara itu?” Ucapan itu munculnya adalah dari kebodohan.

Dan kebenaran (hakikat) adalah sesuatu yang lain.

Rasul mulia Saw bersabda, bahwa saat pertama beliau Saw

menerima wahyu di gua Hira, Jibril turun dan membacakan ayat-ayat

pertama dari surah al-’Alaq: 'Bacalah dengan (menyebut) nama

Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari

segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah.

yang mengajar (manusia) dengan perataraan kalam. Dia mengajar-

kan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS al-’Alaq: 1-5)

Rasul mulia Saw merasakan bahwa seluruh yang ada di alam

ini berguncang. Beliau berjalan pulang ke rumah. Beliau bersabda,

“Ketika saya berjalan, saya mendengar seluruh benda yang ada

mengucapkan salam dan menyapaku.”

Itu adalah arti yang sebenarnya dari, “Allah pemberi cahaya langit dan bumi.”

Adakah suatu tempat yang tidak terdapat

cahaya Allah? Mungkinkan sesuatu yang mendapatkan cahaya Allah

itu, lalu tidak mengetahui, tidak memiliki perasaan? Jelas setiap

ciptaan memiliki perasaan, pengetahuan sebatas keberadaannya.

Oleh karena itu, ketika kita mengatakan bahwa benda-benda

padat itu tidak memiliki kehidupan, itu adalah benar. Kita tidak

hendak mengatakan bahwa benda-benda padat itu memiliki suatu

kehidupan, sebagaimana kehidupan tumbuh-tumbuhan. Tidak,

tumbuh-tumbuhan memiliki suatu bentuk kehidupan, binatang

memiliki bentuk kehidupan yang lebih tinggi, dan manusia memiliki

bentuk kehidupan yang lebih tinggi dan lebih sempurna. Dan

dari sisi ini benda-benda padat tidak memiliki kehidupan, namun

dari sisi yang lain benda-benda padat memiliki suatu ben tuk kehidupan,

pengetahuan, pemahaman, dan ini merupakan sebuah

kenyataan yang diajarkan oleh Al-Quran kepada kita. “Tidakkah

kamu tahu bahwasannya Allah; kepadaNya bertasbih apa yang ada

p:184

di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya.

Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya,

dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan(QS an-Nur: 41)

Telah saya katakan bahwa berkenaan dengan kata “alam tara”

sebagian berpendapat bahwa maksudnya ialah “alam ta’lam” (tidakkah

kamu tahu)? yang maksud mereka adalah tasbih dengan

menggunakan “bahasa keadaan”. Akan tetapi almarhum Faidh

dalam buku tafsirnya Ash-Shafi menukil dari seorang yang agung,

bahwa di sini yang diajak berbicara adalah Nabi Saw. Al-Quran

berkata kepada Nabi Saw. “Tidakkah kau menyaksikan?” Yakni kau

telah menyaksikan semua itu.

“Tidakkah kamu melihat bahwa Allah; kepada-Nya bertasbih

apa yang ada di langit dan di bumi.” Bukankah kau telah melihat

semua bertasbih kepada Allah, apa-apa yang ada di langit dan apaapa

yang ada di bumi. Karena di sini apa-apa disebut dengan kata

“man” (bukan “maa”—pen.) maka mereka mengatakan bah wa ayat

ini tidak bersifat umum, namun khusus para malaikat yang ada di

langit dan manusia yang ada di muka bumi. Namun sebagian yang

lain mengatakan, “Tidak, kata “man” yang ada di sini tidak ada

bedanya dengan kata “maa” karena hendak menisbatkan sebuah

Fi'il (pekerjaan) pada mereka, yang pekerjaan itu merupakan suatu

pekerjaan khusus mereka yang berakal.” Ketika menggunakan kata

“man” bukan berarti kemudian hendak mengatakan bahwa mereka

yang bertasbih kepada Allah adalah manusia atau malaikat.

Namun karena pekerjaan mereka itu menyerupai pekerjaan manusia,

maka mereka disebut sebagai “pribadi” dan bukan sebagai

“benda”. Tidakkah kau menyaksikan bertasbih kepada Allah pribadi-

pribadi yang ada di langit dan pribadi-pribadi yang ada di bu mi,

dan juga burung-burung yang tengah beriringan?

“Masing-masing telah mengetahui (cara) salat dan tasbihnya.”

Kalimat ini juga ditafsirkan dalam dua bentuk penafsiran. Sebagian

mengatakan bahwa Allah mengetahui cara salat semua ciptaan ini.

Namun pendapat yang terbaik ialah—yang juga berhubungan dengan

ayat sesudahnya, karena pembahasan itu dijelaskan pada ayat

p:185

yang sesudahnya—masing-masing menge tahui bagaimana cara

bertasbih dan melakukan salat. “Masing-masing telah mengetahui

(cara) salat dan tasbihnya dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”

Mereka mengetahui pekerjaan masing-masing, dan Allah Yang Maha Tinggi

mengetahui semua pekerjaan mereka.

Salawat dan salam atas Muhammad dan keluarganya yang suci.

p:186

p:187

Bagian 11

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang

terkutuk.

«وَلِلَّهِ مُلْکُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَی اللَّهِ الْمَصِیرُ (42)»

Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada

Allah-lah kembali (semua makhluk). (QS an-Nur: 42)

«أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ یُزْجِی سَحَابًا ثُمَّ یُؤَلِّفُ بَیْنَهُ ثُمَّ یَجْعَلُهُ رُکَامًا فَتَرَی الْوَدْقَ یَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ وَیُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِیهَا مِنْ بَرَدٍ فَیُصِیبُ بِهِ مَنْ یَشَاءُ وَیَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ یَشَاءُ یَکَادُ سَنَا بَرْقِهِ یَذْهَبُ بِالْأَبْصَارِ (43)»

Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, Kemudian

mengumpulkan antara (bagian-bagian)-nya. Kemudian menjadikannya

bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari

celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran)

es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti)

gunung-gunung. Maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada

siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa

yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir

menghilangkan penglihatan.

(QS an-Nur: 43)

p:188

Dua ayat yang saya baca ini; ayat pertama adalah sebuah

ayat yang pendek dan terdiri dari dua bagian, yang mana

kedua bagian dari ayat ini merupakan penyempurnaan ayat-ayat

yang telah ditafsirkan pada pertemuan yang lalu. Bagian pertama

dari ayat itu menyebutkan, “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan

langit dan bumi,” kekuatan dan kepemimpinan yang ada di seluruh

langit dan di bumi ini adalah berasal dari-Nya. Semuanya berada

dalam genggaman, kekuasaan dan perintah-Nya. Tidak ada suatu

ciptaan pun yang dapat lepas dari pengaruh dan perintah-Nya. Bagian

kedua menyebutkan, “dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk)".

Kata “mashir” adalah berasal dari kata “shairurah” yang

artinya ialah perubahan dari satu keadaan ke keadaan yang lain,

dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Sebagaimana ketika kita

mengatakan bahwa dari sperma berubah menjadi segumpal darah,

dan dari segumpal darah berubah menjadi segumpal daging,

kemudian segumpal daging berubah menjadi tulang yang kemudian

menjadi seorang bayi, menjadi anak-anak dan menjadi orang

dewasa. Alam kita ini adalah alam “perubahan”—dalam arti sebagaimana

yang saya paparkan—alam adalah shairurah. Jika kita

ambil contoh sepotong kayu, kayu ini pada awalnya adalah bukan

kayu yang ada sekarang ini, akan tetapi sesuatu yang lain yang

berubah menjadi “kayu” dan kayu ini tidak akan berupa kayu untuk

selama-lamanya namun akan berubah menjadi sesuatu yang lain.

Ada sebuah pertanyaan dan itu adalah, “Akhir dari perubahan

ini; tanah menjadi manusia, manusia men jadi tanah, air, tanah

dan udara menjadi tumbuhan, tumbuhan menjadi binatang,

binatang menjadi manu sia, apa akhir dari perubahan ini? Apakah

perubahan-perubahan ini tanpa tujuan? Sesuatu menjadi sesuatu

yang lain, dan sesuatu yang lain itu menjadi sesuatu yang lain lagi,

dan seterusnya.... ? Atau tidak demikian. Apakah akhir dari semua

perubahan adalah menuju Allah, dan roh, serta Ma’ad (hari kebangkitan)

adalah semacam itu? Kalimat “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada

Allah-lah kembali (semua makhluk)” Pada dasarnya ayat ini mengatakan, “Segala sesuatu

berasal dari Allah, dan kembali kepada Allah,” artinya sama dengan

arti ayat yang mana Al-Quran memerintahkan seseorang yang

p:189

mendengar adanya suatu musibah agar mengucapkan, “Inna lillahi

wa inna ilaihi raji’un”, (Sesungguhnya kita datangnya dari Allah,

dan kepada-Nya lah kita akan kembali) (QS al-Baqarah:156).

Dengan perbedaan bahwa pada ayat ini kita membacanya dengan

“inna” (sesungguhnya kita) secara lahiriah ayat ini dikhususkan untuk

manusia, sedangkan pada ayat itu tidak ada sedikit pun isyarat

untuk itu. Ayat tersebut mengatakan, “Se gala sesuatu datangnya

dari-Nya dan segala sesuatu akan kembali kepada-Nya.

Di antara doa yang dibaca antara takbir iftitahiah—yakni

enam takbir mustahab yang dilakukan sebelum takbiratul ihram—

mustahab untuk membaca doa ini.

“Di sini saya hadir, dan kebaikan adalah yang ada di kedua

tangan-Mu, dan keburukan bukan dari-Mu; dan orang yang

mendapat petunjuk ialah orang yang Engkau beri petunjuk, aku

adalah hamba-Mu dan anak dari kedua hamba-Mu, merasa hina di

antara kedua tangan-Mu, dari-Mu, dan bagimu-Mu, dan milik-Mu,

dan kepada-Mu. Tauhid adalah dari-Mu (segala sesuatu datangnya

dari-Mu), dan bagimu-Mu, dan milik-Mu, dan menuju kepada-Mu.”

Dalam surah an-Nur ini, terdapat dua kata tersebut yaitu laka

(milik-Mu) dan ilaika (kepada-Mu). “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan

kepada Allah-lah kembali (semua mahluk).” Tampaknya ayat ini

merupakan sebab dari ayat yang sebelumnya

yang mengatakan bahwa, “segala sesuatu itu bertasbih

kepada Allah dan mengenal serta memuji Penciptanya”, sebabnya

ialah karena segala sesuatu itu milik-Nya dan akan kembali kepada-

Nya, dan disebabkan inilah maka seluruh wujudnya adalah

tasbih, gerakan dan langkahnya adalah tasbih. Berkenaan dengan

hal ini Maulawi memiliki sebuah syair yang sangat indah. Ia mengatakan:

Tiap-tiap bagian menuju pada asalnya

Burung kenari bersuka ria di atas bunga

Sibghatallah nama untuk warna yang indah

p:190

Laknatullah bau dari warna yang kotor

Yang datangnya dari laut akan kembali ke laut(1)

Dari mana dia datang ke situ dia kembali(2)

Dari puncak gunung mengalir air yang deras

Dari dalam diri kita mengalir jiwa cinta

“Dan kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi,” semua

dari-Nya “dan kepada Allah-lah kembali semua makhluk” dan

menuju kepada-Nya. Berdasarkan ayat itu, dari-Nya dan kepada-

Nya.

Meskipun ayat berikutnya berbicara berkenaan dengan turunnya

hujan, terjadinya awan, curah hujan dan butiran-butiran

es serta ciri-ciri khusus semua itu, yang ayat ini juga—kemungkinan

insya Allah saya dapat menjelaskannya pada pertemuan yang

akan datang—merupakan di antara mukjizat Al-Quran. Namun

sekarang ini saya tidak akan membahas ayat itu. Pada pertemuan

yang akan datang insya Allah akan saya paparkan permasalahan

itu. Pembahasan kita se karang ini adalah pembahasan bertasbihnya

berbagai ciptaan, dan pembahasan kembalinya segala sesuatu

kepada Sang Pencipta. Pada malam-malam ini, adalah malammalam

bulan Ramadhan yang penuh berkah, saya akan uraikan

kepada kalian sebuah pembahasan. Agama memiliki sebuah ajaran

yang ajaran itu tidak dapat diciptakan melainkan oleh agama,

yakni akal, ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia tidak dapat

menciptakan ajaran itu. Jika ajaran itu hanya sebatas akal, ilmu

pengetahuan dan pemikiran manusia, maka urusan itu akan diserahkan

kepada akal dan ilmu pe ngetahuan manusia dan tidak lagi

ada pengutusan para nabi. Islam sangat menghargai akal manusia,

sangat menghargai pemikiran manusia, sangat menghargai ilmu

pengetahuan, kajian, ujicoba dan penelitian ber bagai ciptaan yang

ada di alam, yang menurut istilah Al-Quran berjalan dan memperhatikan

apa-apa yang ada di berbagai ufuk dan di dalam diri

p:191


1- 43 Dikatakan bahwa tidakkah kamu melihat bagaimanakah keluar dari laut yang pada akhirnya juga kembali ke sana. Karena dari laut maka akan kembali ke laut.
2- 44 Dari situ ia datang dan akan kembali ke asalnya

sendiri. Namun, bukan berarti ketika akal, pemikiran, argumen,

eksperimen, ilmu pengetahuan, semakin maju dan berkembang

lalu mampu untuk mengeluarkan berbagai ajaran sebagaimana

yang dikeluarkan oleh agama. Hanya agama yang mampu menciptakan

ajaran itu. Sebatas yang kalian miliki dari ilmu pengetahuan,

akal, semua itu hanya “meng-iya-kan” berbagai hakikat yang telah

dijelaskan oleh agama. Menurut pendapat William James, “Semua

itu setelah ada bimbingan dari agama”; yakni setelah agama mengungkapkan

berbagai ha kikat itu, kemudian untuk kedua kalinya

ilmu penge tahuan mengadakan penelitian tentang masalah yang

telah dijelaskan dan ditegaskan oleh agama itu, demi mendapatkan

keyakinan.

Satu di antara ajaran itu ialah masalah ini—menurut istilah

sekarang—merubah pandangan kita terhadap dunia, yakni pandangan

kita terhadap dunia menjadi berubah. Dunia yang kita lihat

dan kita rasakan dengan indera dan akal kita adalah sebuah

dunia dalam bentuk tersendiri, dan dunia yang ditunjukkan oleh

sinar wahyu kepada kita adalah dunia ini juga, akan tetapi secara

lebih rinci. Wahyu mengatakan ke pada kita, “Dan tak ada suatu

pun melainkan bertasbih dengan memujinya-Nya, tetapi kamu

sekalian tidak mengerti tasbih mereka” (QS al-Isra’: 44). Seluruh

wujud yang ada di alam ini, ‘lisan’ mereka senantiasa mengucapkan

tasbih kepada Allah, namun kalian tidak mengetahuinya.

Demikian pula tentang diri manusia itu sendiri, dan ini jauh lebih

penting. Kita mengetahui tentang mata kita, kita mengetahui

tentang telinga kita, kita mengetahui tentang indera peraba, kita

mengetahui tentang penciuman, kita mengetahui tentang indera

perasa, kita mengetahui tentang akal dan pemikiran, namun selain

itu kita mengetahui sesuatu yang lain yang ada dalam tubuh kita.

Para nabi datang dan me ngatakan—sesuai dengan sebuah ungkapan

yang terkenal—”Wahai manusia! Dari keberadaanmu yang

nyata ini beberapa dari itu masih tersembunyi.”

Demi mendekatkan pada permasalahan ini saya akan kemukakan

sebuah perumpamaan yang sederhana, dan sebuah pembahasan

ilmiah. Saya masih ingat ketika saya masih kecil, para orang

tua umumnya ketika melihat seorang anak yang nakal, maka mer

p:192

eka akan mengatakan demikian, “Kau lihat anak kecil ini? Dua kali

dari yang kau lihat ini, ada di dalam tanah.” Yakni kau jangan menganggap

bahwa dia sekecil ini, dia beberapa kali lebih besar dari

ini. Kau melihat tubuh anak ini? Dua kali dari ukuran tubuhnya

itu ada di dalam tanah. Ini adalah sebuah perumpamaan dari masyarakat

awam.

Ilmu pengetahuan pada masa sekarang ini juga telah berhasil

menyingkap hakikat jiwa manusia. Pada masa yang lalu sebagian

besar(1) mereka memiliki

dugaan bahwa tubuh saya ialah tubuh

yang saya lihat ini, dan jiwa saya ialah yang ada di dalam batin saya.

Saya mengetahui batin dan hati saya. Ini adalah tubuh saya dan ini

adalah jiwa saya; jika saya tidak mengetahui sesuatu yang lain, saya

mengetahui tubuh dan jiwa saya. Namun para ahli ilmu jiwa pada

masa sekarang ini, para pisikiater, berhasil membuktikan bahwa

jiwa manusia itu yang dapat diketahui oleh manusia adalah hanya

sebagian kecilnya saja, dan sebagian besarnya tidak dapat diketahui.

Mereka membuat sebuah per umpamaan demikian, “Jika

Anda melemparkan semangka atau sepotong es ke dalam kolam,

kemudian perhatikanlah berapa banyak bagian dari semangka dan

potongan es ini yang berada di luar air, dan berapa banyak yang

ada di dalam air. Ketika Anda perhatikan, pasti Anda akan melihat

bahwasanya hanya sebagian kecil dari semangka dan potongan

es itu berada di luar air, sementara sisanya berada di dalam air.”

Mereka mengatakan bahwa jiwa manusia adalah semacam itu; sebagian

kecil dari jiwa manusia diketahui oleh manusia itu sendiri,

sementara itu sebagian besar dari jiwa manusia itu masih tersembunyi.

Setiap orang pasti memiliki sebuah alam batin yang di sana

tersembunyi hakikat pribadinya. Dan dunia itu disebut dengan dunia

perasaan batin. Dan terkadang dunia yang tersembunyi sekalipun

dari manusia itu sendiri, di alam mimpi atau nyata, maka pada

saat emosi atau marah akan muncul keluar.

Maulawi sungguh luar biasa. Ia memberikan jawaban yang

sangat menakjubkan berkenaan dengan masalah kejiwaan. Sekalipun

para ahli jiwa di abad dua puluh ini berhasil menyingkap

p:193


1- 45 Ketika saya mengatakan “sebagian besar” kerena pada masa lalu ada juga pribadi-pribadi yang mampu mengetahui hakikat permasalahan ini.

permasalahan itu, namun pribadi yang ‘arif ini dan banyak juga

dari para ahli irfan yang lain memberikan pandangan semacam

itu. Maulawi mengatakan, “Wahai manusia jangan kau mengira

bahwa kau telah mampu mengetahui dengan benar apa-apa yang

ada dalam jiwamu.

Saat kau mandi di sungai

Tubuhmu tertusuk duri di dalam air

Meski duri tersembunyi di dalam air

Tusukannya pertanda bagimu ia ada

Ia mengatakan bahwa bukankah pernah terjadi di saat Anda

melepas baju, kemudian menyelam ke da lam sungai untuk mandi,

airnya mengalir, tatkala Anda melihatnya Anda menyaksikan bahwa

air itu sangat jernih dan bersih, serta tidak ada sesuatu apa pun.

Namun ketika Anda memasukkan kepala ke dalam air itu, sampai

ke dasar sungai, tiba-tiba anda merasakan ada sebuah benda tajam

yang mengenai kepala Anda. Jelas di situ terdapat duri. Duri itu

ada di dalam air, dan Anda tidak mengetahuinya. Saat Anda masuk

ke dalam air dan duri itu menusuk tubuh, maka saat itu Anda

sadar. Anda tetap tidak dapat melihat duri itu, namun karena duri

itu telah membuat Anda kesakitan, maka Anda menyadari akan

keberadaaanya. Kemudian ia mengatakan:

Duri-duri dari berbagai perasaan dan bisikan

Dari beribu-ribu orang dan bukan dari seorang saja46

Ia mengatakan, “Wahai manusia, terkadang kau mengira

bahwa kau adalah sosok yang sangat suci dan bersih serta tidak

memiliki kekurangan. Namun jika kau perhatikan terkadang ada

sebuah duri (duri-duri jiwa yang ada dalam dirimu) yang munculnya

dari berbagai keinginan, bisikan-bisikan, ketahuilah bahwa

dalam dirimu terdapat berbagai hal yang tidak kamu ketahui.”

46 Matsanawi, buku pertama.

p:194

Ia menyebutkan sebuah perumpamaan yang lain, yaitu manusia

diumpamakan dengan sebuah kolam yang di dasar kolam

itu penuh dengan kotoran—ko toran binatang dan lain sebagainya—

yang terkumpul, namun semua itu tenggelam dan berada di

dasarnya. Di pagi buta ketika seseorang mendekati kolam itu, ia

melihat air yang ada cukup bersih dan jernih laksana air mata. Seseorang

tidak akan menduga bahwa di dasar kolam itu ada sesuatu

yang lain. Namun, ketika setelah dua atau tiga jam dari terbitnya

matahari, sinar matahari memancar ke atas air tersebut, panas

mata hari membuat yang ringan menjadi berat dan yang berat

menjadi ringan, tiba-tiba akan terlihat berbagai kotoran bermunculan

dari dasar kolam itu, tiba-tiba tampak jelas bahwasanya dari

dasar kolam itu ada ko toran yang naik ke permukaan air; sepotong

kotoran binatang. Seseorang tidak akan percaya jika di dasar kolam

yang airnya bersih dan jernih, akan terdapat kotoran semacam itu.

Ia mengatakan, “Wahai manusia terkadang saat kau memperhatikan

jiwamu—dalam suatu kondisi tertentu—lalu kau mengucapkan,

“Alhamdulillah, saat aku perhatikan diriku, aku tidak melihat

adanya akhlak yang tercela.” Ketahuilah kau salah menduga! Tunggulah

sampai matahari memancarkan sinarnya, tunggulah sampai

ada sebuah peristiwa yang tidak menyenangkan hatimu, saat itu

ujilah dirimu, kemudian saksikanlah betapa banyak sesuatu yang

bermunculan dari dasar jiwamu yang berupa ucapan, perbuatan,

umpatan, cacian, makian, gunjingan, dan dalam bentuk-bentuk

yang lain.”

Tujuan saya dari semua ini ialah, menurut pendapat ilmu

pengetahuan masa kini bahwa jiwa manusia, hanya sebagian kecilnya

saja yang berhasil diketahui, sedangkan sebagian besar tidak

diketahui sekalipun oleh pribadi manusia itu sendiri. Kita membaca

dalam surah Thaha, “maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia

dan yang lebih tersembunyi.” (QS Thaha: 7). Allah mengetahui

rahasia, dan yang lebih tersembunyi dari rahasia. Ada seseorang

yang bertanya kepada Imam Ali bin Abi Thalib as, apakah yang

dimaksud dengan ‘lebih tersembunyi dari rahasia’? Apakah ‘ada

sesuatu yang lebih tersembunyi dari rahasia’? Imam as menjawab,

“Ya, yang lebih tersembunyi dari rahasia itu adalah, ada sesuatu

p:195

dalam jiwamu dan kau tidak mengetahuinya. Rahasia ialah sesuatu

yang kau ketahui dan tidak diketahui oleh orang lain. Dan

yang lebih tersembunyi dari rahasia ialah kau tidak mengetahui

namun ada dalam dirimu.”

Dalam doa Kumail, terdapat sebuah ungkapan yang menjelaskan

masalah ini. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as mengeluh

kepada Tuhannya bahwa dalam dirinya terdapat berbagai perbuatan

tercela, dan para malaikat-Nya yang senantiasa mengawasinya

mengetahui semua itu namun:

“Dan Engkau sendiri pengawal di belakang mereka, menyaksikan

apa yang tersembunyi pada mereka; ada berbagai sesuatu

dalam diri saya ini yang tidak” diketahui oleh para malaikat, hanya

Engkau yang mengetahuinya. Sungguh luar biasa bahwa dalam

diri saya terdapat berbagai sesuatu yang malaikat tidak mampu

untuk mengetahuinya, tetapi hanya Engkau yang mampu untuk

mengetahuinya.”

Perumpamaan awam dan juga pendapat para cendikiawan

masa sekarang ini keduanya membuktikan, bahwa jiwa manusia

hanya sebagian kecil tampak jelas, sedangkan sebagian besar tak

terlihat dan tersembunyi. Semua itu saya paparkan dengan tujuan

untuk menyatakan bahwa bukan hanya jiwa manusia yang tersembunyi,

namun dunia ini juga tersembunyi. Kita hanya menyaksikan

sebagian kecil dari alam ini, sedangkan sebagian besarnya seperti

bagian buah semangka yang ada di dalam air, itu adalah batin dari

alam ini, itu adalah jiwa dari alam ini, dan kita tidak mengetahuinya.

Diri kita sendiri pun demikian pula. Selain mata yang ada di

kepala ini, kita memiliki mata yang lain, selain telinga ini kita memiliki

telinga yang lain, selain perasa ini kita memiliki perasa yang

lain, selain peraba ini kita memiliki peraba yang lain, selain penciuman

ini kita memiliki penciuman yang lain, selain semua itu

kita memiliki suatu kekuatan yang lain. Telah saya katakan bahwa

seorang yang bersih, suci dan bertakwa, mampu mendengar berbagai

suara yang ada di dunia ini yang kita tidak mampu untuk

mendengarnya. Hal itu menunjukkan adanya indera yang lain.

p:196

Ilmu pengetahuan sekarang ini menduga adanya berbagai

indera yang lain, bahkan binatang mampu merasakan adanya sesuatu

yang tidak dapat dirasakan oleh manusia. Ada sebuah hadis

dari Rasul mulia Saw, beliau mengatakan: “Sebelum saya diutus

menjadi nabi, ketika saya menggembala kambing, terkadang saya

menyaksikan kambing-kambing itu mengangguk-angguk, namun

saya tidak merasakan adanya sesuatu. Dan setelah saya diutus

menjadi Rasul, saya menanyakan hal itu dan saya mendapatkan

jawaban bahwa binatang-binatang itu mampu mendengar sesuatu

yang tidak dapat didengar oleh manusia.”

Untuk apakah ibadah itu? Agar diri kita menjadi terang,

yakni indera yang namanya terserah kalian beri nama apa; indera

keenam, kesepuluh, keseratus. Agar kita mengetahui batin

dari alam ini, mengenal jiwa alam ini, kita menemukan hati dan

jiwa kita sendiri untuk kemudian mampu mengenal jiwa alam ini.

Fakhrur Razi memiliki sebuah syair yang cukup indah, ia mengatakan:

Aku khawatir meninggalkan alam, tak melihat jiwa(1)

Aku keluar dari alam, tak melihat alam

Di alam jiwa aku pergi dari alam badan(2)

Di alam badan tak melihat alam jiwa

Ia mengatakan bahwa ketika ia masih ada di sini, sementara

ia masih belum mengenal alam jiwa, setelah itu maka tidak ada

manfaatnya lagi. Dan ketika ia mati maka ia dalam keadaan buta.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Quran, “Dan barangsiapa

yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat nanti ia akan lebih buta dan lebih

tersesat dari jalan yang benar.” (QS al-Isra’: 72).

Seseorang yang di alam dunia ini buta, maka di akhirat ia buta dan

lebih tersesat. Apakah maksud dari “buta” ini? Apakah maksudnya

seseorang yang di dunia ini tidak memiliki biji mata? Hal itu bukan

merupakan kesalahan bagi seseorang. Betapa banyak orang-orang

p:197


1- 47 Aku khawatir jika aku mati aku tidak akan melihat alam jiwa.
2- 48 Bagaimanakah saya dapat pergi dari alam badan menuju ke alam jiwa?

yang saleh yang tidak memiliki biji mata. Almarhum Sayid Ahmad

Kabala’i seorang yang sangat agung, senantiasa mengadakan surat

menyurat dengan se orang cendekiawan yang sangat agung, yaitu

almarhum Syaikh Muhammad Husain Isfahani, di mana beliau

adalah guru dari Allamah Thabathaba’i (sallamahullah ‘alaiti).

Diceritakan bahwa Sayid Ahmad Karbala’i pada surat terakhirnya

menulis, “Aku berharap mataku yang lain ini juga menjadi buta

agar tidak ada lagi yang aku lihat kecuali Dia.” Buta yang semacam

ini ‘lebih melihat’ dari mereka yang melihat.

Abu Bashir—seorang sahabat dari Imam Muham mad al-Baqir

as dan Imam Ja’far ash-Shadiq as—adalah seorang yang buta.(1)

Pada suatu hari Imam al-Baqir as duduk-duduk dengan para sahabatnya

di Masjid Madinah. Imam al-Baqir as membuktikan kebenaran

ayat itu, yang mungkin kalian akan merasa heran, namun

kalian tidak perlu merasa heran karena hal itu dimiliki oleh para

pengikut beliau. Imam al-Baqir as berkata kepada para sahabatnya

yang ada di situ, “Sekarang saya dalam posisi duduk ini tidak akan

menampakkan diri, jika ada orang yang datang tanyakanlah padanya

tentang keberadaanku dan lihatlah jawaban mereka.” Kemudian

ada serombongan orang yang datang, lalu salah seorang sahabat

Imam al-Baqir as bertanya kepada mereka, “Kalian mengetahui

di manakah Abu Ja’far (nama panggilan Imam Baqir as—pen.)?”

Me reka menjawab, “Kami tidak tahu” (padahal Imam al-Baqir as

duduk di hadapan mereka, namun mereka tidak melihatnya). Abu

Bashir seorang yang buta itu datang memasuki masjid. Imam al-

Baqir as memberi isyarat agar menanyakan kepadanya. Sahabat

tersebut bertanya: “Wahai Abu Bashir apakah kau mengetahui di

manakah Abu Ja’far?” Ia menjawab, “Lalu siapakah matahari yang

terang yang duduk di sini ini?”

Kedudukan seseorang tersebut, menunjukkan bah wa dalam

diri seseorang terdapat indera yang jika itu dipelihara maka ia akan

dapat melihat berbagai benda yang tidak dapat dilihat oleh biji

p:198


1- 49 Di Isfahan mereka mendirikan sebuah yayasan demi menyantuni orang-orang yang buta, dan mereka memberi nama yayasan itu dengan nama yang bagus; “Yayasan Aba Bashir”. Karena Abu Bashir adalah seorang yang buta, dan masyarakat Isfahan yang memiliki perasaan peka itu memberi nama yayasan tesebut “Yayasan Aba Bashir”.

mata. Jika pada masa lalu masyarakat merasa heran terhadap ucapan

ini, dan mengatakan bahwa kita tidak memiliki indera lebih

dari lima, namun sekarang telah berhasil dibuktikan bahwa dalam

diri manusia terdapat indera yang lain, minimal ada potensi untuk

memilki indera itu.

Jika demikian, maka ayat Al-Quran yang menyebutkan, “Dan

barang siapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat nanti ia akan lebih buta

dan tersesat dari jalan yang benar” apa

yang hendak dikatakan? Siapa saja yang buta di dunia ini maka di

‘dunia itu’ ia akan lebih buta. Al-Quran bukan hendak mengatakan

bahwa jika seseorang matanya buta maka demikian jadinya.

Ibnu Ummi Maktum salah seorang sahabat Nabi Saw adalah

seorang yang buta. Kisah yang berkenaan dengan surah “Abasa”,

sebagian mengatakan bahwa itu berhubungan dengan pribadi Rasul

Saw, sebagian mengatakan bahwa itu berhubungan dengan Usman.

Sebagian mengatakan bahwa tatkala Rasul Saw tengah sibuk

memberi petunjuk kepada seseorang, lalu beliau melakukan hal

itu (bermuka masam—pen.). Yakni ketika Ibnu Ummi Maktum

masuk, beliau tidak memberikan penghormatan yang semestinya,

disebabkan beliau sedang sibuk memberi petunjuk orang lain. Sebagian

yang lain mengatakan, “Tidak, yang dimaksud oleh ayat itu

adalah Usman, ia bersikap angkuh.” Alhasil ayat Al-Quran telah

turun, “Dia bermuka masam dan berpaling, karena telah datang

seorang buta kepadanya.” Orang itu (Rasul Saw atau orang lain)

mukanya cemberut dan masam, serta berpaling ketika ada se orang

buta yang datang. Mengapa? Buta lahiriah bukanlah sebuah dosa.

Jika demikian maka Al-Quran bukannya hendak mengatakan

bahwa setiap orang yang matanya buta di dunia ini, maka di dunia

itu matanya akan lebih buta. Dia hendak mengatakan, “Wahai

Muslimin! Kalian bukan hanya memiliki mata yang ada di kepala

ini, berusahalah agar mata hatimu senantiasa terbuka.”

Dalam ayat yang lain Al-Quran mengatakan, “Dan barangsiapa

berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan

yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat

dalam keadaan buta.” (QS Thaha: 124). Seseorang yang melupak

p:199

an Kami, sese orang yang melupakan Tuhan—yang merupakan

cahaya bagi langit dan bumi—seseorang yang hatinya tidak disinari

dengan cahaya itu, dan rumah hatinya dalam keadaan gelap,

akibat dari semua itu ialah ia akan merasakan berbagai tekanan

di dunia ini. Meskipun ia mempunyai kedudukan dan harta duniawi,

ia tetap merasa tertekan. Dan di akhirat nanti ia akan Kami

bangkitkan dalam keadaan buta, dan di akhirat ia akan memprotes

Kami dengan mengatakan, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau

menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya

adalah seorang yang melihat?” (QS Thaha: 125). ‘Wahai Tuhanku

sewaktu aku di dunia aku dapat melihat, mengapa Eng kau masukkan

aku ke sini dalam keadaan buta?’ Tahukah kalian apa jawaban

yang diberikan kepadanya? Akan dijawab bahwa penglihatan

di dunia tidak dapat digunakan di sini. Di sini diperlukan sebuah

penglihatan yang lain, yang mesti kau dapatkan di dunia. “Demikianlah, telah datang

kepadamu ayat-ayat kami, maka kamu melupakannya, dan begitu pula pada hari ini kamu

pun dilupakan.” (QS Thaha: 126). Kau tidak berhasil mendapatkan

penglihatan di dunia, yang dengan itu kau dapat menyaksikan tanda-

tanda kebesaran-Ku. Saat itu tanda-tanda kebesaranku ada di

depan matamu, dan kau tidak melihatnya, saat itu kau buta, jelas

dengan demikian maka di sini kau menjadi buta. Seseorang yang

di dunia memiliki pen glihatan batin, maka di sini ia akan memiliki

penglihat an. Penglihatan lahiriah bukan merupakan ukuran.

Pada sebuah ayat di surah al-Hadid(1) dijelaskan suasana

hari kiamat, “Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan

perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah

kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu”,

orang-orang munafik, laki-laki dan perempuan munafik pada hari

kiamat ketika melihat orang-orang yang beriman datang dengan

membawa pelita, sedangkan mereka dalam kegelapan dan tidak

membawa pelita. Orang-orang yang berwajah gelap ini berkata

kepada orang-orang yang beriman, “Tengoklah kami, agar kami

p:200


1- 50 Ayat ini juga sebuah ayat yang luar biasa, seluruh isi Al-Quran memang luar biasa. Seluruh yang ada dalam Al-Quran adalah ilmu pengetahuan, teratur, tertib; menunjukkan bahwa Al-Quran datangnya dari alam jiwa dan kitab jiwa.

mendapatkan cahayamu.” Mereka menjawab, “Sayang sekali cahaya

ini tidak dapat digunakan oleh orang lain.” Dikatakan (ke-

pada mereka “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri

cahaya untukmu”, cahaya ini mesti kalian dapatkan di dunia, pelita

ini mesti kau dapatkan dari sana. “Lain diadakan diantara mereka

dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat

dan di sebelah luarnya dari sisi itu ada siksa.” (QS al-Hadid: 13).

Mungkin saja pada hari kiamat nanti ada dua orang yang berjalan

bersama-sama, yang satu melihat alam itu sangat terang benderang,

sedangkan yang satunya melihat seluruh alam itu gelap gulita;

karena pelita itu adalah pelita batin seseorang yang batinnya

diterangi dengan cahaya pelita itu, diterangi dengan cahaya langit

dan bumi, diterangi dengan cahaya Allah; baginya segala sesuatu

adalah terang benderang. Sedangkan seseorang yang pelita batinnya

dalam keadaan padam dan gelap, ia melihat segala sesuatu

gelap gulita. Ia akan memohon kepada ini dan itu, “Wahai kawan

pinjamilah aku ca hayamu”, dan akan dijawab, “Maaf, ini tidak

dapat dipinjam-pinjamkan.”

Malam malam “ihya” (berjaga) semakin dekat. Betapa ungkapan

yang sangat indah yang disabdakan oleh Nabi Saw berkenaan

dengan bulan suci Ramadhan; sangat menakjubkan; beliau

bersabda, “Kalian diundang sebagai tamu Allah.”(1) Pada bulan ini

kalian diundang oleh Allah sebagai tamu-Nya. Pada bulan ini Allah

se bagai penerima tamu, dan kalian sebagai tamu. Oleh karena

itu sadarlah bahwa pintu-pintu rahmat Ilahi di bulan ini terbuka

lebar! Tentunya kalian mengetahui hubungan antara penerima

tamu dan tamu, penerima tamulah yang melayani, dan memuliakan

tamunya. Setiap orang ketika kedatangan seorang tamu

yang dermawan—karena orang itu sebagai tamu—maka ia pasti

akan memuliakan tamu itu. Hendaklah kalian berusaha, minimal

kalian dapat tergolong sebagai ta mu yang hadir dalam hidangan

penerima tamu ini. Puncak maknawi bulan Ramadhan adalah

pada Lailatul Qadar ketika sudah dekat. Selama dua puluh hari ini

tentunya kita telah melaksanakan berbagai persiapan, sehingga

pada malam-malam Lailatul Qa dar—malam sembilan belas, dua

p:201


1- 51 Khotbah Sya’baniyah.

puluh satu, dua puluh tiga—kita tergolong sebagai tamu yang kemudian

dapat hadir pada jamuan penerima tamu ini. Puasa yang

kita kerjakan, yang menurut gambaran kita adalah mengekang

nafsu amarah, memerangi alam mated , mengunggulkan maknawi

ke atas materi, memperbanyak zikir, memperbanyak doa, memperbanyak

membaca Al-Quran, semuanya itu merupakan persiapan

agar dalam malam-malam ihya ini kita dapat menjadi sebagai

seorang tamu yang hadir di jamuan rahmat Sang Pencipta. Kita

bertaubat, kembali, memohon ampun, memohon rahmat dari Tuhan

Yang Maha Tinggi, memohon kebahagiaan bagi kita semua,

bagi saudara-saudara kita yang mukmin, bagi masyarakat Islam,

dan memohon perbaikan jiwa kita. Ibadah adalah semata-mata untuk

memberikan kecerahan. Kita beribadah adalah sebagai suatu

perantara, yang dengan ibadah itu kita dapat mengingat Allah dan

melupakan yang selain-Nya, dapat keluar dari berbagai kegelapan,

kekotoran, sehingga hati kita menjadi terang benderang karena

cahaya Ilahi.

p:202

p:203

Bagian 12

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang

terkutuk.

«أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ یُزْجِی سَحَابًا ثُمَّ یُؤَلِّفُ بَیْنَهُ ثُمَّ یَجْعَلُهُ رُکَامًا فَتَرَی الْوَدْقَ یَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ وَیُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِیهَا مِنْ بَرَدٍ فَیُصِیبُ بِهِ مَنْ یَشَاءُ وَیَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ یَشَاءُ یَکَادُ سَنَا بَرْقِهِ یَذْهَبُ بِالْأَبْصَارِ (43)»

Tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian

mengumpulkan awan, kemudian mengumpulkan antara (bagianbagian)

nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah

olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga)

menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-

gumpalan awan seperti) gunung-gunung maka di timpakan-

Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya

dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilau kilat

awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan. (QS an-Nur:43)

«یُقَلِّبُ اللَّهُ اللَّیْلَ وَالنَّهَارَ إِنَّ فِی ذَلِکَ لَعِبْرَةً لِأُولِی الْأَبْصَارِ (44)»

Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang

demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang

mempunyai penglihatan. (QS an-Nur: 44)

p:204

Ayat-ayat ini merupakan lanjutan ayat dari surah an-Nur

yang mulia. Semua ayat ini memiliki satu tujuan, dan

tujuan itu ialah semua ciptaan yang ada di alam ini berada dalam

sebuah cahaya, terang, disebabkan cahaya Allah dan pengaturan

yang bijaksana. Pada sebuah ayat yang saya telah menafsirkannya

pada dua pertemuan yang lalu, dijelaskan mengenai berbagai hal

yang tersembunyi dan tidak dapat dilihat oleh pandangan lahiriah,

di mana itu adalah bertasbihnya berbagai benda (ciptaan).

Namun dalam ayat ini dan ayat berikutnya akan dijelaskan dua kejadian

yang ada di alam ini—khususnya pada akhir ayat-ayat ini

terdapat ungkapan-ungkapan berkenaan dengan masalah itu—

yang mana dengan menggunakan pengli hatan yang jujur dan pandangan

penuh teladan—pandangan yang memberikan pengaruh

dan mempengaruhi—kita memandang dan menyaksikan semua

itu. Dua kejadian itu salah satunya berhubungan dengan masalah

angin, awan, hujan, butiran-butiran es, yang menurut istilah para

cendekiawan dahulu disebut dengan “benda-benda angkasa”. Dan

satu yang lain berhubungan dengan penciptaan berbagai binatang,

ilmu kehidupan binatang, alhasil Al-Quran hendak mengungkapkan

berbagai tujuannya. Tujuan Al-Quran dalam menjelaskan

semua ini sangat berbeda dengan tujuan para ahli ilmu bendabenda

angkasa dan para ahli ilmu biologi. Tujuan Al-Quran dalam

menjelaskan semua ini adalah hendak menunjukkan kepada manusia

berbagai jalan yang menuju tauhid, pengenalan Tuhan dan

maknawi.

Sekarang saya akan menjelaskan secara ringkas ayat pertama

yang telah saya sebutkan bahwa ayat itu berkenaan dengan “benda-

benda angkasa”. Ada kejadian berantai yang itu sangat penting,

bukannya hanya terjadi di bumi dan di langit dalam artian hanya

sebatas bulan, matahari, bintang-bintang, namun yang terjadi di

angkasa yang mengelilingi bumi ini, pada lapisan udara yang mengelilingi

bumi ini yang mereka menyebutnya dengan “benda-benda

angkasa”. Terbentuknya awan di angkasa, tiupan angin, curahan

hujan, turunnya salju, jatuhnya butiran-butiran es, bertiupnya

angin topan, dan berbagai perubahan yang terkadang dari suatu

kenikmatan menjadi sebuah bencana. Alhasil semua itu merupak

p:205

an sebuah mata rantai dari ber bagai hal yang berhubungan erat

dengan kehidupan berbagai makhluk hidup, di antaranya adalah

manusia. Apakah jika bukan karena angin—udara sangat tenang

seperti air kolam yang seratus persen tenang, dan sama sekali tidak

ada guncangan—akan ada sebuah kehidupan di seluruh penjuru

dunia ini bahkan di kawasan tropis? Sangat jelas, jika tidak ada

hujan maka tidak akan ada tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia.

Saya pribadi belum pernah menghitungnya, namun menurut

mereka yang telah menghitung bahwa dalam Al-Quran ada seratus

lima ayat yang membahas tentang angin, hujan, awan, butiran-

butiran es dan hal-hal semacam ini. Ilmu kita yang berkenaan

dengan “ben da-benda angkasa” adalah seperti ilmu-ilmu yang lain

yang sedikit demi sedikit mengalami perkembangan dan kemajuan,

khususnya setelah ditemukannya alat-alat yang modern, di

mana pada masa lalu alat-alat itu belum ada. Dengan demikian

para cendekiawan sangat mudah sekali dalam mengenali berbagai

kejadian yang ada di angkasa. Misalnya saja, para cendekiawan

yang hidup seribu tahun yang lalu untuk mengetahui awan secara

jelas merupakan suatu hal yang sangat sulit, dan terkadang saat

mereka melihat ada awan yang lebih rendah dari gunung, maka

mereka cepat-cepat naik ke puncak gunung tersebut—suatu perjalanan

yang sangat menyulitkan—untuk kemudian menyaksikan

dari dekat bentuk nyata awan itu. Ibnu Sina mengatakan, “Berkalikali

saya berada di suatu tempat yang mana awan ada di bawah

tempat yang saya pijak.” Berkenaan dengan dari apakah terbentuknya

awan itu, Ibnu Sina dalam salah satu tulisannya menyebutkan,

“Pada salah satu perjalanan yang pernah saya lakukan, bagi

saya masalah itu menjadi jelas bahwa awan itu terkadang terbentuk

dari udara itu sendiri—karena pada masa lalu mereka berkeyakinan

bahwa awan hanya terbentuk dari uap air—dan keyakinan

saya sekarang ialah terkadang udara itu sendiri berubah menjadi

awan dan bukannya mesti dari uap air.” Dan pada masa sekarang

ini telah diketahui dengan pasti bahwa awan adalah udara yang dipenuhi

oleh uap air. Sekarang ketika telah ditemukan alat-alat itu,

mereka mengadakan penelitian dengan menggunakan pesawat

p:206

jet yang terbang tinggi di atas awan. Pesawat jet yang biasa saja,

yang biasa kita gunakan untuk mengadakan perjalanan, mampu

terbang tinggi di atas awan, sehingga ketika seseorang melihat ke

bawah ia akan mengira bahwa bumi dipenuhi dengan salju. Juga

de ngan ditemukannya peralatan radio dan komunikasi, dihasilkan

berbagai penemuan terbaru berkenaan de ngan masalah awan, angin

dan hujan.

Al-Quran mengungkapkan berbagai hal yang berhubungan

dengan angin, awan, hujan dan lain sebagainya—dan dengan melihat

hasil penemuan terbaru, sangatlah menakjubkan—sekalipun

Al-Quran itu sendiri, sebagaimana yang telah saya utarakan,

memiliki tujuan tersendiri. Al-Quran senantiasa menunjukkan

adanya tauhid pada setiap ciptaan-Nya, dan hendak membuat

anak tangga yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhan,

menciptakan suatu hubungan antara manusia dan Tuhannya.

Semua itu merupakan tujuan Al-Quran. Namun berbagai ungkapan

Al-Quran yang berhubungan dengan masalah ini sangat mencengangkan

mereka yang mengadakan kajian, serta penelitian ilmiah

khususnya pada masa modern ini dan bahkan semakin hari

semakin bermunculan hal-hal yang mengagumkan. Berkenaan

dengan pembahasan ini saya sarankan bagi para laki-laki,(1) khususnya

para mahasiswa untuk membaca buku yang telah diterbitkan

pada beberapa tahun yang lalu dengan judulAngin dan hujan dalam Al-Quran

pada buku itu terdapat kajian yang cukup rinci

dan dalam. Buku tersebut terdiri dari dua bab. Dalam bab pertama

dibahas mengenai gerakan angin, terjadinya awan, curah hujan,

jatuhnya butiran-butiran es, dan hal-hal semacam ini, berdasarkan

pada hasil riset ilmiah yang dilakukan pada akhir-akhir ini.

Dan pada bab kedua disebutkan satu persatu ayat Al-Quran yang

berhubungan de ngan pembahasan tersebut, dan ketika seseorang

membacanya ia benar-benar akan merasa heran dan kagum, yang

menurut ungkapan buku itu, “Seseorang akan merasakan bahwa

ungkapan-ungkapan itu benar-benar berasal dari suatu sumber

yang lain yang bukan saja seorang nabi—apalagi sebagai seorang

manusia—tidak akan mampu mengetahui hal itu, bahkan seluruh

p:207


1- 52 Yang beliau maksud adalah para hadirin—peny.

manusia sejak dahulu sampai pertengahan abad ini tidak mengetahui

permasalahan tersebut.” Alhasil ungkapan Al-Quran merupakan

satu ungkapan khusus. Kita memiliki dua ayat dalam Al-

Quran yang serupa dengan terdapat sedikit perbedaan. Pertama,

adalah ayat 43 dari surah an-Nur, yang menyebutkan, “Tidakkah kamu melihat

bahwa Allah mengarak awan, kemudian

mengumpulkan awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)

nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah

olehmu hujan keluar dari celah-celahny.” Kedua adalah ayat yang

terdapat pada surah ar-Rum ayat 48 yang berbunyi, “Allah dialah yang mengirim angin,

lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah

membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan

menjadikannya bergumpal-gumpal lalu kamu melihat hujan keluar

dari celah-celahnya.”

Ayat surah ar-Rum mengatakan, Allah Yang Maha Benar yang

mengirim berbagai angin. Pertama, salah satu poin penting yang

mereka sebutkan ialah, dalam hal tertentu Al-Quran menggunakan

kata rih’ (‘angin’ dalam bentuk tunggal), dan dalam hal yang lain

meng gunakan kata riyah (‘angin’ dalam bentuk jamak). Menurut

hasil kajian yang telah mereka lakukan ketika kata angin ini berbentuk

tunggal rih maka angin itu mengakibatkan kerusakan, kebinasaan,

dan azab sebagaimana ayat ini, “ketika Kami kirimkan

kepada me reka berbagai angin yang membinasakan” (QS adz-Dzariyat:

41). Dan ketika Al-Quran hendak menjelaskan bahwa angin

yang datang adalah merupakan rahmat, maka menggunakan kata

angin yang berbentuk jamak riyah. Dan ilmu pengetahuan sekarang

ini membuktikan bahwa angin yang menyebabkan turunnya

hujan bukan dari satu arah saja, namun dari berbagai arah yang

seakan-akan angin-angin itu saling menyerah-terimakan, dan

hanya dalam bentuk yang demikian itulah yang akan menyebabkan

turunnya hujan. Dan yang lebih mengherankan lagi ialah poin

penting ini yang merupakan kesimpulan dari apa yang tercantum

dalam Al-Quran juga tercantum dalam sebuah hadis Nabi Saw yang

berbentuk doa, “Ya, Allah jadikanlah (angin itu) bagi kami sebagai

riyah dan jangan Engkau jadikan bagi kami sebagai rih.(1) Yakni

p:208


1- 53 Jami’u ash-Shaghir vol:2 hal: 111.

angin itu bertiup dalam bentuk yang semacam itu—dari berbagai

arah—karena bentuk semacam itulah yang mendatangkan rahmat.

Bahkan ada yang menanyakan kepada para imam as: “Apakah

bedanya antara rih dan riyah?” Mereka memberikan jawaban yang

sama, mereka mengatakan, “Ketika angin itu satu arah saja, maka

itu adalah azab, dan ketika datangnya angin itu dari berbagai arah

itu adalah rahmat.” Dalam hadis yang lain dari Amirul Mukminin

Ali bin Abi Thalib as mengumpamakan angin dengan sebuah burung

yang memiliki satu kepala dan berbagai-sayap. Para ilmuan

barat juga menggunakan perumpamaan semacam ini. Kurang lebih

Imam Ali as hanya berumur lima puluh tahun, namun beliau

berhasil memastikan bahwa gerakan angin adalah sebagai berikut:

“Jika seseorang memperhatikan berbagai tempat dan posisi gerakan

angin itu, maka ia akan menduga bahwa ada seekor burung

raksasa yang tengah berada di atas dunia.”

Di sini karena Al-Quran hendak menjelaskan tentang angin

yang merupakan rahmat, maka terdapat kata riyah. Telah saya

katakan bahwa jika seseorang ingin mengetahui masalah ini secara

lebih dalam maka hendaklah ia membaca buku Angin dan Hujan dalam Al-Quran

terutama mereka yang sedikit banyak telah mengetahui

tentang masalah yang berkaitan dengan angin dan hujan

akan lebih banyak mengambil manfaat dari buku itu.

“Fa tutsiru sahaban” (lalu angin itu menggerakkan awan) kata

“tutsiru” berasal dari kata “tsawara”(tsara-yutsiru-itsarah) Kata itu asal katanya

adalah dari “revolusi”. Orang-orang arab menyebut revolusi

dengan “tsaurah” dan menyebut sapi jantan dengan “tsaur”, karena

sapi jantan itu digunakan untuk membolak-balikkan tanah, yakni

membajak tanah karena itulah kemudian mere ka menyebutnya

tsaur. Dengan demikian maka itsarah (tsara-yutsiru-itsarah) bukan

berarti “menyebarkan” yang terkadang ada juga yang mengartikan

semacam itu. Jika hanya “menyebarkan” tidak akan digunakan

kata “itsarah”. Kata itsarah memiliki arti menyebarkan dan

membolak-balikkan. Dan memang saat pembentukan awan dan

angin di angkasa terjadi sebuah revolusi dan gerakan kuat yang

benar-benar tsaurah dan itsarah, bukan hanya gerakan biasa.

p:209

“Dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dike-

hendaki-Nya”, pada awal mulanya awan ini dibentangkan, sesuai

dengan kebijakan dan kehendak-Nya. Akan tetapi awan yang terbentang

itu tidak dapat menurunkan hujan, kecuali jika setelah,

“dan menjadikannya bergumpal-gumpal”, yang kemudian pada

proses berikutnya saling bertindih. Semua ini menunjukkan bahwa

ketika hujan akan turun mesti melewati suatu sistem yang ada

di udara; mesti ada angin ada ini dan ada itu. Pada berbagai ayat

Al-Quran seringkali kita jumpai kalimat tashrifur riyah (memutar

angin). Ini adalah sebuah bukti yang lain terhadap mukjizat

Al-Quran. Manusia pada umumnya menduga bahwa pergerakan

angin adalah lurus, yakni berjalan di atas permukaan bumi secara

lurus. Namun sekarang ini telah berhasil diketahui bahwa pergerakan

angin adalah selalu berputar dan melingkar. Jelas, sebab terjadinya

semua itu adalah karena adanya perbedaan suhu udara;

udara panas adalah ringan, dan udara dingin ada lah berat, serta

berkaitan dengan sinar matahari dan sebab-sebab lain yang—mereka

mengatakan—dari luar angkasa. Alhasil gerakan angin adalah

gerakan memutar dan melingkar.

Kemudian ayat itu melanjutkan, “lain kamu lihat hujan keluar

dan celah-celahnya”, kau melihat tetes-tetes hujan dari celah-celah

awan itu. Semua ini terdapat dalam surah ar-Rum.

Dalam surah an-Nur terdapat ungkapan semacam itu pula,

tetapi terdapat sedikit perbedaan. Dalam ayat ini tidak disebut

kata angin-angin riyah namun hanya disebutkan, “Tidakkah

kamu melihat bahwa Allah mengarak awan,” tidakkah kau melihat

bahwa Allah secara perlahan-lahan menggiring awan itu? Sedangkan

di sana disebutkan, “Dia mengirim angin-angin untuk

mengiring awan itu,” dan di sini disebutkan, “Allah menggiring

awan-awan itu.” Semua itu mengisyaratkan pada satu poin penting,

dan itu adalah bahwa kalian mesti mengetahui apa-apa yang

oleh Al-Quran dinisbatkan kepada Allah bukan berarti menafikan

berbagai sebab dan perantara, tetapi artinya ialah, seluruh sebab

dan perantara berjalan atas kehendak-Nya. Jika di suatu tempat

dikatakan bahwa Dia mengirimkan angin, dan angin itulah yang

menggiring awan, dan di tempat lain mengatakan bahwa Allah-lah

p:210

yang meng giring awan itu, keduanya ini tidak saling bertentangan.

Ketika dikatakan bahwa angin yang menggiring, maka Allah juga

menggiring, karena angin itu tidak lain hanyalah sebuah sebab dan

perantara yang diciptakan oleh Allah Swt. “Kemudian mengumpul-

kan antara (bagian-bagian)-nya.” Kalian mengetahui bahwa penulis

buku itu terkadang disebut dengan “muallif” dan terkadang

disebut dengan “mushannif”. Sebagian penulis buku adalah muallif,

yakni berbagai pembahasan yang terpisah-pisah dan bercerai

berai dikumpulkan menjadi satu, kemudian disesuaikan dan dirapikan

susunannya; kerjanya hanya mengumpulkan. Akan tetapi

mushannif adalah seorang penulis yang semua atau sebagian isi

buku itu adalah hasil buah pikirannya. Sebuah kisah yang cukup

terkenal, di mana salah seorang dari murid almarhum Syaikh Muhammad

Baqir al-Majlisi bergurau dengan beliau. Kisahnya adalah

demikian: Pada pertemuan yang dihadiri oleh almarhum Majlisi,

pembicaraan berkenaan dengan Allamah Hilli yang mana memiliki

karya tulis yang jumlahnya banyak sekali dan buku-buku

itu sebagian hasil dari ta’lif (pengumpulan) dan hasil dari tashnif

(buah pemikiran). Dalam bab fiqih, bermacam-macam jenis

buku fiqih; fiqih ringkas, fiqih secara mendetail, dan fiqih yang berisi

berisi berbagai perbedaan pendapat di an tara ulama Syiah dalam

buku Mukhtalaf dan fiqih yang berisi perbedaan pendapat antara

Syiah dan Ahlusunah dalam buku Tazdkirah—logika, ilmu kalam

(teologi), dan di berbagai bidang lainnya, yang benar-benar sangat

menakjubkan. Dikatakan bahwa pada saat itu Allamah Majlisi

berkata kepada murid-muridnya, “Buku-buku yang saya tulis tidak

kalah banyaknya dengan tulisan Allamah Hilli.” Seorang murid

bergurau dengan beliau dan mengatakan, “Namun bedanya yang

beliau tulis adalah tashnif, sedangkan yang Anda tulis adalah ta’lif.

Jika demikian maka ta’lif adalah berbagai maklumat yang

sudah ada itu dikumpulkan pada suatu tempat, untuk kemudian

bagian-bagian itu disusun dan disatukan.

Pada ayat ini terdapat masalah ta’lif yakni Allah dengan perantaraan

angin itu mengumpulkan berbagai awan yang terpisahpisah

dan berserakan di angkasa—sebagaimana seorang mu’allif

yang mengumpul kan berbagai maklumat pada sebuah buku—di

p:211

sini juga membuat sekumpulan awan! Pada ayat itu, “dan menjadikannya

bergumpal-gumpal,” yakni awan itu ditekan dan pada

ayat di surah an-Nur, “kemudian menjadikannya bertindih-tindih.”

Peringkat rukam (bertindih-tindih) adalah peringkat yang paling

tinggi; bukan saja awan yang terbentang dan menyerupai kapas itu

dikumpulkan dan ditekan, namun bahkan awan-awan itu menjadi

bertindih-tindih; awan yang satu berada di atas awan yang lain, di

sini lebih menjelaskan proses penekanan awan itu. “Maka kelihatanlah

olehmu hujan keluar dari celah-celahnya”, hasil yang disebutkan

pada ayat itu pada ayat ini juga disebutkan: tetes-tetes hujan

keluar dari celah-celah awan itu.

Pada ayat dari surah an-Nur ini disebutkan sebuah kejadian

yang mana bagi para cendekiawan masa lalu merupakan suatu hal

yang sifatnya hanya ta’abbudi (menyakini bahwa itu adalah benar,

karena datangnya dari Allah, sekalipun tidak mengetahui sebab-sebabnya—

pen.) kejadian itu ialah, “Dan Allah (juga) menurunkan

butiran-butiran es dari langit” Masalah ini telah berulangkali

saya paparkan yaitu kata sama’ artinya tidak sama dengan “os-emon”

(langit dalam Bahasa Persia—pen.). Ada yang mengatakan

bahwa sama ‘ ada lah os-e-mon dan ‘ardh serta ghabra adalah “zamin”

(bumi dalam Bahasa Persia—pen.), tetapi tidak demikian.

Kata “os-e-mon” adalah sebuah kata dari bahasa Persia yang tersusun

dari dua buah kata: “os” dan “mon” (huruf “e” adalah harakat

tambahan—pen.). Kata “os” berarti ‘batu gilingan’ yang berputar.

Maka “as” adalah batu gilingan yang berputar, dan jika batu gilingan

itu dijalankan dengan tangan, maka disebut “dast-e-os” (dast

berarti ‘tangan’ dalam Bahasa Persia—pen.). Dan jika dijalankan

dengan air maka disebut “os-e-obi” maksudnya adalah “os-e-obi”

(ob berarti ‘air’ dalam Ba hasa Persia—pen.). Alhasil “os” adalah

nama bagi sebuah batu yang berputar. Kata “os-e-mon” berarti

sesuatu yang seperti(1) batu gilingan yang berputar. Jika demikian

maka “os-e-mon” dalam Bahasa Persia berarti angkasa yang berputar

seperti batu gilingan. Namun sama’ (langit dalam Bahasa

Arab—pen.) bukan berarti “seperti batu gilingan yang berputar”.

Kata sama’ ber arti “yang berada di atas”, dan kata itu berasal dari

p:212


1- 54 Kata “mon” berarti “seperti”.

kata swratt yang berarti “tinggi”. Segala yang ada di atas kita

disebut dengan sama’. Matahari juga disebut sama’ bintangjuga

disebut sama’ awan juga disebut sama dan bahkan terkadang Al-

Quran menyebut hujan de ngan sama’ “Niscaya Dia mengirimkan

hujan kepadamu dengan lebat.” (QS Nuh: 11). Karena datangnya

dari atas maka disebut dengan sama’ Hal-hal yang gaib, kerajaan

langit dan metafisika oleh Al-Quran disebut dengan sama’

disebabkan memiliki kedudukan yang paling tinggi, “Dan Dialah

yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.” (QS al-An’am:

18). Yang menguasai kita berada di atas maknawi kita; Al-Quran

dalam hal itu juga menyebut dengan sama’. Jika demikian maka

jangan sampai salah. Al-Quran yang pada berbagai kejadian—di

antaranya adalah kejadian yang ada di sini—mengatakan bahwa

Kami menurunkan hujan melalui awan, sedangkan di sini kata

sama’ adalah awan itu sendiri, dan awan adalah sama’. “Dan Allah Juga

menurunkan butiran-butiran es dari langit,” diturunkan

dari atas; kata “yunazzilu” berarti diturunkan secara sedikit

demi sedikit. Terdapat perbedaan antara “inzal” dan “tanzil”. Inzal

adalah menu runkan sesuatu secara sekaligus sebagaimana, “Ses-

ungguhnya kami menurunkannya Al-Quran di Malam kemu-

liaan.” (QS al-Qadr: 1). Di sini dijelaskan mengenai diturunkannya

Al-Quran secara sekaligus. Kata tanzil berarti diturunkan secara

sedikit demi sedikit. Jelas, karena hujan dan butiran-butiran es itu

turun secara sedikit demi sedikit, maka digunakan kata yunazzilu.

“Dan Allah (juga) menurunkan dari langit”, diturunkan dari atas

secara sedikit demi sedikit. “Dari gunung-gunung, yang dari butiran-

butiran es”, apakah gunung-gunung es, butiran-butiran es itu?

Akhir-akhir ini para ilmuwan menyingkap rahasia ini yang mana

pada bagian atas angkasa yang terkadang di sana terdapat awanawan

yang bergumpal-gumpal, pada bagian atas itu udara sangat

dingin, dan di sana benar-benar ada gunung-gunung yang terbentuk

dari es. Ungkapan Al-Quran ini benar-benar sebuah mukjizat.

Siapakah yang mengetahui bahwa di atas angkasa ada semacam

itu? “Dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit

yaitu dari gumpalan-gumpalan awan seperti gunung-gunung”,

maksudnya adalah diturunkannya bu tiran-butiran es. Kemungki

p:213

nan kalimat “(butiran-butiran) es”, kembali berhubungan dengan

kata “menurunkan” yang kemudian berarti; Kami menurunkan butiran-

butiran es yang ada di sana, yang berbentuk gunung-gunung.

“maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang

dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-

Nya”, butiran-butiran es itu dikirimkan kepada siapa saja yang

Dia kehendaki, dan dipalingkan dari siapa saja yang Dia kehendaki.

Yakni jangan kau mengira bahwa pekerjaan Allah itu seperti

pekerjaan manusia; seperti ketika ia melepaskan anak panah dari

busurnya, maka ia tidak lagi dapat menguasai dan mengendalikan

anak panah itu. Peker jaan Allah sama sekali tidak akan lepas dan

keluar dari kehendak dan kekuasaan-Nya. Kemudian disinggung

mengenai petir dan guntur, “Kilauan kilat awan itu hampir-hampir

menghilangkan penglihatan,” hampir saja kilauan petir itu menyambar

dan merenggut berbagai mata. Ini adalah ayat yang agung.

Dalam ayat ini Al-Quran mengungkapkan beberapa kalimat

yang secara seratus persen sesuai dengan kenyataan yang ada

pada benda-benda angkasa. Setelah seribu dan sekian tahun ilmu

pengetahuan manusia harus mencapainya dan Dia (Allah) tetap

melanjutkan tujuan-Nya. Semua itu adalah tanda-tanda kebesaran

Ilahi; Allah Yang Maha Mengetahui terhadap berbagai sistem

ini yang berdasarkan pada sebuah ketentuan; mesti ada matahari,

matahari memancarkan sinarnya, di mana dia bersinar di situ akan

terdapat panas. Panas memperbanyak volume udara, udara panas

naik ke atas dan udara dingin tetap berada di bawah, udara panas

turun ke arah udara dingin, dan dari bawah udara dingin menyusup

ke celah-celah udara panas, lalu terbentuklah angin. Bumi

dan matahari diletakkan dalam posisi tertentu, sehingga terjadilah

siang dan malam, dan kemudian Allah berfirman, "Allah memper-

gantikan malam dan siang.” Gerakan siang dan malam itu sendiri

terjadinya adalah disebabkan pancaran sinar mata hari yang menyinari

daerah tertentu, yang mana Dia telah menetapkan bahwa

mesti berubah-ubah dan hal itu merupakan salah satu faktor bagi

terwujudnya “benda-benda angkasa” ini. Alhasil semua sistem ini

adalah sebuah sistem yang Dia ciptakan berdasarkan pada kehendak-

Nya secara penuh. Dan jika tidak ka rena kebijakan dan kehen

p:214

dak llahi, maka dalam alam tidak akan ada kejadian semacam ini.

Al-Quran mengatakan, “Allah mempergantikan malam

siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran

yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” Kata

“taqlib” memiliki arti “membolak-balik”. Qalb (kalbu atau arti sebenarnya

adalah ‘jantung’—peny.) juga berasal dari kata itu. Menurut

istilah para ahli ilmu sharaf (tata Bahasa Arab—pen.), ketika

sebuah huruf yang ada pada sebuah kata berubah-ubah posisinya,

mereka menyebutkan bahwa di sini terjadi qalb. Mengapa jantung

Manusia disebut qalb? Karena senantiasa dalam keadaan berubahubah,

yakni bergerak dan berdenyut. Khususnya jiwa manusia

disebut dengan qalb, karena setiap saat senantiasa berada dalam

sebuah angan-angan dan pemikiran; terkadang menghadap ke

sana dan terkadang menghadap ke sini. Nabi mulia Saw memberikan

sebuah perumpamaan yang sangat menakjubkan berkenaan

dengan qalb. Beliau bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan qalb

ini bagaikan bulu unggas yang ada di padang pasir yang dibolak balikkan

oleh angin, bagian luar menjadi bagian dalam.” Perumpamaan

jantung manusia itu seperti sehelai bulu unggas yang ada

di padang pasir, dan bulu tersebut tergantung pada sebuah pohon.

Jika Anda melihat sehelai bulu yang ada di padang pasir dan bulu

itu tergantung pada sebuah pohon, Anda tidak akan melihat bulu

itu berhenti bergerak walau hanya sedetik pun, selalu bergerak ke

sana dan ke sini. Manusia juga demikian, selalu disibukkan berbagai

pikiran, khayalan dan pandangan. Terkadang memikirkan

suatu permasalahan ini, terkadang memikirkan permasalahan itu;

terkadang dari sisi ini terkadang dari sisi itu, terkadang cinta terkadang

benci, terkadang sedih terkadang gembira. Arti dari qalb

sebagaimana yang telah saya utarakan adalah “membolak-balik”.

“Allah mempergantikan malam dan siang”, Allah membolak-balikkan

malam dan siang; malam dibawa dan siang didatangkan, siang

dibawa dan ma lam didatangkan. Jelas membawa malam dan siang

adalah dengan pergerakan bumi pada garis orbitnya. Selain bumi

melintasi sebuah garis orbit, yaitu selama tiga ratus enam puluh

lima hari mengelilingi matahari, bumi sendiri berputar pada titik

sumbunya sendiri. Bumi itu ibarat buah apel yang dilempar oleh

p:215

seseorang ke udara, namun saat dilempar, apel itu juga dalam keadaan

berputar. Disebabkan bumi berputar pada titik sumbunya,

maka terjadilah siang dan ma lam. Sebagaimana yang telah saya

utarakan bahwa para ilmuwan berkeyakinan adanya pergantian

antara siang dan malam ini merupakan salah satu faktor bagi terwujudnya

berbagai “benda angkasa” ini. Karena hal itu mewujudkan

perbedaan tekanan udara dan tentunya menyebabkan munculnya

gerakan angin, yang angin itu sendiri merupakan sebab bagi

terwujudnya ber bagai kejadian yang lain. Tampaknya rahasia dari

mengapa Al-Quran setelah menjelaskan peristiwa terjadinya awan

dan turunnya hujan kemudian menjelaskan hal ini (perubahan

siang dan malam), adalah karena perputaran bumi itu memberikan

pengaruh bagi ter wujudnya “berbagai benda angkasa” tersebut.

“Allah mempergantikan malam dan siang” Allah membolakbalikkan

malam dan siang. “Sesungguhnya pada yang demikian itu

terdapat pelajaran yang besar”, dalam kejadi an ini terdapat sebuah

pelajaran bagi mereka yang memiliki penglihatan, mereka yang

memiliki penglihatan yang tajam. Kata ‘ibrah (pelajaran) berasal

dari kata ‘ubur (melintasi). Pandangan ada dua macam. Ada sebagian

pandangan yang tidak lebih dari pandangan mata saja. Pandangan

binatang adalah demikian. Seekor binatang atau seorang

manusia yang sejajar dengan binatang, hanya melihat dan menyaksikan

berbagai peristiwa. Mereka menyaksikan kejadian itu,

namun mereka tidak memikirkan apa yang ada di balik semua ini.

Saya akan memberikan sebuah perumpamaan yang sederhana,

sebuah kejadian yang dapat dialami oleh semua orang: masalah

ekonomi. Harga barang-barang menjadi mahal, kemudian menjadi

murah, atau murah kemudian menjadi mahal. Suatu barang

dapat menjadi murah dan dapat menjadi ma hal. Terkadang secara

tiba-tiba Anda melihat sebuah jenis barang, harganya melambung

tinggi sementara sebaliknya jenis barang yang lain harganya jatuh

dan tidak laku dijual. Jika hanya sebatas ini saja semua orang mengetahuinya.

Namun seorang yang ahli di bidang perdagangan akan

mengetahui dengan pasti sebab naik dan turunnya harga barang

tersebut. Dengan tegas ia dapat menyatakan mengapa harga barang

itu naik. Ia bagaikan seorang guru yang sanggup mem berikan

p:216

penjelasan selama satu jam berkenaan dengan sebab naik dan turunnya

harga barang-barang itu. Jika demikian, maka ada orang

yang hanya memperhatikan naik dan turunnya harga barang, dan

ada juga orang yang memperhatikan ‘sebab-sebab’ dari naik dan turunnya

harga barang-barang itu. Orang semacam itu disebut arif,

namun orang yang satunya tidak disebut arif. Demikian pula dengan

berbagai kejadian yang lain seperti suatu kejadian yang menimpa

sebuah masyarakat. Terkadang kita merasakan bahwa para

pemuda kita tidak semangat dalam menjalankan ajaran agama atau

semangat dalam menjalankan ajaran agama.

Orang yang tidak bijaksana hanya akan mengatakan, “Wah!

Para pemuda tidak semangat lagi...” Ia hanya bersedih. Sedangkan

yang lain mengatakan, “Tidak, pada waktu itu para pemuda

sangat bersemangat...” dan ia juga hanya merasa gembira. Namun

orang yang bijaksana akan menelusuri secara mendalam sebab-sebab

mengapa mereka tidak bersemangat? Ia hendak mengungkap

sebab-sebabnya. Mengapa mereka bersemangat? Ia juga hendak

mencari sebab-sebabnya. Hanya mereka yang memperhatikan dengan

seksama sebab-sebab suatu kejadian yang akan memperoleh

manfaat dan memiliki kekuatan dalam menghadapi kejadian itu.

Kaum fulan mengalami kekalahan dalam sebuah peperangan, dan

kaum fulan meraih kemenangan. Jika seseorang hanya mengatakan

bahwa ini kalah dan itu menang, ia tidak akan mendapatkan pelajaran

dari kejadian ini. Namun jika sebab-sebab kekalahan kaum ini

dan kemenangan kaum itu ia kaji dan pelajari, bisa jadi ia akan memiliki

kekuatan dalam menghadapi berbagai peristiwa, yakni kekalahan

itu dapat berubah menjadi sebuah kemenangan, merubah

kekalahan itu menjadi sebuah kemenangan. Ini adalah perumpamaan

yang sederhana yang terdapat dalam masyarakat.

Al-Quran menginginkan agar kita benar-benar memperhatikan

berbagai peristiwa alam dan berusaha untuk menyingkap berbagai

sebab, rahasia dan manfaat dari peristiwa itu. Al-Quran tidak

menginginkan kita hanya mengatakan: “Alhamdulillah, tahun ini

hujan turun dengan lebat, tetapi pada tahun lalu hujan tidak turun.

Tahun ini salju turun demikian ..., terdapat awan, hujan turun, ada

butiran-butiran es.” Al-Quran menginginkan agar kita mengambil

p:217

pelajaran dari berbagai peristiwa itu, yakni kita mengetahui rahasia

dari berbagai kejadian itu, yang mana rahasia yang paling rahasia

ada di tangan Allah. Dan pada akhirnya kita menyadari bahwa seluruh

alam ini bersandar pada satu kekuatan dan satu kehendak.

Dia adalah rahasianya rahasia, yakni setiap tabir yang kita

singkap maka di sana kita akan menyaksikan sesuatu dan ketika

kita menyingkap yang lain di balik itu pun ada sesuatu yang lain.

Namun Al-Quran mengatakan bahwa kalian jangan berhenti sampai

di situ saja, teruslah berjalan ke depan sampai kau menyaksikan

sebuah kekuatan, sebuah kehendak, sebuah ilmu dan sebuah

kebijaksanaan yang menjalankan seluruh alam ini, “Sesungguhnya

pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang

yang memiliki penglihatan.”

p:218

p:219

Bagian 13

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang

terkutuk.

«وَاللَّهُ خَلَقَ کُلَّ دَابَّةٍ مِنْ مَاءٍ فَمِنْهُمْ مَنْ یَمْشِی عَلَی بَطْنِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ یَمْشِی عَلَی رِجْلَیْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ یَمْشِی عَلَی أَرْبَعٍ یَخْلُقُ اللَّهُ مَا یَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَی کُلِّ شَیْءٍ قَدِیرٌ (45)»

Dan Allah Telah menciptakan semua jenis hewan dari air, Maka

sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan

sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain)

berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-

Nya, sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

(QS an-Nur: 45)

«لَقَدْ أَنْزَلْنَا آیَاتٍ مُبَیِّنَاتٍ وَاللَّهُ یَهْدِی مَنْ یَشَاءُ إِلَی صِرَاطٍ مُسْتَقِیمٍ (46)»

Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan.

Dan Allah memimpin siapa yang dikehendaki-Nya kepada

jalan yang lurus. (QS an-Nur: 46)

p:220

Pada dua ayat yang telah dibacakan dan ditafsirkan pada

pertemuan yang lalu berisi berbagai pembahasan yang

berkenaan dengan “benda-benda angkasa” dan tujuan dari semua

itu—sebagaimana yang telah saya paparkan—adalah menunjukkan

jalan menuju tauhid dan makrifatullah (mengenal Allah).

Pada ayat ini dijelaskan sebuah pembahasan yang berhubungan

de ngan penciptaan binatang, yang menurut istilah sekarang ini

berhubungan dengan biologi. Dan di sini tujuannya bukan hanya

membahas masalah biologi, akan tetapi tujuan utama Al-Quran

dalam memaparkan pembahasan ini adalah untuk mengenalkan

Allah kepada berbagai makhluk. Al-Quran menyebut se mua itu

sebagai tanda-tanda Ilahi, sebagai tanda kebesaran, kekuasaan

dan kebijaksanaan Ilahi. Oleh karena itu pada dua ayat ini, kata

pertama yang terdengar di telinga manusia adalah kata “Allah”. Di

ayat itu disebutkan, “tidaklah kamu melihat bahwa Allah menga-

rak awan, kemudian mengumpulkan awan, kemudian menjadikannya

bertindih-tindih,” dan pada ayat lain disebutkan, “Dan Allah

menciptapakan semua jenis hewan dari air,” pem bahasan apa saja

yang terdapat pada ayat ini?

Pada ayat ini selain terdapat tujuan yang utama, yaitu penjelasan

bahwa Pencipta adalah Allah Swt, juga disebutkan dua bentuk

pembahasan yang lain. Pertama, asas kehidupan semua jenis hewan

adalah air. Kedua, dijelaskan mengenai macam-macam jenis

bina tang yang dilihat dari sudut pandang tertentu. Dari cara berjalan,

sebagian melata dan sebagian berjalan dengan menggunakan

kaki; yang berjalan dengan menggunakan kaki, sebagian berjalan

dengan menggunakan dua kaki dan sebagian dengan empat kaki,

semua itu tercipta sesuai dengan kehendak Ilahi. Bagian pertama

dari ayat itu menyebutkan, “Dan Allah telah menciptakan semua

jenis hewan dari air,” setiap binatang Kami ciptakan dari air. Dan

dalam ayat yang lain masalah ini dijelaskan secara lebih umum,

“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.” (QS al-Anbiya’:

30). Setiap makhluk hidup Kami ciptakan dari air. Di sini pembahasan

berkisar masalah air yang merupakan inti dari kehidupan,

yang mana pada saat ini telah diyakini dengan pasti bahwa anggota

tubuh setiap makhluk hidup, manusia misalnya, berbagai anggota

p:221

tubuhnya seperti: daging, kulit, urat, tulang, beberapa persen dari

semua itu adalah air dan selebihnya adalah dari unsur-unsur lain.

Saya tidak mengetahui hal itu secara jelas (menurut pendapat ilmiah),

akan tetapi adalah seorang dokter yang ahli, ia pernah menasehati

saya untuk banyak minum air, seraya membacakan ayat

ini, “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup,” kemudian

ia berkata, “Setiap orang delapan puluh persen dari tubuhnya

adalah air.” Jadi jika seseorang berat badannya adalah 50 kilogram,

maka yang 40 kilogram adalah air sementara 10 kilo gram

sisanya adalah unsur-unsur lain. Setiap sel yang kita katakan terdiri

dari tiga bagian: butiran sel, kulit sel dan cairan protoplasma

yang merupakan bagian inti dari sel, sebagian besar adalah terdiri

dari air. Dengan demikian maka tubuh hewan tersusun dari air. Di

sini Al-Quran menyebut kata dabbah (hewan). Jelas dabbah tidak

mencakup seluruh jenis makhluk hidup, akan tetapi asal-usul berbagai

makhluk hidup lainnya adalah juga air, contohnya: sperma.

Begitu juga makhluk hidup lainnya yang berkembang biak melalui

telur, bagian utama dan terbanyak dari telur itu adalah air.

Dengan demikian maka asal kehidupan yang ada di muka bumi

ini—yang para cendikiawan senantiasa mencari dan meneliti, namun

sampai saat ini mereka belum memiliki sebuah jawaban yang

pasti, mereka hanya berputar-putar pada berbagai perumpamaan

dan dugaan—adalah air, dan bukan dari benda yang kering. Disebabkan

inilah maka air merupakan sebuah lambang kehidupan.

Dalam Al-Quran pada ayat yang lain, disebutkan bahwa kata ma

(air) merupakan sebuah lambang dan julukan bagi kehidupan,

meskipun itu adalah kehidupan maknawi (metafisika). misalnya

saja sebuah ayat yang ada di akhir surah al-Mulk yang menyebutkan,

“Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu

menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang

mengalir bagimu,” katakanlah, jika air yang kalian pergunakan itu

tiba-tiba menjadi kering, jika berbagai mata air dan sumur menjadi

kering, kekuatan manakah selain kekuatan Allah yang mampu

untuk mendatangkan air yang menyegarkan. Bentuk lahiriah dari

ayat ini cukup jelas, namun menurut penasiran para imam yang

suci as, mereka menjelasakan bahwa air ini adalah suatu kehidu

p:222

pan maknawi, yakni katakanlah: “Jika imam, jika hujah Allah tidak

ada di antara kalian, siapakah yang mampu untuk mendatangkan

air yang jernih semacam itu?” Dengan demikian kita menyaksikan

sendiri bahwa ‘imam as’ yang merupakan sumber ke hidupan

maknawi, diumpamakan dengan air. Alhasil, air adalah lambang

dan rahasia kehidupan. Kemudian apa hubungan antara air dan

kehidupan menurut sudut pandang biologi? Sebuah pembahasan

yang me reka telah sebutkan di bidang biologi, dan mereka lebih

mendalami masalah itu lebih dari saya serta me reka juga akan

menjelaskan berbagai pandangan yang ada berkenaan hubungan

air dengan kehidupan. Akan tetapi jelasnya ialah, di antara berbagai

ciptaan yang ada di alam ini tidak satu pun dari ciptaan dan

benda yang ada ini, memiliki hubungan yang erat sebagaimana

hubungan air dan kehidupan.

Kemudian setelah Al-Quran mengatakan, “Dan Allah telah

menciptakan semua jenis hewan dari air,” lalu mengatakan, “maka

sebagian dari hewan itu ada yang berjalan diatas perutnya dan se-

bagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian lainnya berja-

lan dengan empat kaki,” binatang-binatang tersebut berbeda-beda,

seba gian berjalan dengan perutnya, seperti ular dan berbagai jenis

cacing, sebagian berjalan dengan dua kaki, seperti manusia dan

berbagai jenis unggas, dan seba gian berjalan dengan empat kaki.

Di sini, karena manusia dan ‘bukan manusia’ disebutkan secara

sejajar, di mana seluruh ciptaan itu terbuat dari air, dan untuk

pertama kalinya menyebutkan jenis yang melata, kemudian jenis

yang berjalan de ngan dua kaki dan berikutnya yang berjalan dengan

empat kaki, dan pada jenis yang berjalan dengan dua kaki pada

peringkat pertama adalah jenis manusia. Sebagian bersikeras hendak

mengartikan ayat ini sebagai pendukung atas asas “pergantian

jenis” (transformisme), lalu mereka menulis berbagai pembahasan

di buku-buku dan majalah-majalah berkenaan dengan pandangannya

itu. Munculnya pendapat semacam itu (transformisme) sudah

sangat lama, kurang lebih dua ribu tahun yang lalu, namun hal itu

dijadikan pem bahasan ilmiah tidak lebih dari dua abad yang lalu.

Dalam bidang ilmu biologi, muncul sebuah pendapat yang disebut

dengan “jenis berantai” atau “pergantian jenis”; yakni sekarang ini

p:223

kita memiliki berbagai jenis binatang, manusia itu sendiri merupakan

satu jenis tersendiri, jenis kuda, jenis keledai, jenis sapi, jenis

unta, serta kita juga memiliki berbagai jenis unggas, berbagai

jenis ikan, berbagai jenis binatang buas, lalu apa asal keturunan

dari semua ini? Apakah asal keturunannya juga berbeda-beda?

apakah harimau juga berasal dari harimau? Sapi juga berasal dari

sapi? benarkah manusia berasal dari manusia? Dan apakah asal

keturunan yang paling awal itu tidak ada hubungan dengan berbagai

jenis makhluk hidup yang lain? Atau tidak demikian, yakni

semua jenis makhluk hidup ini—dengan berbagai perbedaaan

yang ada—adalah satu rumpun dan satu keluarga besar? Manusia,

kuda, unta, sapi, monyet, unggas, ikan, ular, serangga, yang semua

itu terdiri dari bermacam-macam jenis namun asalnya adalah

satu. Lalu apa asal semua jenis itu, dan bagaimanakah bentuknya?

Alhasil ada berbagai dugaan berkenaan dengan masalah ini. Ada

sekelompok orang yang memiliki keinginan untuk memaksakan

pandangan Al-Quran pada hasil ilmiah dan tidak ilmiah mereka.

Mereka mengatakan, “Ayat ini adalah hendak mengungkapkan

pembahasan itu. Ketika Al-Quran mengatakan bahwa semua

makhluk hidup itu berasal dari satu air, maksudnya ialah, makhluk

yang paling awal itu terdiri dari satu sel. Misalnya saja jenis manusia.

Maka jenis manusia, pada awal mulanya adalah manusia air.

Dengan demikian maka asal usul berbagai binatang adalah dari binatang

satu sel, dan asal usul manusia adalah dari manusia air yang

pada awal mula nya tercipta dari air. Namun semua makhluk itu

sedikit demi sedikit menuju pada kesempurnaan, sehingga kemudian

berubah menjadi berjalan dan melata, kemudian Al-Quran

menyebutkan jenis-jenis yang lain: “Allah menciptakan apa yang

dikehendaki-Nya,” Allah menciptakan apa-apa yang la kehendaki.”

Secara jujur saja, dalam ayat ini tidak menunjukkan—atau

minimal kita mesti mengatakan bahwa tidak ada suatu kejelasan—

tentang adanya pembahasan semacam itu. Dari ayat ini kita

tidak dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa ayat ini merupakan

penegasan tentang adanya pergantian berbagai jenis atau

jenis berantai. Namun dalam ayat ini ada pembahasan semacam

p:224

itu. Kita jangan sampai tertimpa kesalahan yang telah menimpa

orang-orang yang bodoh dan dungu yang pada dasarnya mereka

itu tidak mengenal keberadaan Tuhan. Lalu kita ikut-ikutan mengatakan,

“Karena suatu jenis itu munculnya dari jenis yang lain,

maka hal itu merupakan satu argumen bahwa semua itu terjadi

dengan tanpa campur tangan Sang Pencipta. Namun jenis yang

satulah yang mewujudkan jenis yang lainnya.” Jika demikian

maka kita tidak dapat mengatakan bahwa Tuhanlah yang pertama

mencipta kan seekor harimau, kita juga tidak dapat mengatakan

bahwa Tuhanlah yang pertama menciptakan seekor kuda, kita

juga tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan lah yang pertama kali

menciptakan seekor itik yang pertama, ... karena semua itu tidak

memiliki asal keturunan yang paling awal (telur dari ayam, ayam

dari telur—pen.). Dengan demikian kita juga tidak memi liki suatu

argumen untuk mengatakan bahwa Tuhan lah yang menciptakan

semua itu. Betapa sebuah pemikiran yang awam!

Pertama, seandainya saja semua ini kembali pada asal usul

yang satu, dan itu adalah binatang sel satu, maka dengan demikian

binatang yang pertama ada di atas bumi ini adalah binatang

sel satu, lalu sel satu itu sendiri berasal dari mana? Sampai saat

ini ilmu pengetahuan masih belum dapat membuktikan—bahkan

mereka memberikan jawaban yang bertentangan dengan itu—

bahwa seekor binatang sekalipun seekor binatang sel satu dapat

terwujud dengan sendirinya, yakni tanpa berasal dari sesuatu

yang hidup. Sedangkan Darwin sendiri mengeluarkan pendapat

semacam ini, yaitu ia meyakini bahwa asal usul binatang-binatang

itu ada tujuh, dan ketujuhnya adalah hasil ciptaan Ilahi. Darwin

adalah seorang yang mengenal Tuhan, seorang Nasrani yang memiliki

keyakinan yang kuat. Ketika mendekati ajalnya ia meletakkan

kitab Injil di dadanya dan di peluknya erat-erat. Darwin sendiri

tidak seperti Darwinisme, di mana mereka itu orang-orang yang

tak berilmu dan hanya setelah membaca beberapa teori kesempurnaan

Darwin, lalu seketika itu pula mereka merasa asing terhadap

Allah, hari kiamat, dan terhadap segala hal.

p:225

Kedua, apakah Allah yang menciptakan kita dan merupakan

asal-usul keberadaan kita, adalah juga se orang manusia? Dan

apakah manusia diciptakan oleh Allah secara langsung sekaligus?

Hal itu tidak ada hubungannya dengan pembahasan ini; yang jelas

kita adalah ciptaan Allah. Ketika Al-Quran mengatakan bahwa

Allah-lah yang telah menciptakan kalian, Al-Quran menjelaskan,

“Perhatikanlah! Kalian dulunya adalah sperma yang ada dalam rahim,

kemudian Allah menjadikan sperma itu menjadi segumpal

darah, dan segumpal darah itu diubah menjadi segumpal daging,

kemudian segumpal daging itu diubah menjadi tulang, dan tulang

itu dibungkus dengan daging, ...” Penciptaan secara berkala

di dalam rahim ibu ini yang kemudian akhirnya keluar berupa bayi

kemudian tumbuh dewasa, menunjukkan bahwa kita ini tengah

di ciptakan. Bahkan menurut ungkapan para ‘urafa’ (ahli irfan atau

ahli tasawuf) alam ini senantiasa dalam keadaan menciptakan.

Jika sekiranya Allah menciptakan alam ini secara sekaligus kemudian

Dia tinggalkan begitu saja, maka semuanya akan musnah,

tidak akan muncul sesuatu yang baru, dan tidak akan ada suatu

perubahan apa pun. Akan tetapi karena alam ini se nantiasa berputar

dan bergerak dan seluruh isi alam ini—yang jauhari (essensial)

dan ‘aradhi (aksidental)—senantiasa musnah dan muncul

kembali, semua itu menunjukkan bahwa alam ini senantiasa

dalam keadaan menciptakan. Menurut sudut pandang penciptaan

Allah dan menurut sudut pandang tauhid, tidak ada perbedaan

antara jika berbagai jenis itu tercipta secara langsung ataupun tercipta

melalui perantaraan sesuatu yang lain. “Jika demikian maka

teori Darwin sedikitnya adalah sesuai dengan tauhid di mana

pendapat selain Darwin adalah tidak sesuai dengan tau hid.” Ya,

akan tetapi masalahnya ialah ada sebagian yang berpendapat—

yang Darwin sendiri tidak berpendapat semacam ini—bahwa

dengan ditemukannya serangkaian hukum alam yang berkenaan

dengan kesempurnaan makhluk hidup, hukum alam tersebut

mampu menyediakan sarana bagi kesempurnaan makhluk hidup,

serta mewujudkan sistem yang ada di alam ini. Dengan demikian

maka tidak lagi diperlukan sumber dari 'yang gaib' (metafisika)

Bagaimanakah itu? Mereka juga meyakini adanya suatu asas, seb

p:226

agaimana asas yang disebutkan oleh Darwin, namun de ngan ciriciri

yang berbeda, yaitu: asas “kecenderungan pada kekekalan diri”.

Dalam setiap binatang terdapat rasa semacam itu. Setiap binatang

disebabkan memiliki kecenderungan pada kekekalan diri, ia akan

berusaha keras untuk mempertahankan hidupnya dan berkelahi

dengan binatang yang lain. Kemudian mun cul asas yang baru yaitu

“perebutan kekekalan”. Dalam perebutan kekekalan ini yang kuat

akan lebih layak untuk hidup kekal dan yang lemah akan lenyap

dan binasa. Kemudian dari sinilah menculnya asas “kekekalan

yang lebih layak” atau asas “pemilihan yang lebih layak”. Asas yang

lain adalah asas “pengaruh alam sekitar”. Lingkungan memberikan

pengaruh pada binatang. Sedangkan asas yang lain adalah “asas

genetika” apa-apa yang dimiliki oleh jenis tertentu yang kemudian

dimiliki oleh keturunan berikutnya secara warisan. Namun sebagian

asas-asas ini akhirnya tidak berlaku. Akan tetapi yang sebagaimana

telah ditetapkan oleh para ulama yang illahi, ialah jika

seandainya semua yang kalian ungkapkan itu—asas “perebutan

kekekalan”, asas “pemilihan yang lebih layak”, asas “ge netika”, dan

asas “pengaruh alam sekitar”—adalah benar, apakah semua itu cukup

untuk mewujudkan sel satu menjadi seorang manusia, yang

tubuhnya berisi berbagai sistem yang teratur, sekalipun itu setelah

berjuta-juta tahun? Darwin sendiri tatkala menyakini adanya

asas “penyesuaian dengan alam sekitar” yang kemudian dia mengatakan,

“Setiap wujud ketika berada dalam lingkungan tertentu

maka ia akan menyesuaikan dengan alam sekitar itu,” asas tersebut

ia ung kapkan sedemikian rupa sehingga mereka menyanggahnya.

Mereka berkata, “Penjelasanmu tentang asas ‘penyesuaian dengan

alam sekitar' itu persis seperti asas 'metafisika'. Dan itulah yang

benar, karena masalah ini membuktikan dengan pasti bahwa setiap

wujud yang ada dalam sebuah lingkungan, sekalipun tanpa

dikehendaki dan disadari, maka suatu kekuatan yang ada di dalam

tubuh itu akan menyesuaikan berbagai anggota badan dengan lingkungan

dan alam sekitarnya yang baru. Dan ini merupakan suatu

rahasia dari penciptaan; yakni suatu rahasia yang menunjukkan

adanya petunjuk Illahi dalam diri setiap makhluk hidup dan itu

adalah, “cahaya langit dan bumi,” yang selalu ada pada setiap tem

p:227

pat. Setiap makhluk dalam kondisi apa pun akan ditunjukkan pada

jalan menuju kebaikan dan kesempurnaan dirinya dengan tanpa

ia ketahui dan pahami. Sekarang ini, saat kita duduk di sini, jantung

kita bekerja menurut ketentuan tertentu, darah kita memiliki

jumlah tertentu, sel-sel darah putih kita memiliki jumlah tertentu,

sel-sel darah merah kita memiliki jumlah tertentu. Jika tempat kita

berubah, misalnya saja kita dibawa ke udara yang sangat tinggi

sehingga tekanan udara menjadi ringan, maka kebutuhan tubuh

juga akan mengalami perubahan—jika kita tidak segera dikeluarkan

dari lingkungan itu agar tidak ada kesempatan bagi kekuatan

yang tersembunyi itu untuk membuat perubahan, namun bahkan

kita secara perlahan-lahan dibawa ke lingkungan yang baru itu—

maka secara perlahan-lahan pula sistem tubuh ini kita ini akan

membuat perubahan dan menyesuaikan dengan lingkungan yang

ada. Misalnya saja sel darah putih yang ada dalam tubuh kita jumlahnya

cukup banyak, dan di sana (di lingkungan baru itu) tidak

diperlukan darah putih sebanyak itu, maka sistem tu buh kita akan

dengan sendirinya mengurangi sebagian darah putih itu. Atau sebaliknya

jika tubuh memerlukan darah putih lebih banyak, maka

sistem tubuh kita segera bekerja untuk memenuhi kekurangan itu,

sehingga kita tidak harus memerintah tubuh kita terlebih dahulu

seraya mengatakan, “Saya akan pindah lingkungan.” Misalnya saja

ada seseorang yang meng alami kecelakaan, patah kaki, tertusuk

pisau, kemudian tubuhnya banyak mengeluarkan darah—tubuh

memerlukan jumlah darah tertentu—ketika tubuh me miliki darah

yang cukup, maka sistem tubuh akan tenang dan santai, namun

begitu darah banyak mengalir dari tubuh, maka sistem tubuh

akan melakukan kerja keras untuk membuat darah. Namun darah

tidak dapat terwujud jika tidak ada bahan-bahan tertentu. Dan

pertama-tama yang diperlukan dalam pembuatan da rah adalah

air. Kalian melihat bahwa seorang yang terluka, yang darah banyak

keluar dari tubuhnya, ma ka ia akan merasa sangat kehausan. Tubuh

memerlukan darah, dan syarat utama dalam pembuatan darah

ada lah air. Rasa haus itu menyebabkan ia segera ingin minum

air, dan tubuh segera bekerja membuat darah. Hal ini tidak lagi

dapat diterapkan dengan berbagai asas ilmiah tuli dan bisu yang

p:228

dicetuskan oleh Darwin. Dan masih banyak lagi hal-hal semacam

ini. Saya sendiri pada beberapa tahun yang telah menulis sebuah

artikel yang berjudul Tauhid wa Takâmul (Tauhid dan Kesempurnaan)

yang dicetak di Maktab Tasyayyu’, di sana permasalahan ini

saya buktikan bahwa Darwinisme itu benar ataupun tidak benar,

hal itu tidak merugikan masalah tauhid, bahkan lebih mendukung

masalah tauhid; yakni lebih menegaskan bahwa di dalam tubuh

binatang terdapat suatu kekuatan yang membimbing dan mengarahkan

pada jalan kebaikan hidup.

Lalu pelajaran apakah yang mesti kita ambil dari ayat-ayat

itu? Apakah hanya biologi; yakni semua bina tang diciptakan dari

air? Benar, itu adalah sebuah ilmu pengetahuan, sebuah pemikiran

yang benar, di mana Allah menciptakan berbagai binatang

itu dari air sekalipun jenis binatang itu ada bermacam-macam.

Ataukah kita mesti mengambil pelajaran sebagaimana yang dikatakan

oleh Darwin ‘jenis berantai’ atau ‘bukan jenis berantai’?

Alhasil di alam ini terdapat berbagai jenis binatang yang manusia

kesulitan untuk meneliti jenis-jenis binatang tersebut. Yakni

jika kita hanya ingin meneliti jenis binatang saja, kita harus belajar

selama bertahun-tahun, dan kemungkinan akhirnya kita

tetap tidak akan dapat mengenalnya. Apalagi seorang yang hanya

berkecimpung di dunia binatang padang pasir, maka ia tidak akan

mengetahui kehidupan bina tang yang ada di lautan. Jika demikian

kemana Al-Quran memfokuskan pandangannya? Al-Quran memfokuskan

pandangannya pada kata “Allah”. Al-Quran senantiasa

mengarahkan kita pada poin ini, yaitu bagaimanakah cahaya itu

memberi petunjuk pada berbagai peristiwa penciptaan alam ini.

Bagaimanakah berbagai gerakan dan aktivitas berbagai ciptaan

ini tidak berada dalam kegelapan dan kebutaan. Cahaya Illahi ada

di dalam semua ciptaan yang ada di alam ini. Semuanya menunjukkan

pada adanya kehendak Illahi, takdir Illahi, kebijaksanaan

Illahi. Oleh karena itu, setelah Al-Quran menyebutkan binatang

yang melata dan berjalan (dengan dua dan empat kaki), dan demi

mengingatkan bahwa semua itu Kami sebutkan guna sebagai

contoh, namun tidak terbatas pada itu saja, maka Al-Quran mengatakan,

“Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu,”

p:229

kekuasaan Allah tidak terbatas. Kekuasaan Illahi tidak dapat diukur

dan dibatasi. Allah berkuasa atas segala sesuatu. Ia mampu

menciptakan apa-apa yang la kehendaki. Allah adalah Mahakuasa,

Maha Mengetahui, Mahabijaksana, Maha Berkehendak. Arti dari

Allah berkuasa atas segala sesuatu dan mampu menciptakan apaapa

yang Ia kehendaki bukan berarti Ia melakukan suatu pekerjaan

secara sia-sia dan tanpa perhitungan, tanpa tujuan yang jelas

dan tidak bijaksana. Karena Dia memiliki kehendak mutlak dan

kekuasaan yang tidak terbatas. Jika demikian mungkinkah Dia

menciptakan sesuatu dengan tanpa tujuan yang pasti? Tidak, pekerjaan-

Nya berdasarkan suatu kebijaksanaan, akan tetapi kehendak-

Nya tidak terbatas, dan kekuasaan-Nya juga tidak terbatas.

Sejak awal surah an-Nur sampai di sini, kurang lebih merupakan

satu judul pembahasan, yaitu sebuah pembahasan berkenaan

dengan tauhid. Al-Quran hendak menunjukkan bahwa, “Allah

lah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.” Tampaknya

ini adalah akhir dari pembahasan dan kita akan memasuki jenis

pembahasan yang lain—alhasil pembahasan yang sebelumnya

masih ada kaitannya dengan pembahasan ini, namun pembahasan

ini dapat dianggap sebagai pembahasan terpisah—yang mana Al-

Quran mengatakan:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang

menjelaskan. Dan Allah meimpin siapa saja yang dikehendakiNya

Nya kepada jalan yang lurus.” (QS an-Nur: 46)

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang

menjelaskan.” Para mufasir mengatakan bahwa isi pem bahasan

yang ada pada ayat-ayat surah an-Nur itu ada lah menuju ke arah

ini, yaitu pada dasarnya pada akhir pembahasan ini Allah hendak

mengingatkan bahwa sekali lagi kalian akan Kami ajak untuk

memperhatikan apa-apa yang telah Kami katakan, “Sesungguhnya

Kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan,” Kami menurunkan

ayat-ayat yang menerangi. Pekerjaan Al-Quran adalah

menerangi dan memberi petunjuk. “Dan Allah memimpin siapa

saja yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus,” Siapa saja

yang dikehendaki oleh Allah akan dibimbing ke arah jalan yang

p:230

lurus dan benar. Disebabkan inilah ayat-ayat yang mene rangi itu.

Apa yang hendak diterangi? Jalan itu! Manusia adalah makhluk

yang berjalan, yakni makhluk yang

senantiasa mengadakan perjalanan. Makhluk yang berjalan

pada suatu jalan dan mesti sampai pada suatu tujuan. Ayat-ayat ini

diturunkan fungsinya adalah untuk menerangi jalan yang dilalui

manusia. Al-Quran juga mengatakan, “Allah memberi petunjuk

siapa yang dikehendaki-Nya,” yakni pemberian petunjuk kepada

seseorang tidak lepas dari kehendak Allah, namun kita juga jangan

sampai salah ketika Allah mengatakan bahwa Dia akan menunjukkan

jalan yang lurus bagi siapa yang dikehendaki-Nya, apakah

kemudian Allah melakukan hal itu dengan asal-asalan saja?

Bagaimanakah bentuk kehendak-Nya? Apakah Allah mengundi

orang-orang itu seraya mengatakan, “Saya akan lihat siapakah yang

akan keluar dalam undian ini untuk kemudian Aku beri petunjuk?”

Tidak, di tempat lain Dia telah menjelaskan bahwa kehendak-

Nya memiliki aturan tertentu. Siapa-siapa yang layak untuk

mendapatkan petunjuk maka Allah memberinya petunjuk, dan

siapa-siapa yang tidak layak untuk diberi petunjuk. Permasalahan

tersebut telah dijelaskan dengan cukup jelas pada berbagai ayat

yang lain. Ada sebuah ayat yang terdapat di surah al-Baqarah yang

berisi ungkapan yang begitu indah dalam menyifati Al-Quran,

"Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah

dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya

petunjuk,” dengan perantaraan Al-Quran ini banyak yang disesatkan

oleh Allah dan dengan per antaraan Al-Quran ini pula banyak

yang diberi petun juk. Bagaimanakah? Al-Quran adalah pemberi

petun juk, bukan menyesatkan? Al-Quran menjawab, “Dan tidak

ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang Fasik,” Allah

tidak akan menyesatkan dengan parantaraan Al-Quran ini kecuali

mereka yang fasik, yakni mereka yang fitrah sucinya dan sarana

untuk menerima kebenaran telah rusak, maka mereka akan dibelokkan

dan disimpangkan. Al-Quran adalah tali Allah, seutas

tali yang diturunkan kepada manusia untuk mengeluarkannya

dari kegelapan sumur materi. Siapakah yang mesti berpegangan

erat pada tali itu? Manusia. Dan mereka yang enggan berpegangan

p:231

pada tali ini adalah salah mereka sendiri. “Dengan perumpamaan itu banyak orang

yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang

yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah

kecuali orang-orang yang fasik.” (QS al-Baqarah: 26). Dalam Al-Quran

banyak terdapat ayat yang memiliki isi kandungan semacam ini dan diulang-ulang di berbagai tempat.

Petunjuk Illahi dan penyesatan Illahi memiliki sebuah sistem dan

penyesatan Illahi adalah salah satu bentuk hukuman. Ringkasan

dari pembahasan ini ialah: cahaya Illahi menerangi rumah itu dengan

sangat terang, dengan membuat sebuah perumpamaan seperti

sebuah lampu yang menerangi sebuah rumah. Cahaya Allah menerangi

dunia dengan sangat terang. Semua itu adalah pembahasan

yang benar. Jika kita mengatakan bahwa perumpamaan itu adalah

sebuah perumpamaan bagi seorang manusia, atau akal manusia—

sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Sina—itu adalah juga

benar. Namun jelas, yang paling benar ada lah perumpamaan itu

merupakan perumpamaan bagi keimanan—dan hal itu bukan berarti

karena penafsiran semacam itu adalah berasal dari riwayat

yang kemudian tidak dapat dibanding-bandingkan, apalagi kemudian

seseorang membandingkan penafsiran menurut riwayat

itu dengan pandangan Ibnu Sina—kare na ayat tersebut ada kesesuaian

dengan ayat berikutnya. Ayat berikutnya berisi perum-

pamaan berkenaan dengan orang-orang kafir (hati orang kafir)

yang berada dalam kegelapan. Dalam ayat yang lalu disebutkan

perumpamaan bagi orang mukmin, perumpamaan bagi hati orang

mukmin, yakni hati orang mukmin adalah terang seperti sebuah

rumah yang memiliki pelita bersinar terang, sebaliknya hati orang

kafir adalah gelap. Dan jika itu merupakan perumpamaan bagi se-

buah masyarakat, pelita itu adalah pelita yang menerangi masyarakat,

yakni cahaya itu adalah cahaya suci Nabi yang terakhir, salawat

dan salam atasnya dan atas keluarganya. Tentunya kita dapat menyaksikan

sendiri bahwa perumpamaan itu adalah sebuah perumpamaan

yang sempurna dan universal. Tampaknya ayat ini masih

ada lanjutannya yang insya Allah penafsirannya akan saya paparkan

pada pertemuan yang akan datang.(1) Salawat dan salam atas

p:232


1- 55 Berkenaan dengan pertemuan yang akan datang ini, kami tidak mengetahui dengan jelas ada atau tidaknya. Alhasil kami tidak me miliki lanjutan pita rekaman penafsiran surah an-Nur oleh Ustaz Syahid Murtadha Muthahhari— peny.

Muhammad dan keluarganya yang suci.

Dengan menyebut nama-Mu Yang Maha Agung dan Yang

Paling Agung, Yang Mahaperkasa, Yang Maha Tinggi, Yang Maha

Mulia, ya Allah...

“Wahai Tuhanku, terangilah hati kami dengan cahaya yang

Engkau firmankan dalam Al-Quran bagi mereka yang beriman

sucikanlah niat-niat kami, jauhkanlah kami dari berbagai kegelapan,

curahkanlah rahmat-Mu kepada para pendahulu kami.”

p:233

p:234

INDEKS

MURTADHA MUTHAHHARI

A

afaf 3, 4, 12, 49, 69, 71, 72, 83,

95

ahlubid’ah 42, 43

arif 194, 217

aurat 62, 83, 84, 85, 86, 88, 89,

90, 91

B

buyut 123, 124

F

Fiqih 83, 123, 211

H

handhal 137

hijab 83

I

ifk, 22, 23, 27, 30, 31, 50, 54

inzal 213

irfan 104, 105, 194, 226

K

kufr 153

M

mantiq 106

mishbah 111, 121, 126

misykat 108, 110, 111, 121, 122

INDEKS

muallif 211

mufasir 84, 110, 117, 119, 120,

123, 126, 127, 164, 175, 230

Mukhtalaf 211

mushannif 211

N

nihlah 94

Q

qash 151

Qashir 151

S

shadaq 93, 94

T

ta’lif 211

tanzil 213

tauriyyah 79

Tazdkirah 211

tsaman 94

U

ulul fadhl 53

Y

yunazzilu 213

Z

zujajah 110, 111, 112, 126

p:235

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109